Fimela.com, Jakarta Di tengah naiknya angka kasus COVID-19 di Indonesia banyak yang mengira orangtua akan meminta untuk membatalkan pembelajaran tatap muka atau PTM, kemudian kembali menjalani PJJ. Namun survei yang baru saja dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia justru mengungkapkan fakta yang sebaliknya.
Dari survei singkat yang dilakukan KPAI terhadap orangtua tentang PTM di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Hasilnya, mayoritas orangtua setuju untuk tetap digelar PTM di saat kasus Omicron melesat.
Dalam survei singkat yang dilakukan selama dua hari dengan total 1.209 responden menunjukkan mayoritas orangtua dalam survei ini setuju PTM 100 tetap berjalan. Meski kasus Omicron terus merangkak naik di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Dengan persentase sebanyak 61% responden setuju. Sementara 39% tidak menyetujui kebijakan tersebut.
“Meskipun jumlah yang tidak menyetujui lebih kecil dari yang menyetujui kebijakan PTM 100 persen, pemerintah tak boleh mengabaikan suara mereka," kata Komisioner Retno Listyarti.
What's On Fimela
powered by
Alasan setuju PTM 100 persen
Meski mayoritas orangtua setuju, masih ada kalangan orangtua yang tidak setuju sehingga Retno menyebut agar kelompok tersebut tetap difasilitasi izin orangtua agar sang anak dapat mengikuti PTM pada semua level PPKM.
"Karena ketika kebijakan PTM 100 persen, maka izin orang tua tidak ada lagi. Padahal, ada 39% orang tua khawatir anaknya mengikuti PTM dan berharap dapat memilih serta dilayani PJJ," urai Retno.
Dalam survei yang sama juga disebutkan alasan mengapa mayoritas orangtua memilih untuk dilakukan PTM 100 persen di saat kasus COVID-19 melonjak drastis.
1. Jenuh PJJ
Menurut mayoritas orangtua, banyak anak yang merasa jenuh dengan PJJ. 28% anak bahkan lebih sibuk menggunakan gadget untuk memainkan game online maupun media sosial.
2. Tidak efektif
Aktivitas PJJ dinilai tidak efektif untuk pendidikan formal di Indonesia. 50% anak-anak sudah terlalu lama PJJ sehingga mengalami penurunan karena ketidakefektifan proses pembelajaran.
3. Prokes yang ketat
Orangtua menilai ketika sang anak bisa menerapkan protokol kesehatan dengan sangat ketat maka potensi penularan COVID-19 dapat dikurangi. Sebanyak 15% orangtua berpendapat hal ini mendukung sebaiknya untuk dilakukan PTM.
4. Orangtua merasa kesulitan
Dengan situasi PJJ, 3% orangtua menyebut bahwa mereka merasa kesulitan untuk mendampingi anaknya. Terlebih jika harus berbagi waktu dan tenaga untuk mengerjakan tugas dari kantor akibat WFH.
Alasan tidak setuju PTM
Sementara itu, sejumlah orangtua yang tidak setuju dilakukan PTM 100 persen memiliki alasan tersendiri.
1. Anak belum mendapatkan vaksin lengkap atau justru belum semua anak divaksin.
2. Perilaku anak yang sulit dikontrol terutama untuk peserta didik TK dan SD.
3. Ketika dilakukan PTM 100 persen, maka akan sulit bagi anak untuk jaga jarak selama pembelajaran.
4. Tingginya angka COVID-19, khususnys Omicron.
“Mayoritas orangtua yang tidak menyetujui kebijakan PTM 100% memiliki alasan kesehatan, yaitu meningkatnya kasus Covid, terutama Omicron yang memiliki daya tular 3-5 kali lipat dari Delta, sehingga mereka tidak ingin anak-anaknya tertular,” ujar Retno.
Usulan kepada pemerintah
78% Responden yang tidak setuju PTM mengungkapkan bahwa sekolahnya sudah pernah ditutup karena adanya temuan kasus COVID-19 di sekolahnya.
Berkaca dari hasil survei yang ada, Retno dari KPAI menilai orangtua hanya ingin PTM tetap berjalan dengan kapasitas yang dikurangi menjadi 50%. Mengingat sulitnya jaga jarak saat proses pembelajaran di dalam kelas dan dalam ruangan tertutup selama beberapa jam yang menyebabkan risiko tinggi penularan. Bahkan ada 25% orangtua yang ingin PTM dihentikan dahulu.
Retno menambahkan, usulan PTM dihentikan dahulu ini diangka yang cukup besar, yaitu 25% orangtua peserta didik, meskipun dihentikannya sampai kapan berbeda-beda. Ada orangtua yang mengusulkan hingga usai 14 hari libur Idul Fitri (4%), sampai Maret 2022 (11%) dan sampai tahun ajaran baru (10%).