Menghadapi Bodyshaming Semasa Kecil, Ini Caraku Lebih Percaya Diri saat Dewasa

Endah Wijayanti diperbarui 26 Jan 2022, 15:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.

***

Oleh: Resti Siti Nurlaila

Siapa di sini pernah diejek dan diolok-olok saat masa kecil? Apakah rasa sakitnya masih ada hingga beranjak besar? Atau justru tertinggal saat kita meninggalkan masa kecil untuk bertumbuh?

Well, bagiku, luka akibat ejekan atau penindasan terus menemaniku sampai aku besar. Semasa kecil, aku dianugerahi Tuhan badan yang lebih montok dari anak-anak perempuan seusiaku.

Dari SD, aku sudah terbiasa mendengar ejekan, terutama dari teman laki-laki, bahwa aku ini gendut, gembrot, si tukang makan (padahal aku tidak pernah berlebihan makan kalau di sekolah), si bola basket, si angka nol, si roti kasur, dan lain-lainnya yang aku lupa.

 

 

2 dari 4 halaman

Semasa Kecil

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/supawadee++kunthonsurapol

Kalau sedang olahraga, jika aku terjatuh, teman laki-lakiku akan menertawakanku alih-alih menolong, sembari bilang bahwa itu karena aku kegendutan sehingga tidak bisa berlari dengan benar. Pokoknya sudah jadi makan sehari-hari buat telingaku mendengar kata-kata tidak menyenangkan tersebut.

Yang lebih menyakitiku adalah ketika mereka mengomentari (maaf) ukuran payudaraku. Aku memang terlalu cepat mendapatkan menstruasi, dan dadaku menjadi lebih besar dari teman perempuanku lainnya.

Mereka (teman laki-lakiku) terus berkata bahwa dadaku besar, dadaku seperti bola, dan ejekan lain yang rasanya tidak pantas aku tuliskan disini. Apakah aku mengadu? Tidak. Aku terlalu takut mengadu pada guru atau orangtuaku. Yang kulakukan hanyalah memendamnya, dan paling menangis jika sudah benar-benar tidak sanggup lagi menahannya. Semua perkataan itu kemudian tumbuh menjadi rasa insecure yang semakin lama menumpuk di pikiranku.  

Aku mulai membenci diriku sendiri. Aku benci saat bercermin dan mendapati tubuh gemukku, dan dada besarku. Aku tidak suka melihat pipiku sendiri. Aku takut makan karena itu hanya akan membuatku bertambah gendut saja.

3 dari 4 halaman

Proses Berdamai dengan Diri Sendiri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Day2505

Aku mulai menyalahkan kenapa Tuhan memberiku badan yang besar, bukannya badan kecil seperti yang lainnya saja. Aku tumbuh dengan pikiran itu. Aku menjadi tidak percaya diri.

Saat SMA, aku yang biasanya aktif berorganisasi, memilih untuk tidak ikut ekstrakurikuler apapun. Yang kulakukan hanyalah sekolah-pulang-sekolah-pulang. Aku takut bertemu lebih banyak orang, karena takut mereka akan mengejekku seperti masa SD dan SMP-ku.

Aku takut ketika perasaanku mulai menyukai lawan jenis, karena aku ini gendut dan jelek, mana mungkin perasaanku terbalas? Yah, aku hidup dalam ketakutan karena perasaan insecure-ku.

Lalu, entah bagaimana, Tuhan seperti memberiku jawaban melalui seorang teman. Seorang teman laki-laki, dia memujiku.

Dia bilang aku ini tidak sejelek yang selama ini kupikirkan. Gendut tidak berarti aku tidak cantik, gendut bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa pun yang kusukai. Tidak perlu memikirkan apa kata orang, karena bukan mereka yang menentukan hidup kita. Melainkan diri kita sendiri.

Pikiranku mulai positif mendengarkan kata-kata yang positif juga. Itu mengubah hidupku. Aku mulai membenahi diri sendiri. Aku memulai dengan mencoba tidak mendengarkan kata orang. Bersikap tidak peduli. Bodo amat dengan ujaran orang lain padaku.

Di titik itulah, aku bangkit. Aku mulai melakukan olahraga, bukan karena aku tidak ingin gendut, tapi lebih karena aku ingin menjadi lebih sehat. Aku mencintai diriku, makanya aku ingin selalu menjaganya.

4 dari 4 halaman

Bangkit dan Melangkah dengan Lebih Tegak

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Tong_stocke

Aku juga mulai mengembangkan passion­­-ku di dunia literasi, dengan mengikuti kelas-kelas menulis, seminar dan menelurkan beberapa karya fiksi. Aku menjadi lebih terbuka, sering bersosialisasi dan melakukan kegiatan saat di universitas.

Saat aku mulai percaya diri, tidak ada lagi orang yang mengejek bentuk fisikku. Kalaupun ada, aku bisa menerima dengan lapang dada. Karena telingaku sudah tidak lagi meneruskan segala macam ejekan ke pikiranku. Biasanya, akan langsung terbuang ke tempat sampah.

Sekarang, setelah menjadi ibu satu anak dan tubuhku menjadi lebih gemuk dari sebelumnya, aku tidak lagi merasa insecure. Justru aku menikmatinya.

Ini adalah berkah dari menjadi seorang Ibu. Saat ini aku belum menerima ejekan terkait bentuk badanku, tapi jika suatu hari nanti ada yang mengolok-olokku, sembari membusungkan dada, aku akan bilang pada mereka, “Urusilah kehidupanmu sendiri, jangan mencampuri urusan orang lain.” Lalu aku akan melenggang pergi dan membiarkan mereka membicarakanku di belakang.

Karena aku ingat satu hal. Bukan orang-oranglah yang menentukan hidup kita, tapi kita sendiri.

  

 

#WomenforWomen