Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
***
Oleh: Ande Ilma Juniartie
Halo, Mah.
Mah, sebenarnya banyak hal yang aku ingin sampaikan padamu, tapi aku tak pandai merangkai kata dan tak pandai mengungkapkan rasa. Kadang kala ada rasa malu dan kaku hanya untuk mengatakan betapa aku sayang padamu. Namun, saat ini aku bersyukur dengan adanya momen ini, kurasa inilah saatnya kesempatan untukku mengungkapkan apa yang selama ini aku rasa.
Mah, engkau harus tahu, betapa aku mengagumimu. Kesabaran dan perjuanganmu sebagai seorang ibu dari 5 orang anak akan selalu menjadi teladan bagiku. Mengajar karena panggilan hati dan kebutuhan ekonomi, bersama bapak berjuang memberikan kehidupan dan pendidikan yang baik untuk kelima anakmu.
Sifat baikmu pun mengantarkanmu menjadi guru sekolah luar biasa yang luar biasa sabar mengajari anak-anak berkebutuhan khusus, agar mereka punya keterampilan yang menjadikan mereka mandiri saat dewasa nanti.
Dulu saat engkau masih dinas, tiap kali pergi ke sekolah naik bus Damri yang jaraknya jauh dari rumah hingga melintas luar kota. Tak jarang engkau bercerita, kalau engkau sering ketiduran di perjalanan karena kelelahan atau cerita seram seperti sering kecopetan walaupun hanya recehan. Cerita-cerita lucu saat mengajar pun menghibur ketika kita berkumpul bersama, bercengkrama.
Engkau juga bagiku sangat hebat, Mah. Berjuang menyelesaikan pendidikan sarjana di usia yang terbilang senja. Engkau yang multi talenta, bisa memasak, menjahit, mengajar tari, bernyanyi dan punya suara merdu saat mengaji. Membuat bapak dan anak-anak bangga memiliki wanita hebat sepertimu.
Maafkan aku Mah.
Mah, aku belum pernah bilang ini ya. Maafkan aku, Mah. Jika engkau sering dibuat gelisah olehku, ketika aku pulang kuliah atau kerja terlalu malam.
Maafkan aku ya, Mah. Maafkan jika lisanku sering kali menyakiti hatimu hingga membuatmu sedih dan meneteskan air mata. Mah, sebenarnya hatiku selalu sakit dan sangat sedih, jika mengingat kejadian saat kau menangis tersedu-sedu karena kata-kataku yang menyakitimu.
Maafkan aku ya Mah, sesungguhnya aku sangat menyesal telah melakukannya. Tak pernah ada maksud diriku menyakitimu, tidak pernah Mah. Kadang aku marah padamu, hanya karena aku cemburu.
Aku cemburu jika Mamah terlihat lebih sayang pada anak yang lain, yang jarang hadir saat engkau merindukannya. Hal itu membuatku merasa, kalau engkau lebih sayang dirinya. Dibandingkan aku yang selalu berada di dekatmu dan dengan setia merawatmu ketika engkau sakit. Maafkan aku yang saat itu egois, Mah. Saat pikiranku jernih, aku tahu dan mengerti, bahwa engkau sayang semua anak-anakmu termasuk aku.
Terima kasih, Mah.
Aku selalu ingat semasa aku kecil, engkau bersama bapak mengajarkanku kemandirian. Saat aku harus mengalah kepada kakak-kakakku dan saat itu pula aku bertanya-tanya, kenapa aku yang masih kecil harus mengalah. Namun, setelah itu aku mengerti, bahwa engkau mengajarkanku arti kesabaran dan apa itu arti adil.
Mah, aku ingin engkau tahu, bagiku engkau adalah matahari setelah hujan. Semenjak aku menginjak remaja, emosi yang belum stabil dan persoalan hidup mulai berdatangan. Pulang sekolah aku mengeluh padamu tidak jarang aku menangis dan engkau selalu hadir mendengarkanku dan berusaha menguatkanku serta memberi nasehat, bahwa dimana ada kesulitan pasti ada kemudahan.
Setelah beranjak dewasa pun dan saat aku sudah mulai bekerja. Ketika aku pulang kelelahan bekerja, aku lari ke pelukanmu dan menangis. Bersama bapak engkau selalu memberiku suntikan semangat baru, agar aku kuat dan bertahan.
Mah, sekarang aku sudah lebih kuat, aku sudah jarang menangis, biar pun kelelahan aku terima dengan ikhlas. Ajaranmu tentang penerimaan dalam hidup sudah aku aplikasikan sekarang. Mah, engkau tidak perlu khawatir lagi. Kini ada pelukan si kembar, ponakanku yang selalu menghangatkan hatiku ketika aku pulang bekerja.
Mah, aku bersyukur pada Tuhan, telah diberikan kesempatan untuk merawatmu di masa sakitmu. Aku tahu apa yang aku lakukan padamu tidak cukup untuk membalas pengorbananmu dan kesakitanmu dari mulai mengandungku hingga aku hidup sampai sekarang mendapatkan kehidupan yang baik. Terima kasih ya, Mah. Terima kasih juga karena sudah mengajarkan banyak hal padaku.
Mah, apa kabarmu di sana? Aku rindu.
Aku rindu memeluk punggungmu, mencium khas aroma bawang sehabis memasak tersimpan kuat dalam benakku.
Sebulan setelah perayaan 45 tahun pernikahan bersama bapak, engkau berpulang ke haribaan-Nya. Aku harap momen itu membuatmu tersenyum bahagia, di mana bapak menyuapimu kue perayaan ulang tahun pernikahan penuh cinta.
Sudah setahun kini engkau tak lagi berkumpul bersama. Kini engkau tak lagi hadir dalam mimpiku, semoga itu pertanda baik bahwa engkau tenang dan bahagia dalam pangkuanNya.
Berbakti padamu hingga akhir hayatku akan terus kulakukan walaupun engkau sudah tiada. Berderma atas namamu di hari Jumat, agar kehidupanmu yang sekarang tenang dan bersahaja.
Tak pernah putus kuulurkan doaku pada Tuhan di setiap habis shalatku. Sebagai wujud bakti, rasa sayang dan rasa syukur seorang anak padamu, Mah.
“Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil.“
Mah, aku yakin, kita pasti bertemu kembali. Aku berharap dan berdoa, semoga surga menjadi tempat pertemuan terakhir kita. Dan saat kita bertemu, kau menyambutku dengan senyuman dan pelukan hangat.
Mah, aku sayang. Aku sayang padamu karena Tuhan.
Salam rindu,
Anak bungsumu
#ElevateWomen