Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
***
Oleh: Etty Christiani
Tanggal 12 Desember 2021, genap 1000 hari mengikhlaskanmu, tapi tak bisa melupakanmu, Ibu. Setiap mengingat senyum, tawa, dan kala bercerita tentang perjuanganmu selalu menetes air mataku.
Mengikhlaskanmu ibarat hujan mengalah pada saat kemarau datang. Tak bisa melupakan karena proses waktu yang tidak sebentar untuk menyimpan cinta dan mengeluarkannya berupa air mata kala mengingatnya.
Tanggal 19 Januari 2019, hari Minggu kelabu saat menerima kabar bapak dan ibu kecelakaan saat berboncengan motor sepulang mereka membeli lauk untuk makan siang. Ibu dilarikan ke rumah sakit dan dokter sampaikan harus segera dilakukan tindakan operasi.
Ibu Menjalani Operasi
Lima jam operasi selesai dilakukan, ibu dibawa ke ruang ICU. Bapak masih terlihat syok, luka lecet di kaki dan tangannya sudah diobati dan tidak perlu rawat inap di rumah sakit. K kabarkan kondisi bapak dan ibu saat itu ke adik laki-lakiku yang tinggal dan bekerja di beda ibukota propinsi. Kami dua bersaudara, aku sebagai kakak perempuan sulung tidak kuasa menahan air mata saat menelponnya, dan di seberang yang kudengar hanya isak tangis yang tertahan.
Sanak saudara, kawan, dan tetangga datang bergantian ke rumah sakit untuk menjenguk dan mendoakan ibu dan setiap mereka yang datang mengatakan kepadaku untuk mengikhlaskan. Hati ini sakit mendengarnya tapi bibir ini kupaksakan untuk tersenyum menerimanya sebab kata mengikhlaskan terdengar bagaikan tidak adanya sebuah harapan.
Mulut ini selalu membisikkatan kata-kata di telinga ibu, “Semangat ya, Bu. Lekas sembuh ya, Bu supaya bisa mendampingi Feli, cucumu. Di saat jam besuk pagi hari jam 10.00 – 12.00 dan sore hari 17.00 – 19.00, aku kuatkan diri untuk tidak menangis seperti pesan dari suster kepala ruang supaya ibu tidak sedih.
Berdoa dan bercerita sembari mengelus dan mencium tangannya yang bengkak karena selang infus. Remuk hati ini melihat mata yang masih terpejam karena koma dan terlihat menetes air mata dari sudut matanya yang terpejam setiap aku selesai berdoa.
Menemani Ibu
Tangis yang tertahan 2 jam saat bersamanya pecah dan tumpah di kamar tunggu yang satu per satu penghuninya datang lalu pergi tinggal aku sendiri ditemani laptop kerja, HP, termos air panas, madu, perlengkapan mandi, dan baju ganti.
Tanggal 3 Febuari 2019, bapak membawa sekotak kue di sebelah ranjang rawat ibu karena itu hari pernikahan bapak dan ibu ke 42 tahun. Suara tersendat bapak membuat suster, dokter dan perawat termasuk diriku tidak sanggup untuk tidak menangis.
“Maafkan Bapak, Bu tidak bisa menjagamu. Matur nuwun Ibu telah menemani Bapak sejak Bapak belum punya apa-apa (menangis) sampai sekarang kita tinggal menikmati masa tua bersama anak dan cucu (menangis). Ibu lekas membuka mata, sembuh… (menangis)."
Duh Gusti, betapa berat pemandangan di depanku ini, bapak menangis, ibu hanya diam hanya suara mesin yang merekan denyut nadi, tensi dan detak jantung yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang hingga saat ini tidak bisa hilang dari ingatan.
Dokter membimbing kami ke sebuah ruangan untuk menyampaikan kondisi ibu. Ibu saat ini dengan cedera otak berat, banyak kerusakan saraf ibarat dari 10, 7 sudah rusak. Ditambah faktor usia yang tidak lagi muda membuat ibu belum bangun dari koma dan hanya bergantung dari mesin ventilator sebagai support hidupnya.
Jika ada mukjizat, ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur. Oleh karena itu mulai esok hari kami anggota keluarga akan diikutkan dan dilatih untuk memandikan ibu, memberikan obat dan susu melalui selang di hidung dan tindakan suction yaitu menyedot dahak lendir yang sebelumnya di hari ke-6 dilakukan prosedur trakeostomi.
Ibu Sudah Berjuang Keras
Hari itu pun tiba, bapak tidak sanggup setelah melihat luka terbuka di belakang tubuh ibu akibat berbaring dalam jangka waktu lama. Kulakukan setiap instruksi dari perawat hingga selesai dan kembali ke ruang tunggu di mana bapak sudah menunggu.
Pelan kusampaikan bahwa besok akan kuajukan surat pengunduran diriku bekerja untuk fokus merawat ibu, bapak menangis dan mengucapkan terimakasih. Kami berdua menangis, selesai menangis, mulai aku cari informasi segala kebutuhan ibu jika pulang ke rumah.
Dari mulai Kasur Decubitus, Bed Pasien Elektrik, Suction Pum sampai dengan Biaya Perawat datang ke rumah untuk mengganti selang di hidung. Surat Pengunduran Diriku ditolak Direktur tempatku bekerja dan disarankan untuk mengambil cuti 1-2 bulan, terharu ya itu yang kurasakan.
Kondisi ibu di hari ke 20 menurun sehingga harus dipindah ke ruang Isolasi. Melihat ibu dari ruang kaca, 1x24 jam tidak diperbolehkan satu pun dari anggota keluarga yang boleh masuk kecuali paramedis.
Kembali terngiang kata “mengikhlaskan” apakah ini saatnya untuk diucapkan? Ibu sudah lama berjuang, raganya sudah tidak kuat! Apa kau tidak lihat? Banyak luka di tubuhnya selama menjadi pasien tirah baring! Bebaskan dia dari rasa memiliki! Dia bukan milikmu 100%! Tapi dia milik penciptaNya!
Mengikhlaskan Kepergian Ibu
Pergumulan kata yang masuk di kepala membuat lelah dan memutuskan berlari untuk mencari pertolongan di luar sana. Seorang pemuka agama, menyarankan untuk berdoa. Berada di ruang isolasi, kubisikan ditelinga kiri ibu, “Ini hidupnya Ibu. Ibu yang berhak atas hidup Ibu. Etty ikut atas keputusan ibu. Etty tidak akan marah jika ibu menyerah karena merasa lelah (menangis). Ibu hebat. Etty sudah melihat perjuangan ibu selama ini. Maaf (menangis), Ibu anak Tuhan bukan robot yang harus bergantung pada alat. Etty sayang dan ikhlas, Bu."
Tanggal 17 Febuari 2019, jam 1 dini hari selesai aku berdoa ibu meninggal dunia. Aku meminta izin pada bapak untuk ikut memandikan jenazah ibu dan merias wajahnya untuk yang terakhir kali.
Cericit suara burung hinggap di ranting pohon mangga berjajar rapi di pinggir jalan masuk makam. Bau khas rumput tercabut tercium terbawa angin menyusup disela-sela masker.
Desir angin menerbangkan sisa-sisa rumput kering yang ternyata baru saja dipotong untuk dirapikan. Semut hitam menampakkan diri satu-satu dari dalam lubang diatas tanah makam yang berselimut rumput jepang. Seakan mereka keluar untuk menyapa, "Hai, apa kabar? Selamat datang."
Tenang. Damai.
Rasa itu mulai akrab dan bersahabat serta menimbulkan rasa rindu jikalau tidak bertamu. Dulu hanya mendengar kata makam sudah membuat bulu kuduk berdiri. Tapi kini setiap berada di sini sirna entah ke mana rasa takut dan yang tertinggal sebuah refleksi diri tentang Memento Mori “ingat bahwa kita pasti mati”.
Mengikhlaskan kepergianmu di tanggal 17, setelah melihat perjuanganmu 27 hari terbaring di ruang ICU tapi tak bisa melupakanmu di saat hari ini, Hari Ibu. Aku rindu.
#ElevateWomen