Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.
***
Oleh: Eka Hikmawati
Insecurities menemani masa remajaku dalam tahap pencarian jati diri hingga menempaku menjadi wanita dewasa yang percaya diri. Dulu aku adalah seorang gadis polos dari desa yang mempunyai mimpi bisa melanjutkan studi di kota besar.
Saat masih gadis aku pikir dunia akan ramah kepadaku jika aku bekerja keras dalam studi tanpa memikirkan penampilan dan merawat diri (self love). Saat itu aku tidak tahu apa makna self love, dalam benakku menyenangkan diri adalah hal yang tidak bermanfaat. Didikan keluarga bahwa apa pun harus diraih dengan kerja keras, membentukku menjadi pribadi yang keras terhadap diri sendiri, meskipun aku masih berusia belia.
What's On Fimela
powered by
Masa Kuliah
Aku dinyatakan diterima di salah satu Politeknik Kesehatan di kota Semarang. Aku bahagia sekaligus bersyukur karena mimpiku untuk bisa berkuliah dikabulkan Tuhan. Aku mulai menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan selama kos di Semarang.
Sebelum memulai perkuliahan, mahasiswa baru akan menjalani masa orientasi (ospek). Selama menjalani ospek, mahasiwa baru diwajibkan memakai atasan putih dan bawahan hitam. Karena ingin berhemat, aku meminjam atasan putih hitam milik bulikku yang kebetulan seorang guru. Meskipun agak kebesaran, aku tidak malu untuk memakainya.
Masa ospek dimulai, di sana aku bertemu teman-teman dari berbagai penjuru daerah. Saat bertemu mereka, aku merasa ada hal yang berbeda. Mereka datang dengan penampilan yang baik, dan tentunya terlihat sangat cantik. Berbeda dengan diriku, yang berpakaian ala kadarnya dan tidak memperhatikan penampilan.
Di kos, aku bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai jurusan. Mereka suka menghabiskan waktu senggang dengan menonton film dari laptop. Aku pun ikut menonton dan mengcopy beberapa film.
Ada satu film yang membuatku mengenal passion, yaitu film Three Idiots. Mengisahkan persahabatan 3 mahasiswa yang penuh lika-liku, karena belum menemukan passion mereka. Aku merasakan apa yang mereka alami.
Sejak SMA ternyata aku tidak mengerti apa passion-ku. Aku merasa telah belajar begitu keras, hingga tidak memperhatikan penampilan. Bahkan aku sering sakit tifus, karena terbebani dengan beban mata pelajaran eksakta. Aku murid yang berprestasi sejak kecil maka keluarga mengarahkanku untuk memilih jurusan IPA atau eksakta.
Saat menjalani perkuliahan, aku terbebani dengan praktikum. Hal yang coba kutolerir karena aku akan menjalani perkuliahan ini hanya selama tiga tahun (D3). Tetapi hati kecilku menolak, sampai kapan aku akan mempelajari hal yang bukan minat dan bakatku. Apakah aku bisa menghadapi tekanan di dunia kerja, apabila aku tidak mempunyai minat dan bakat pada hal yang kupelajari.
Dikritik Mengenai Penampilan oleh Dosen
Aku diberi tugas menjadi penanggung jawab (PJ) mata kuliah komputer dengan salah satu temanku. Dosen pengampunya terkenal sangat disiplin dan modis.
Saat itu mahasiswa baru diwajibkan tetap memakai baju putih hitam sambil menunggu seragam dari politekhnik siap. Ketika aku menyerahkan presensi kepada beliau. Sambil menatapku, spontan beliau berkata dengan nada keras, “Kok kamu, kampungan sekali!” Aku hanya terdiam sambil berlalu membawa presensi yang telah ditandatangani beliau.
Sesampai di kos, aku merenungi perkataan dosen tersebut. Sambil menatap cermin aku melihat diriku yang berbadan kurus dengan wajah dipenuhi jerawat. Kupandangi kakak tingkat di kos yang berlalu menuju kampus. Mereka terlihat cantik dengan pakaian rapi, terlihat energik pergi menuju kampus.
Mulai Memperhatikan Penampilan
Diam-diam aku memperhatikan peralatan mandi teman-teman kosku. Rata-rata berisi bermacam skincare yang masih asing untukku.
Sangat kontras dengan peralatan mandiku yang hanya berisi peralatan mandi sederhana. Aku mulai berkenalan dengan skincare, membelinya di minimarket terdekat. Ingin rasanya wajahku tidak dipenuhi jerawat seperti teman-temanku.
Aku mulai rutin memakai skincare, tetapi tetap saja wajahku masih dipenuhi banyak jerawat. Ditambah beban perkuliahan yang makin padat sedangkan aku tidak menyukai materi yang diberikan. Tetapi aku tetap berusaha belajar giat, karena aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku.
Mendapat Indeks Prestasi Baik di Awal Perkuliahan
Satu semester kulalui dengan jatuh bangun. Bersyukur hasilnya tidak mengecewakan. Pada semester satu aku masih mampu mencapai Indeks Prestasi (IP) tiga. Aku mendapat IP 3,11. Aku sangat bersyukur dan yakin pada semester-semester selanjutnya, aku bisa menguasai materi. Meskipun aku menyadari ini bukan passionku, tetapi aku akan berusaha semampuku.
Mengalami Quarter Life Crisis
Semester dua, aku mulai beradaptasi. Aku menemukan teman-teman yang baik. Teman dan kakak tingkat di kos juga sudah seperti keluarga baru bagiku. Kami sering mengahabiskan waktu bersama ketika akhir pekan.
Di semester ini, materi praktikum semakin banyak. Meskipun aku sudah belajar sangat keras, tetap saja nilai-nilaiku di semester dua jatuh. Saat menempuh ujian akhir pada semester dua, hampir semua mata pelajaran aku mengalami remedial (mengulang).
Saat hampir semua teman kosku pulang kampung karena telah selesai melakukan ujian, aku masih bertahan di kos untuk menyelesaikan remedial. Hingga menyisakan pertanyaan pada kakak tingkat semester akhir yang kebetulan sedang berada di kos.
Salah satu kakak tingkatku menghampiriku dengan nada mengejek, “Eka, kata Mbak Ririh (asisten dosen pada jurusanku) kamu jadi panitia remidi ya, makanya masih sendirian di kos”. Aku hanya tersenyum sambil melanjutkan membaca materi yang akan diujikan.
Masa remedial telah kulalui, saatnya aku pulang kampung. Saat di rumah, tifusku kambuh. Kali ini lain, aku harus sampai opname di rumah sakit. Dokter keluarga yang biasa menanganiku semenjak SMA, menyarankanku untuk rawat inap di rumah sakit, karena dirasa gejala yang kualami lebih berat dari yang dulu.
Saat sakit, aku merasakan insecure terhadap apa pun. Aku merasa berbeda dengan teman-temanku yang lain. Aku merasakan burnout.
Aku sangat keras dengan diriku sendiri semenjak kecil. Saat itu aku mengalami apa yang dinamakan Quarter Life Crisis (krisis seperempat abad). Di usiaku yang masih belia, aku mulai mempertanyakan mengenai passion dan self love.
Aku menyadari aku tidak pernah mendapatkan pengetahuan mengenai hal tersebut baik dari orang tua maupun guru. Orang dewasa di hidupku yang notabene menjadi role model pada diriku yang sedang berproses mencari jati diri.
Aku merasa salah arah dan harus berpindah. Aku menyatakan keinginanku untuk pindah jurusan. Aku ingin mempelajari apa yang selama ini aku minati. Sakit tifusku kali ini adalah bentuk alarm di tubuhku karena sudah terlalu keras dalam melakukan sesuatu. Aku tidak ingin menyesal seumur hidupku karena tidak memperjuangkan passionku seperti dalam film Three Idiot.
Resign dari Politeknik
Aku memutuskan resign dari Politeknik, tetapi tidak ada resign untuk hubungan pertemanan. Terutama dengan teman di kos yang sudah seperti keluarga kedua bagiku. Kami tetap berhubungan dan saling support meskipun hanya melalui sosial media.
Aku memulai semuanya dari awal. Jeda waktu menunggu pembukaan penerimaan mahasiswa baru, aku habiskan untuk browsing dan mengikuti tes minat bakat via online.
Aku ingin memperjuangkan cita-citaku sedari kecil menjadi guru. Ketertarikanku pada psikologi anak, membuatku menjatuhkan pilihan pada jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Aku merasa mendapat kesempatan kedua dari Tuhan. Kegagalanku pada perkuliahan pertama kuanggap sebagai pelajaran berharga. Berkat kejadian itu aku mengenal apa itu self love dan passion.
Kritikan dosenku dahulu mengenai penampilanku, menjadi cambuk bagiku bahwa suatu saat aku bisa berubah menjadi lebih baik. Ternyata aku mempunyai ketertarikan dengan dunia fashion dan skincare. Aku mulai memperhatikan penampilanku dan merawat diri.
Resign dari kampus lama membuatku mengerti tentang arti persahabatan. Ternyata hidup begitu berwarna ketika kita mempunyai sahabat sejati, hidup tidak hanya tentang prestasi diri saja. Aku bertekat akan merawat persahabatan di kampus baruku ini.
Menemukan Sahabat Sevisi di Kampus Baru
Di kampus baru, aku menemukan sahabat baik. Kami saling membantu dalam mengerjakan tugas perkuliahan, dan ingin menjadi cantik bersama.
Kini tidak hanya mendapat sahabat baik aku juga mendapat teman sevisi dalam hal passion dan self love. Menjadi guru berjati diri yang peduli akan penampilan adalah mimpi kami.
Saat tidak ada perkuliahan, kami sempatkan untuk sekedar berjalan-jalan di mall, selain melepas penat kami juga membeli skincare yang sedang diskon dan dress code senada ala kelompok kami.
Waktu berlalu begitu cepat, kami berhasil membawa toga yang kami persembahkan untuk keluarga dan kini sama-sama berkarier menjadi guru. Meskipun jarang bersua, kami tetap saling support melalui grup Whatssapp.
Beberapa dari kami sudah menjadi guru yang bergelar ASN dan PPPK. Aku kini telah berkeluarga dan menikmati peran baru sebagai ibu dengan satu anak. Selain menjadi guru, kecintaanku pada dunia kecantikan juga membawaku menjadi brand partner dari salah satu produk skincare.
Menjadikan Insecurities sebagai Cambuk
Saat membuka sosial media, pada berandaku muncul akun salah satu kakak tingkatku dahulu. Dia baru saja menyelesaikan seremonial wisuda Strata Satu pada jurusan pendidikan. Dia pada akhirnya mengambil jurusan pendidikan di salah satu Universitas di kota kelahirannya.
Aku tersenyum mengingat masa lalu, karena dia adalah kakak tingkat yang menyebutku dengan sebutan “Panitia Remidi”, kini dia sama sepertiku menempuh jurusan pendidikan. Segera kuucapkan selamat di kolom komentar kakak tingkatku.
Masa laluku memberi pelajaran, terkadang kritikan dari orang lain membuat kita merasa insecure. Tetapi alih-alih merasa insecure, ada baiknya kritikan dari orang lain kita jadikan sebagai cambuk bagi diri kita untuk berubah menjadi individu yang lebih baik. Karena kritikan ibarat cermin yang membuat kita lebih dewasa dan menjadi versi terbaik dari diri kita.
#WomenforWomen