Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.
***
Oleh: Nova Ulya
Rasa insecure acap kali menghinggap dalam diri seseorang. Kurang percaya diri dengan kondisi tubuh, atau pun keadaan yang membuat kita tidak nyaman bahkan sulit berkembang. Keadaan ini pun terjadi dalam diriku. Tak pernah terpikir hingga aku mengalami rasa ini.
Dulu, saat di bangku sekolah aku tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri. Dengan segala kemampuan yang Allah berikan, aku sangat bersyukur dengan apa yang aku jalani. Menjadi primadona sekolah, selalu menduduki ranking teratas dari Sekolah Dasar hingga bangku Sekolah Menengah Atas. Pun itu semua tak lepas dari kerja keras yang aku jalani, dan doa dari orang tua pastinya.
Selalu Beprestasi Semasa Sekolah Hingga Kuliah
Saat duduk di Sekolah Dasar, aku mengikuti berbagai perlombaan dari tingkat kecamatan hingga kota. Tidak melulu menjadi juara, namun mentalku cukup terlatih untuk berkompetisi. Tak berhenti sampai di situ, di bangku Sekolah Menengah Pertama aku pun kerap mengikuti berbagai kompetisi sekolah, hingga momen yang tak pernah aku lupa saat aku mengikuti acara pramuka, Jambore Nasional. Aku bertemu dengan teman-teman pramuka dari seluruh Indonesia dan mancanegara. Aku, anak daerah yang haus akan mimpi bisa berada di sana sungguh syukur tak terkira.
Saat SMA pun aku lalui dengan semangat dan prestasi, hingga aku diterima di salah satu universitas negeri. Bersyukur dengan semua yang aku jalani, meski semua itu tak lepas dari doa kedua orang tua yang tiada henti.
Bangku kuliah S1 aku lalui dengan lancar tanpa beban. Ikut dalam beberapa penelitian dosen membuatku cukup dikenal. Setelah kuliah S1, orang tua menginginkanku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang S2. Mereka semangat untukku karena ada harapan besar dari aku kelak saat aku lulus sekolah. Ya, menjadi kebanggaan orang tua, itu yang ingin aku gapai. Aku pun lulus S2 dengan predikat cumlaude.
Semua Berubah saat Aku Menikah
Namun, semua berubah saat aku sudah berstatus istri dan ibu. Sedih, saat kertas demi kertas bukti prestasi diri tersimpan rapi di dalam lemari. Ijazah dengan predikat cumlaude masih bersih. Semua tersimpan rapi dan cukup menjadi bukti masa-masa kejayaanku dulu. Dan sekarang?
Aku hanya di rumah membersamai buah hati dengan agenda domestik yang tiada henti. Merasa tak berguna? Pasti. Merasa tidak produktif? Selalu. Merasa seolah mengecewakan harapan orang tua? Iya.
Semua itu aku rasakan, bahkan hingga detik ini. Rasa insecure itu muncul terlebih saat di beberapa grop WhatsApp pembahasan teman-teman begitu berat dan berbobot. Mulai dari penelitian, pengabdian, jurnal-jurnal bahkan beberapa menyinggung soal disertasi S3 mereka. Produktif sekali mereka.
Sementara aku? Cuma di rumah dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Mencoba mencari celah waktu di saat anak-anak tertidur, menjadi momen untuk menenangkan diriku.
Satu kalimat, "Aku bisa meski di rumah saja." Itu yang selalu aku tekankan pada diri. Mencoba menggali potensi, hingga ketemu di satu titik. MENULIS. Writing for healing. Ya, itu yang aku jalani sekarang. Mengikuti berbagai kompetesi lomba menulis, aktif dalam komunitas literasi, Read Aloud dan melahirkan beberapa buku antologi cukup membuatku tersenyum lagi. Menjadi penulis lepas di kanal media massa pun, cukup membuatku bangga. Aku bisa berkarya meski di rumah saja.
Kujalani Semua dengan Penuh Rasa Syukur
Aku pun tak lupa akan tugas menjadi seorang ibu dari buah hatiku. Aku tidak ingin menjadi orang tua yang rugi. Menemani mereka dari bangun hingga terlelap aku manfaatkan sebaik mungkin. Menggandeng mereka, menuntun mereka hingga belajar bersama, hal yang istimewa yang tidak semua ibu punya kesempatan yang sama.
Dengan membersamai mereka aku pun tahu bakat dari anak-anak. Si sulung yang begitu hobi dengan goresan pena membuat sebuah karya. Jari jemarinya begitu lihai membentuk gambar dan cerita.
Aku pun berusaha untuk mendukung bakatnya, mencari wadah untuk mengembangkan bakatnya. Hingga lahirlah dua buku solo dari si sulung yang masih duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.
Salah satu hal yang sangat aku syukuri saat ini, karena dengan aku di rumah aku bisa fokus dengan perkembangan anak-anak dan menggandeng mereka menuju kebaikan. Yang selalu aku ingat, bahwa ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Bye insecurities! Aku bisa meski di rumah saja.
#WomenforWomen