Fimela.com, Jakarta Apa arti cinta pertama untukmu? Apa pengalaman cinta pertama yang tak terlupakan dalam hidupmu? Masing-masing dari kita punya sudut pandang dan cerita tersendiri terkait cinta pertama, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My First Love: Berbagi Kisah Manis tentang Cinta Pertama berikut ini.
***
Oleh: albiwi official
Jika ditanya tentang siapa cinta pertamaku, maka bukan oppa-oppa Korea, atau aktor Hollywood yang berkharisma, juga bukan tokoh kartun dengan kekuatan overloard yang maha dahsyat. Namun dengan lugas aku akan menjawab, Ayah adalah cinta pertamaku.
Ayah adalah lelaki pertama yang mengisi hidupku. Role model abadi yang selalu menjadi panutan saat aku bertemu sosok laki-laki lain.
Bukan karena Ayah adalah seorang pahlawan yang mampu membasmi kejahatan, hanya saja Ayah adalah lelaki sederhana yang mau membantu istrinya mengupas bawang, lelaki yang mau mengorbankan waktu istirahatnya hanya untuk menungggui anaknya yang sakit.
Banyak Kenangan tentang Ayah
Masa kecilku juga penuh dengan ingatan tentang sosok Ayah.
Masih jelas aku ingat, aku selalu disebut sebagai 'anaknya Ayah' oleh orang-orang di sekitarku, entah itu kerabatku atau tetangga sekitar rumah.
Mungkin mereka melihat aku, anak perempuan juga bungsu yang terlalu manja pada Ayah. Tapi mungkin saja benar.
Teringat dulu, saat sore menjelang, selalu kami sekeluarga akan duduk di teras rumah untuk menghabiskan waktu bersama. Ayah akan duduk di kursi kesayangannya sambil menikmati secangkir kopi buatan Ibu. Sedang aku akan duduk di tapak kaki ayah, dan meminta beliau untuk mengayunkannya, mirip permainan ayunan. Meski Ibu melarang, karena Ayah pasti kecapekan setelah bekerja seharian sebagai seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah di kotaku.
Juga ingatan akan coklat batangan di bungkus warna merah masih terpatri di kepala. Itu adalah oleh-oleh yang selalu aku tunggu ketika ayah pulang mengajar. Dengan sabar aku menunggu di depan pintu saat jam pulang Ayah tiba. Ketika ku dengar suara motor khas milik Ayah, bergegas aku menuju teras dan menyongsong, tentu saja oleh-olehnya.
Ngomong-ngomong tentang sekolah, ada satu kejadian yang masih membekas di hati. Saat itu aku kelas dua Sekolah Dasar. Karena ada satu masalah dengan teman sekolah, akhirnya aku mogok sekolah dan enggan untuk berangkat dengan berbagai alasan.
Ibu susah payah membujuk agar aku mau sekolah. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya dengan satu keputusan, Ayah memindahkanku ke sekolah lain. Dengan di antar Ayah, aku pergi ke sekolah yang baru. Meski dengan hati yang sedikit takut karena harus bertemu dengan guru-guru baru dan teman-teman yang baru juga, namun Ayah membesarkan hati, mengantarku sampai ke depan pintu kelas.
Ayah yang Selalu Ada di Hati
Beberapa saat masih kulihat Ayah berdiri di depan pintu kelas, sampai aku tenang dan berkenalan dengan teman baru, akhirnya beliau rela meninggalkanku untuk belajar. Hal sederhana, namun sangat mebekas di hati bahkan setelah aku dewasa.
Aku juga lebih senang pergi ke mana pun dengan Ayah.
Pernah satu ketika gigiku merasa sangat sakit. Rupanya ada lubang di gigi dan harus di bawa ke dokter gigi. Saat itu, dengan sepeda motornya Ayah membawaku ke dokter gigi dan menemaniku tanpa beranjak dari tempat saat berada di ruang dokter.
Hal-hal sederhana dan sepele, namun sangat membekas meski kini aku telah dewasa dan Ayah sudah berada di usia senja. Itu semua tidaklah mudah dilupakan dan tak mungkin terganti oleh lelaki manapun.
Ayah adalah sosok yang selalu menjadi cinta pertamaku, bahkan sampai mati. Meski kini beliau tak mampu lagi mengayun anaknya dengan kaki keriputnya, juga tak lagi membonceng dengan motor bututnya, namun tutur dan doanya akan selalu aku harapkan sampai waktu yang tak terhingga.
#WomenforWomen