Meski Kecelakaan Itu Mengubah Hidupku, Kucoba Pulih dan Bangkit Lagi

Endah Wijayanti diperbarui 03 Feb 2022, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.

***

Oleh: Linda Mustika Hartiwi

Tanggal 2 April 2017, tak akan terlupa dalam hidupku. Tanggal saat aku mengalami kecelakaan ditabrak motor yang mengakibatkan pembuluh di kaki kananku putus dan membuatku harus menjalani operasi sampai sembilan kali dalam kurun waktu delapan bulan.

Selama tiga bulan pertama sejak mengalami kecelakaan, aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur dan tidak bisa menggerakkan anggota tubuh dengan leluasa. Aku tidak bisa melakukan rutinitas aktivitas yang selama ini kulakukan untuk diriku sendiri juga untuk keluargaku.

Untuk makan dan minum saja aku membutuhkan bantuan orang lain. Apalagi untuk aktivitas yang aku harus bangun untuk melakukannya, aku tak mampu sama sekali. Aku merasa menjadi insan yang tak berguna yang tidak bisa melakukan apa pun dan banyak merepotkan keluarga atau sanak saudaraku.

 

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Kecelakaan yang Mengubah Hidupku

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Twinsterphoto

Di lubuk hati yang paling dalam aku protes kepada Tuhan, mengapa harus aku yang dipilih untuk menerima ujian dari-Nya? Mengapa bukan orang lain?

Aku sempat lupa mengerjakan sholat yang merupakan kewajibanku untuk beribadah kepada-Nya, karena sibuk memikirkan hal itu selain merasakan sakit, perih, kebas dan panas di kaki kananku yang dioperasi. Aku ingin marah saat orang tua penabrak kakiku datang menjengukku karena aku beranggapan gara-gara ditabrak anaknya, aku mengalami beragam rasa yang sangat menyiksaku.

Aku enggan untuk bertemu atau bertegur sapa dengan teman dan kerabat yang berempati kepadaku, baik datang secara langsung atau melalui media sosial. Aku malas untuk membuka gawai hingga menumpuk ribuan komentar menanyakan keadaanku yang tak kujawab. Aku merasa terpuruk dan sulit untuk bangkit hingga enggan bersosialisasi.

Suami, kedua anakku juga keluargaku yang lain tak henti dan tak lelah menyemangatiku untuk bangkit dari keterpurukan dan sabar juga ikhlas menerima takdir Tuhan untukku. Suamiku juga terus mengajakku untuk kembali beribadah kepada Tuhan memohon petunjuk-Nya dan memetik hikmah dari semua keadaan yang menimpaku.

Hingga di suatu malam saat aku terbangun dari lelap tidurku, aku tersadar bahwa benar adanya, kepada siapa aku memohon petunjuk selain kepada-Nya? Dengan gerakan semampuku aku tayamum karena aku tidak bisa bangun untuk berwudhu dan aku melakukan sholat dengan keadaan terbaring.

Dalam lantunan doa yang kupanjatkan kepada-Nya di keheningan malam, aku menangis memohon ampun telah ingkar dari kewajibanku untuk melakukan sholat. Aku meminta agar diberikan kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan iman untuk mampu menerima ujian kecelakaan yang diberikan kepadaku dan menyadari bahwa semua ini adalah seijin-Nya.

3 dari 4 halaman

Perlahan Memulihkan Diri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Kanyanat+Kasemsook

Sejak itu hatiku lebih tenang dan sedikit demi sedikit kubangun semangat untuk bangkit dari keterpurukanku. Aku merasa iba melihat suami dan kedua anakku yang sangat menginginkan kesembuhanku dan membutuhkan aku dalam kebersamaan seperti dulu sebelum aku kecelakaan.

Hingga setelah tiga bulan lamanya aku hanya bisa terbaring lemah, aku belajar duduk di kursi roda dan menjalani terapi di rumah sakit karena kaki kananku yang semakin mengecil akibat tidak digerakkan dan dokter mengkhawatirkan kaki kananku akan lumpuh. Dengan menahan sakit yang luar biasa di awal terapi aku rutin melakukannya dan berangsur-angsur keadaanku membaik. Kemudian aku beralih ke walker dan tongkat untuk latihan berjalan.

Dalam masa-masa terapi di rumah sakit dan latihan berjalan di halaman rumah, membuatku sering bertemu dengan orang lain baik yang mengenalku atau maupun yang tidak mengenalku. Aku tidak pernah tahu dengan apa yang di benak pikiran mereka saat melihat keadaanku yang berjalan menggunakan tongkat, namun jujur di sisi hati ada yang menyesakkanku.

Aku malu dengan tubuhku yang kurus akibat tidak ada nafsu makan. Aku merasa minder karena aku pincang dan belum bisa berjalan normal dengan kedua kakiku.

Aku galau dengan penampilanku akibat masih tersisa rasa engganku untuk berdandan meski hanya sekadar berbedak. Apalagi bila kutengok sedikit ke masa lalu, aku pernah menjadi yang terbaik di sekolah atau pernah menjadi karyawan teladan di tempatku bekerja. Dan kini? Aku seperti tak percaya, aku tidak lagi bisa energik dan lincah beraktivitas. Aku harus berlatih keras agar bisa sekadar berjalan tanpa mengandalkan bantuan orang lain.

Sampai Tuhan mempertemukanku dengan seorang wanita sebaya yang sangat menginspirasiku dan membuatku takjub akan kasih sayang-Nya kepada umat-Nya. Sahabatku ini seorang penjual sayur keliling yang diberikan keistimewaan tubuh yang mungil namun mempunyai semangat dan keikhlasan yang tinggi dalam menjalani kehidupannya.

4 dari 4 halaman

Memilih untuk Bangkit daripada Terpuruk

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Tinapob+Proongsak

Setiap hari sahabatku ini berkeliling menjajakan dagangannya yang ditaruh di boncengan sepeda mini yang menurutku berat untuk dibonceng. Tak kenal lelah walau peluh dan keringat di wajahnya setelah berjuang untuk mengayuh pedal sepeda mini yang setia menemaninya setiap hari.

Ia juga pernah mengatakan sesungguhnya ia juga ingin seperti wanita normal lainnya yang cantik dan mempunyai tubuh tinggi, tidak seperti tubuhnya yang mungil. Namun ia sadar dan ikhlas menerima takdir Tuhan untuknya yang tidak boleh disesali. Jleb... ada yang menusuk di hati saat kudengar apa yang dikatakannya, aku merasa tak pantas berdiri bersanding dengan sahabatku ini, aku merasa lebih kecil darinya.

Aku menjadi diri yang tak pandai bersyukur di hadapan-Nya. Bukankah aku mempunyai tubuh yang lebih tinggi daripada sahabatku ini, walaupun aku pincang? Bukankah aku lebih enak dalam menjemput pintu rezeki dengan hanya duduk di tempat yang teduh tanpa harus kepanasan dan kedinginan, dibandingkan sahabatku yang dengan susah payah mengayuh sepeda mininya di bawah terik sinar mentari atau di tengah guyuran hujan deras? Pertemuanku dengan sahabatku ini membuka mata hatiku untuk kuat melangkah menjalani kehidupan.

Kini hampir lima tahun aku berteman dengan rasa kebas di kaki kananku dan dokter mengatakan bahwa seumur hidup aku akan mengalaminya. Aku juga berteman dengan tongkat yang setia menemaniku dalam beraktivitas dan selalu kuajak ke mana pun aku pergi.

Aku terus belajar untuk ikhlas serta sabar dengan keadaanku ini dan melakukan yang terbaik dengan segenap kemampuanku. Tiada guna aku larut dalam keterpurukan yang hanya menyiksaku dan merugikan diriku sendiri.

Aku harus semangat dan bangkit untuk menapak, menjalani hari-hariku. Ada keluargaku dan orang-orang di sekitar yang menyayangi dan membutuhkan aku dalam kebersamaan meraih impian juga harapan nan indah.

Semoga kisahku ini bisa menginspirasi sahabat Fimela. Salam.

#WomenforWomen