Cinta Pertama Hadirkan Pelajaran Berharga meski Tak Berakhir Bahagia

Endah Wijayanti diperbarui 13 Mar 2022, 08:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Apa arti cinta pertama untukmu? Apa pengalaman cinta pertama yang tak terlupakan dalam hidupmu? Masing-masing dari kita punya sudut pandang dan cerita tersendiri terkait cinta pertama, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My First Love: Berbagi Kisah Manis tentang Cinta Pertama berikut ini.

***

Oleh: Agung Dewi

Cinta pertama bisa didefinisikan sebagai awal mula seseorang begitu merasa terkesan terhadap sesuatu. Bisa jadi benda, pengalaman hingga perasaan terhadap seseorang. Sama seperti aku yang saat itu menyadari bahwa cinta pertamaku ialah seseorang yang begitu hangat tutur kata dan perilakunya. 

Kami masih satu rumpun keluarga sehinga intensitas bertemu cukup mudah. Tidaklah rumit bagi kami untuk saling mendalami karakter masing-masing di awal perkenalan.

Sejujurnya aku dan ibuku merasa sedikit khawatir dengan hubungan kami. Dia terpaut usia 15 tahun lebih tua dariku dan saat itu aku sendiri masih kuliah semester 2 sementara  dirinya seringkali bolak-balik Los Angeles untuk keperluan bisnisnya. Mengapa aku dan ibu khawatir? Karena kami memiliki ketakutan yang sama, takut bilamana ia tak bisa menunggu diriku menyelesaikan pendidikan S1 atau setidaknya aku menginjak semester 6 di bangku perkuliahan.

 

2 dari 3 halaman

Bertunangan

Ilustrasi./(dok.unsplash/@ Kazzle John Delbo)

Rasa khawatir itu ternyata sebatas hembusan angin, sekembalinya ia dari Los Angeles dan menetap di Bali bersama keluarganya, ia mengunjungi keluargaku dengan bermaksud untuk melamarku sebagai tunangannya dan meresmikan hubungan ini agar tetap terjaga keharmonisannya dari pengaruh-pengaruh luar yang tidak diinginkan.

Inilah bentuk keseriusannya terhadap diriku yang kala itu masih berjuang menyelesaikan pendidikanku yang perlu ditempuh dua hingga tiga tahun lagi sebelum benar-benar siap menikah. 

Kecanggungan yang aku rasakan terhadap dirinya perlahan memudar. Bagaimana tidak? Di saat kami memiliki waktu berdua untuk mengobrol, aku merasakan betapa dewasanya pola pikirnya, tutur bicaranya hingga caranya bersikap terhadapku.

Meski kami resmi bertunangan dan telah menjalani hubungan selama satu tahun, sekalipun kami berada di tempat tertutup, hingga saat kami bepergian hanya berdua saja, ia tak pernah mencoba untuk melampaui batasannya terhadapku dimana tak semua pria dewasa bisa seperti itu.

Ia begitu sopan, memiliki rasa antusiasme dan berjiwa enerjik, dewasa dan mandiri menjadi bagian dari kepribadiannya. Aku yang lebih muda jauh di bawah usianya perlahan mulai bertahap mencintai kepribadian yang melekat di dalam dirinya.

Tiba saatnya bagiku untuk melaksanakan UAS selama 1 minggu, dan komunikasi kami sedikit jarang karena kesibukan kami masing-masing. Ia juga perlu keluar kota untuk mempersiapkan pameran bagi bisnis yang dikembangkannya. Kami berkomunikasi di waktu senggang yang kami miliki untuk mengisi semangat dan kepercayaan bagi satu sama lain meskipun berjauhan.

Dua hari sebelum UAS berakhir, saat di Surabaya ia mengabariku bahwa dirinya jatuh sakit dan jadwal keberangkatannya untuk ke Bali ditunda hingga waktu yang belum bisa dipastikan. Seketika itupun aku terdiam dan sedih. Tak bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuanku untuk menyusulnya, aku hanya menemaninya berbicara melalui telepon dan memberi semangat bahwa ia akan segera pulih. 

3 dari 3 halaman

Mengakhiri Pertunangan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/dmitrimaruta

Di minggu ketiga, aku dikagetkan dengan kedatangannya yang begitu mendadak tanpa mengabariku sama sekali dan ia memintaku juga keluarga untuk bersiap dalam sebuah pertemuan yang diadakan keesokan harinya di kampung halaman kami berdua. Wah, apa itu? Gumamku dalam hati sedikit penasaran namun aku justru merasa sedikit senang karena akhirnya bisa bertemu lagi dengannya.

Tiba hari itu, dengan wajah berseri-seri aku menunggu kedatangannya. Lagi-lagi ia tak mengabariku mengapa terlambat menghadiri pertemuan hingga lebih dari 2 jam meskipun kami sempat mengobrol di telepon sebentar pagi tadi. 

Begitu pertemuan dimulai, saudara kandung tertuanya mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepada kami semua yang bersabar menanti kehadiran tunanganku. Sang kakak melanjutkan ucapannya dengan berkata bahwa pernikahan kami berdua tidak bisa dilanjutkan alias batal. Deg!

Kami semua terpelongo kaget mendengar hal itu. Tunanganku melanjutkan pembicaraan yang terhenti dan mengatakan akan menikahi perempuan lain karena telah dihamili olehnya. Aku yang mendengar, diam gemetar menahan marah dan dadaku seperti tertindih benda berat yang seketika membuatku pingsan. Aku syok!

Ibu dan kakak-kakakku melanjutkan perbincangan yang telah dimulai dengan berita buruk dari tunanganku agar cepat berakhir. Tiga bulan aku dan keluargaku tak mengunjungi kampung halaman sembari aku menyendiri untuk meyembuhkan perasaan syok dan trauma dengan mengunjungi alam pedesaan yang jauh dari tempat keseharianku beraktifitas.

Pada akhirnya aku kembali ke rumah dengan perasaan lebih tenang dan tabah. Ibu menasihatiku, bahwa selain percintaan maupun perihal jodoh ada hal lain yang bisa saja melukai perasaan kita bilamana itu memang ditakdirkan menjadi bagian dari hidup kita.

Dengan ikhlas akan ada kebahagiaan lain yang tumbuh dan mengisi kekosongan hatiku tanpa terus terjebak dengan kepahitan. Kini aku berhasil menjadikan masa laluku hanya sebagai mimpi buruk belaka dengan terus menyibukkan diri melalukan hal-hal yang kucintai sembari meraih impianku yang belum selesai.

 

#WomenforWomen