Fimela.com, Jakarta Apa arti cinta pertama untukmu? Apa pengalaman cinta pertama yang tak terlupakan dalam hidupmu? Masing-masing dari kita punya sudut pandang dan cerita tersendiri terkait cinta pertama, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My First Love: Berbagi Kisah Manis tentang Cinta Pertama berikut ini.
***
Oleh: Titis Widawati
Mencintai dalam diam telah membungkam gemuruh rasa dan mengubur dalam-dalam kisah yang belum dimulai. Bersemi dalam nuansa putih abu-abu di antara tugas sekolah dan kegiatan ekstra, letupan rasaku serumit rumus fisika.
Senyawa pencetusnya tidak juga terpecahkan meski unsur kimia kuhapal luar kepala. Apakah aku telah jatuh cinta? Jika iya, maka hatiku telah jatuh untuk yang pertama kalinya. Perihal menyukai lawan jenis sudah beberapa kali kurasakan saat masa putih merah berganti putih biru, tetapi hanya sekadar suka, tertarik, penasaran, dan sudah berhenti di situ saja. Namun, yang kurasakan kali ini berbeda, rasaku terjerat begitu dalam dan tenggelam.
Cinta Masa SMA
Wajahmu yang cuek terus membayang mengalahkan ingatanku pada guru matematika yang garang. Tingkahmu meracuni malam-malamku hingga terbawa dalam mimpi-mimpi yang tak kumengerti. Bayangmu selalu mengikuti ke mana pun aku pergi.
Dari kelas hingga terbawa ke kantin, tenggelam di antara tumpukan buku di perpustakaan, hingga kubawa berjemur saat upacara bendera. Bahkan saat jam sekolah usai, bayangmu tetap mengikutiku di sepanjang perjalanan pulang hingga sampai di kamar. Tawa renyahmu terus terngiang seirama degup jantungku, melahirkan desir halus di dada yang membuatku susah lupa. Bayangmu melekat kuat laksana sablonan logo SMA yang terpampang di kaus seragam olahraga.
Selama setahun belajar bersama dalam satu kelas di IPA 3, bicara denganmu bisa dihitung jari. Itu hanya terjadi saat rebutan kursi, berselisih pendapat saat mengerjakan tugas kelompok, dan saat memarahimu karena keusilan-keusilanmu.
Mulai dari menarik-narik ujung rambutku saat duduk di bangku belakangku, menyembunyikan buku tugasku, menginjak sepatuku yang baru dicuci, mengikat tali tasku ke kursi, hingga mencomot isi kotak bekalku. Di balik itu, tanpa kusadari keusilanmu membuatku candu, tetapi aku selalu menyembunyikan rasa itu di balik kemarahanku.
Meski sering menggangguku, tetapi kamu tidak pernah mengizinkan teman yang lain menggangguku, seakan hanya kamu yang berhak melakukannya. Kamu selalu sigap mengamankanku dari keusilan siswa lain, jadi jika kamu tidak masuk sekolah, aku merasa tidak aman, sepi, dan kehilangan.
Berjumpa di Reuni
Hingga tiba saatnya kelulusan sekolah, tidak pernah ada hal serius yang kita bicarakan. Semua cerita tentang kita dibiarkan berlalu begitu saja, melebur dalam genangan kenangan di pojok ingatan. Menikmati luka perpisahan, hanya berbekal coretan nama dan tanda tangan di seragam putih saat usai pengumuman kelulusan. Kami berdua meninggalkan sekolah, berbeda arah untuk masing-masing melanjutkan perjalanan.
Dipertemukan kembali tujuh belas tahun kemudian saat teman SMA mengadakan reuni. Tidak ada lagi gemuruh putih abu-abu, yang ada hanya sekadar basa-basi, sekadar menyapa, sekadar bercanda.
"Seandainya dahulu aku beranikan diri nembak kamu, mungkin anak-anakku akan seceriwis kamu," kalimat itu meluncur begitu saja dari pemilik mata cokelat yang serius menatapku, sorotnya mengungkap rahasia besar yang tidak pernah aku ketahui selama belasan tahun.
Sebelumnya aku selalu merasa cinta pertamaku menjadi milikku sendiri, tiada berbalas alias bertepuk dengan tangan sendiri. Dalam hatiku berkata, "Seandainya dahulu kita tahu dan sama-sama mengakui jika telah saling jatuh cinta, mungkin suamiku kini adalah lelaki berewok yang ada di depanku sekarang," lalu aku mengulum senyumku sendiri.
Memilih diam karena tidak berani mengungkapkan, ternyata menjadi kunci abadi sebuah rasa yang pantang dinyalakan lagi. Rasa itu telah lama dipadamkan dan dikubur dalam-dalam, dan kini kita telah sama-sama bahagia dengan keluarga kecil kami masing-masing.
#WomenforWomen