Saat Ibu Jatuh Sakit, Itu Momen yang Sangat Berat untuk Dihadapi

Endah Wijayanti diperbarui 03 Jan 2022, 15:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.

***

Oleh:  Devi Tirtasari

Tidak terhitung berapa banyak lagu, puisi dan kisah yang memaparkan betapa heroiknya seorang ibu. Ibu adalah pahlawan. Ibu adalah pejuang paling tangguh, wanita hebat, perempuan pemilik gudang kasih sayang. Ibu, Mamah, Bunda, begitulah kami, anak-anaknya memanggil bidadari kami. 

Siapa ibu? Dia lebih dari sosok yang melahirkanku. Dia adalah orang yang menyajikan makanan sebelum aku merasa lapar. Terjaga sebelum aku tidur, dan tidak tidur saat aku sakit dan menangis di usia belia yang merepotkannya. 

Siapa ibuku? Awalnya aku tak sadar dengan kedudukannya. Aku menganggapnya sebagai seorang yang memang sudah seharusnya melakukan kewajiban untuk mengurusku. Masak, mencuci pakaian, memberiku uang, itu semua adalah keharusannya. 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Ibu Sakit, Hidupku Jadi Rumit 

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/9nong

Waktu demi waktu, keadaan hidup mulai membentur kepalaku agar aku sadar, mengguyur naluriku agar aku bangun. Ibu, betapa berat bebanmu, hingga engkau jatuh sakit. Beban pikiran, pekerjaan, dan kehidupan menjadi gejala tak berdayanya dirimu.

Engkau sakit sambil menjerit. Aku yang tidak berguna ini, tak tahu harus berbuat apa. Aku menangis, menderita tanpa bantuanmu. Bagaimana caranya aku bisa melanjutkan hidup dengan tegar tanpa peran dirimu? 

Sementara ibu sakit, separuh perannya diambil oleh ayah. Ayah memasak, ayah mencuci, ayah melakukan pekerjaan rumah, tapi tidak sebaik ibu. Masakannya sering terlalu asin, baju hasil cuciannya kadang masih terdapat noda. "Wajar," kata ibu, "Di samping itu, ayah sudah bekerja keras banting tulang untuk mencari nafkah."  

Semenjak itu barulah aku belajar. Belajar untuk membantu ayah melakukan pekerjaan rumah. Banyak hal yang aku kerjakan, masak, mencuci, hingga akhirnya sebuah kalimat yang mungkin ingin Tuhan dengar dariku terucap, "Apakah seperti ini lelah yang ibu rasakan? Setiap hari mengerjakan ini itu, dari mulai bangun sampai tidur lagi dia melayaniku? Iya, mungkin begini lelah yang dirasakan ibu." 

Bulan demi bulan berlalu, akhirnya aku dapat melakukan sujud syukur atas kesembuhan ibu. Aku tak menyangka dia akan sembuh secepat ini. Saat ini aku sedang berada di penghujung masa sekolahku.

Iya, saat ini aku masih kelas 12 SMA. Aku pernah mengira bahwa acara kelulusanku nanti tidak akan dihadiri oleh ibu. Tetapi, Tuhan tidak membiarkan perkiraan buruk itu terjadi padaku. Aku bersyukur, sangat bersyukur, bukan karena aku senang karena ada yang menjalankan pekerjaan rumah lagi, atau karena aku tidak akan memakan masakan ayah yang keasinan lagi. 

3 dari 3 halaman

Ibu yang Luar Biasa

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/GBALLGIGGS

Aku senang begitu melihat wajah ibuku yang segar dan badannya bugar kembali. Aku senang melihat dia tersenyum, tertawa menonton acara TV yang tidak aku sukai, bahkan aku pernah merasa senang karena kembali dimarahi dia lagi. Iya, dia sering marah, aku terima itu, lebih baik seperti ini seterusnya, daripada aku harus merindukan kemarahan itu.

Jadi, siapa ibuku? Dia bukan hanya sekadar orang yang memenuhi kebutuhanku. Bahkan sebenarnya dia tidak lahir untuk misi itu. Ibu yang penyayang adalah makhluk mulia, seseorang yang seharusnya kita bahagiakan dan layani. Ibu juga adalah guru pertama kita, dia adalah seorang penasihat dan sahabat.

Dia mempunyai banyak peran untuk anaknya, untuk keluarganya, untuk dunia. Tidak ada sistem atau program yang dapat menggantikan peran seseorang yang mampu melahirkan dan menyayangi, dialah yang kita sebut Ibu, Bunda, Mamah, dan semua panggilan mulia lain di dunia ini untuknya. 

Ibu, terima kasih, materi, atau pengabdian apa pun dariku tak akan cukup untuk membayar samudera kasih sayangmu. Semoga Tuhan menjadikanmu bidadari yang sesungguhnya di hari nanti, aku ingin melihatmu memakai mahkota, Bu. Dan, ini terimalah puisi yang kutulis sendiri untukmu.

Ibu...

Saat aku menghujat dunia yang jijik padaku

Saat langit meludahiku setiap detiknya 

Saat aku menyumpahi masa lalu yang kurang ajar 

Aku ingin sahabat yang tulus!

Aku ingin dihadiahi karib yang ikhlas! 

Aku mau mereka, yang mengajak tertawa gila dan menularkan duka 

 

Ibu... 

Aku menantang zaman jadi lawan 

Kini, anakmu bosan butuh kawan 

 

Bu... 

Mungkinkah aku yang selama ini buta?

 

Mengejar perhatian manusia yang berpaling

Memimpikan pelukan orang asing 

Tanpa melihat sosok setia berdiri di samping

 

Ibu, saat aku mencaci nasibku 

Kau tetap mendoakanku 

 

Kau selalu membisu

Tak tega meneriaki letusanku 

Padahal kau sosok pelampiasanku

 

Ibu... 

Mungkinkah kau sebenarnya sahabatku? 

Doakan aku agar selalu mendoakanmu 

Doakan agar doaku dikabulkan untukmu 

#ElevateWomen