Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.
***
Oleh: Putri Ella
Tahun 2020-2021 adalah masa yang sulit untukku, tapi juga menyadarkanku akan berkat Tuhan. Pada tahun 2020 aku menjadi mahasiswa semester akhir yang harus melaksanakan penelitian, untuk segera lulus.
Beragam alasan tentunya kenapa orang ingin lulus tepat waktu atau lebih awal. Alasanku terbesar saat itu adalah, uang. Sederhananya, sudah tidak ada biaya lagi yang bisa dikeluarkan untuk membiayai kuliahku jika aku harus menambah satu semester.
Kondisi ini tentunya membuatku sedih dan berpikir lebih baik aku bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang, karena memperoleh pendidikan juga sesulit ini. Namun, ibuku selalu diam - diam memelukku dan menguatkanku bahwa pasti ada caranya Tuhan mencukupi kita.
"Jika kita berdoa, 'Katakanlah Tuhan mencukupi segala sesuatu di atas segala-galanya baik di langit maupun di bumi tidak ada yang mencukupi kecuali Tuhan.' Kenapa kita harus ragu? Bukankan kita yang berdoa dan menyatakan itu?" begitulah kira-kira pernyataan yang selalu keluar dari mulut ibuku saat mendapatiku linglung seperti manusia tak bertulang.
What's On Fimela
powered by
Menyelesaikan Kuliah
Aku ingin membagikan sedikit sudut pandangku tentang apa yang aku alami di masa itu. Waktu itu, dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan aku memutuskan untuk tidak kembali ke kos dan mencari cara untuk melakukan penelitian di tempat tinggalku.
Ketika masa normal baru telah dikenalkan, semua temanku kembali ke kota dan mulai melakukan penelitian di lab, tentunya biaya kos, makan, dan laboratorium serta bahan penelitian tidak pernah bisa kupenuhi karena selama masa pandemi usaha kedua orang tuaku pun mengalami kesulitan.
Saat mengetahui ini semua, aku dengan senang mengambil semua barangku dan diam di rumah, sambil mencari cara harus mengambil penelitian apa. Waktu itu, semua temanku dengan IPK tinggi segera melakukan survei, mengumpulkan bahan, dll.
Sedangkan teman-temanku yang kaya sudah mulai mencari lab mana yang akan dia pilih agar dia bisa mengirimkan bahan penelitiannya dan tinggal mengolah datanya, sekali lagi aku hanya menjadi pengamat.
Hal yang membuatku lebih tidak enak adalah betapa banyaknya anak lain yang menganggapku sebelah mata dan merasa bahwa aku ini tidak layak. Anak biasa yang bukan dari orang tua kaya ingin lulus tepat waktu tapi tidak bermodal, begitulah aku di mata mereka, tidak penting dan hidupku tidak masuk akal.
Aku banyak mengeluh kepada ibuku, kenapa aku tidak bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan di usiaku ini, kenapa selalu saja aku harus mengerti, kenapa aku harus merelakan, kenapa aku harus berjuang tapi tanpa apa-apa. Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja aku yakin menyakiti ibuku dan membuat ibuku sedih, namun bagaimana lagi beginilah hidup.
Jika besok masih membuka mata berarti harus hidup, jika besok tidak bangun lagi barulah tidak perlu merisaukan apa pun, sayangnya tidak ada siapa pun yang tahu kapan hal itu terjadi pada setiap orang.
Berbulan-bulan tenggelam dalam kesedihan itu memang menyesakkan, tapi apa boleh buat. Meski demikian sekali dua kali aku tetap mencari topik penelitian apa yang bisa kuambil dan kerjakan dari rumah atau dilakukan di lingkungan rumahku. Meskipun hampir tidak mungkin, tapi mari menunggu bantuan Tuhan, siapa tahu ada.
Terus Berjuang
Hidupku penuh dengan pertanyaan dan ketidakpercayaan. Satu bulan aku mencari-cari topik penelitian dan kutemukan satu topik yang sesuai dengan kondisiku dan kemampuanku. Aku maju menghadap dosen penguji untuk pengajuan proposalku dan setelah dua minggu hidupku terombang-ambing hari pengumuman tiba, proposalku lolos dan aku diminta menyelesaikan penelitianku di sisa semester ini.
Aku begitu bersyukur atas semua berkat ini. Namun, di lain pihak banyak yang mempertanyakan penelitianku, rekan seperjuanganku dengan latar belakang yang sangat layak itu merasa aku ini hampir tidak bermodal tapi kenapa bisa penelitianku lolos. Lagi-lagi, aku berusaha tidak mendengarkannya.
Empat bulan untuk penelitian sangat sulit untukku karena data yang kuperoleh berasal dari survey, dan aku butuh ratusan orang untuk mengisi survey yang kubuat. Meski tidak masuk akal tapi berbekal keyakinan aku harus lulus, semoga Tuhan menyertai membawaku melewati masa yang paling lama dan dingin itu.
Ketika semua temanku liburan dan bersenang-senang, aku kesana kemari ditolak oleh banyak orang karena mengira aku akan menawarkan produk, atau dikira pengemis yang berlagak santun, atau juga dianggap penelitian abal-abal. Kenyataan ini sekali lagi menghantamku, dan sekali lagi aku berusaha untuk tetap bangkit meskipun sudah lelah fisik dan psikis.
Aspek lain yang dibahas di tahun-tahun itu adalah, pekerjaan. Jika lulus dari universitas yang di luar kota kelahiran dan lulus dari sana masih nganggur, maka hidup di rumah berasa di padang pasir yang panas.
Menyambut Kebahagiaan
Omongan tetangga akan berseliweran kesana kemari atau kadang sindiran tajam itu menusuk pelan tapi berulang. Aku yang sudah jenuh dengan segala macam hidup yang pas-pasan ini bahkan sudah mencari pekerjaan apa saja sejak berkuliah semester satu, tapi mungkin belum jalannya jadi belum ada pekerjaan tetap yang kudapat sejak saat itu.
Namun, meski kadang aku lelah, aku tetap mengirimkan lamaran ke manapun aku rasa pekerjaan itu bisa kukerjakan. Pada masa-masa aku telah menyelesaikan penelitianku dan tengah menunggu hasil sidang, aku mendapat panggilan wawancara beberapa tempat. Meskipun tidak memiliki pengalaman tapi aku tetap memberanikan diri untuk wawancara.
Sedikit harapan merekah di masa suram itu, aku diterima bekerja di salah satu perusahaan konsultan. Bukan perusahaan besar, tapi paling tidak aku akan mendapatkan penghasilan dan tidak menganggur. Meski sama sekali tidak tahu pekerjaan apa yang harus kukerjakan, namun aku berangkat saja mulai bekerja offline di kantor.
Masa suram itu akhirnya mengantarkanku ke ujung gua yang gelam ini dan aku meskipun belum wisuda sudah mulai bekerja. Meskipun tidak telalu banyak penghasilanku, tapi bisa membantu keluargaku.
Mungkin karena aku sesederahana ini, Tuhan memberikannya perlahan-lahan dan disesuaikan dengan kapasitasku. Tidak ada kesedihan dan kesusahan yang bertahan selamanya di dunia ini.
Aku yakin itu, semuanya akan berlalu dan tiada lagi, begitu juga dengan kebahagiaan. Kita tidak bisa terlalu bahagia atau sedih, karena kedua-keduanya juga akan berlalu. Aku bisa mencapai semua ini dan tidak bisa dihentikan oleh siapa pun karena dukungan Tuhan dan orang-orang terdekatku.
#WomenforWomen