Fimela.com, Jakarta Aspek self healing merupakan hal yang penting karena dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus pasien kanker yang meninggal di seluruh dunia.
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer di Globocan 2020, terdapat 19,3 juta kasus kanker di dunia dan 9,9 juta kasus pasien kanker meninggal setiap tahunnya. Sehingga, membuat penderita kanker merasakan serangkaian emosi, mulai dari marah, putus asa, hingga depresi, yang juga dapat memengaruhi nafsu makan.
“Salah satu kunci sukses terapi adalah pasien itu memiliki kesiapan nutrisi yang baik. Sebab, pada saat terjadi malnutrisi, terapi menjadi terhambat karena tubuh pasien tidak dapat menerima paparan terapi yang diberikan. Bahkan, terapi harus dihentikan,” ujar Medical General Manager PT Kalbe Farma Tbk, dr. Dedyanto Henky Saputra, M.Gizi, AIFO-K pada 2022: PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) melalui Kalbe Ethical Customer Care (KECC) bekerjasama dengan Indonesia Cancer Care Community (ICCC).
Ia menambahkan jika kondisi gizi buruk, tubuh pasien tidak dapat menahan efek samping yang terjadi. Kedua, malnutrisi meningkatkan komplikasi lain, misalnya infeksi, yang berisiko menurunkan kualitas hidup pasien atau lama rawat menjadi lebih panjang dan biaya perawatan lebih mahal.
Salah satu penyebab terjadinya malnutrisi pada pasien kanker ialah berdasarkan jenis kankernya. Pasien kanker nasofaring dan kanker saluran cerna memiliki risiko tinggi mengalami malnutrisi. Selain itu, semakin tinggi stadium kanker, maka risiko malnutrisinya juga semakin besar.
Dampak sitokin
Dampak dari sitokin juga berpengaruh terhadap malnutrisi. Sebab, sitokin secara umum menyebabkan tubuh pasien kanker membutuhkan kebutuhan makan yang lebih banyak, tapi di sisi lain turut menghambat nafsu makan.
Kemudian, faktor kemoterapi dan radioterapi. Terapi tersebut dapat menimbulkan gejala samping seperti mual, muntah, dan sariawan. Gangguan psikologis juga dapat membuat pasien takut untuk mengonsumsi makanan.
Padahal, pasien kanker membutuhkan banyak asupan kalori dan protein. Salah satu produk yang dapat membantu memenuhi asupan nutrisi pasien kanker ialah Nutrican.
“Pilihlah jenis makanan yang memiliki densitas energi (kalori) yang besar. Artinya, makan sedikit tapi bobot kalori dan proteinnya besar. Sehingga pasien tidak terbebani saat makan. Jadi sebagai keluarga, kita harus memilih makanan yang kecil tapi mengandung kalori dan protein tinggi itu apa saja,” ungkap dr. Dedy.
Di sisi lain, penyebab kanker sendiri bisa dari faktor genetik maupun gaya hidup yang memicu munculnya tumor ganas. Namun, ada juga faktor random, yang dijelaskan oleh Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Prof. Dr. dr. Aru W Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP.
“Kita pakai kata random. Kanker itu akibat peristiwa mutasi. Tubuh kita itu selnya selalu membelah, berganti baru. Dalam rangka pembelahan sel itu selalu terjadi mutasi dan ada yang namanya random mutation. Jadi tidak ada penyebab apa-apa,” tutur Prof. Aru dalam talkshow Kalbe dengan topik Beyond Physical: Mental and Emotional Impact.
“Mengapa kita tidak kena kanker? Itu karena kita mempunyai sistem repair, di dalam tubuh kita seperti ada satpam yang keliling-keliling kalau menemukan ada sel yang sedang tidak benar membelah sel, kita akan reparasi, dimatikan,” paparnya.
Pada keadaan seimbang itu, maka tubuh manusia dinyatakan masih sehat. Namun, di dalam tubuh manusia selalu mengalami berjuta-juta mutasi. Prof. Aru menekankan, apabila montirnya itu dilemahkan dengan cara kita hidup, maka akan terjadi kerusakan.
Tak heran sejumlah penyebab kanker tidak berdasarkan faktor genetik maupun lifestyle. Lalu, bagaimana pencegahannya?
“Random kesalahan yang kebetulan itu tidak direparasi dengan sistem tubuh, karena ada yang kita tidak ketahui. Memang untuk mencegah itu penting tapi tidak ada tolak ukurnya, akhirnya yang penting itu deteksi dini. Itu pun enggak gampang, karena beberapa tumor seperti kanker ginjal dan kanker pankreas, sebelum dia menekan saraf, sebelum dia membuat gangguan fungsi, itu tidak akan ketahuan gejalanya,” jelasnya.
Ketika divonis terpapar kanker, tak hanya perjuangan pasien yang dibutuhkan, tetapi juga dukungan dari keluarga. Namun, dukungan keluarga yang berlebihan dapat menimbulkan toxic positivity. Contohnya, ketika terus-menerus memberikan motivasi positif yang membuat pasien kanker merasa tidak dipahami, karena pasien kanker memiliki ketakutan.
“Ini sebenarnya fenomena yang cukup sering. Saat kita menemani keluarga atau teman kita yang berobat, kita harus dengar dulu pasien perlunya apa. Bukan kita berusaha menutup ketakutannya dengan memborbardir memberikan motivasi positif, yang justru itu menjatuhkan mental pasien (mental breakdown),” pungkas Hematologi Onkologi Medik MRCCC Siloam Semanggi, dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM.
#women for women