Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
***
Oleh: Nova Ulya
Ibu, perempuan kuat berhati malaikat. Ibu, sosok yang begitu berarti dalam hidupku. Tanpanya mungkin aku tak lahir di dunia, tanpanya hidupku belum sempurna. Ibu, orang pertama yang mengajarkanku tersenyum, mengajarkanku berdiri hingga melangkah. Tanpanya, aku bukan apa-apa. Tidak cukup jari ini menulis kata untuk menggambarkan begitu besar jasa ibu dalam hidupku.
Ibu, sosok yang tegar dan tegas. Galak di depan tapi rapuh di belakang. Teringat saat aku kecil, hampir tiap hari ibu marah-marah. Hal sekecil apa pun saat tak berkenan akan memicu amarah nya. Diam dan menangis, itu yang kulakukan saat ibu meluapkan amarahnya. Hingga di satu kesempatan, aku ingat betul saat aku mengurung diri di kamar dan menangis, kenapa ibu selalu marah-marah? Kenapa ibu begitu mudah meluapkan emosinya? Aku takut, Ibu.
Di balik sosoknya yang galak, ibu juga penyayang. Kasih sayangnya aku rasakan hingga sekarang. Meski tidak pernah terucap, “Ibu sayang kamu, Nak,” tetapi aku yakin ibu adalah orang pertama yang begitu menyayangi anak-anaknya. Ya, cinta dan kasih sayang ibu tak pernah terucap namun doanya selalu terlantun dalam senyap.
Ibu adalah Penopang Hidup Terkuatku
Saat aku rapuh, ibulah penopangku.
Seorang ibu akan sedih dan tersayat hatinya tatkala anaknya sakit. Hal itu pun terjadi padaku. Aku ingat betul, tahun 2010 saat kecelakaan itu menimpaku. Sakit hati ibu manakala melihatku terbaring tak berdaya. Kakiku patah, aku tak bisa melangkah. Hidupku seolah hancur saat melihat kaki yang tak sekokoh dulu, tapi ibu tak lelah merawatku hingga aku kembali melangkah. Meski aku tahu ibu rapuh di belakang, namun terlihat tegar di depan.
Bulan Februari 2017, saat aku harus meninggalkan keluarga dan memilih untuk mengikuti suami terbang jauh ke Eropa. Meniti asa dan cita demi masa depan. Aku ingat saat keluarga melepas keberangkatanku di bandara. Sedih bercampur haru. Aku berangkat tanpa didampingi suami karena dia lebih dulu berangkat.
Membawa si kecil yang kugendong di depan, tas ransel di belakang dan satu koper besar. Semua menyelamiku tak terkecuali ibu. Ibu menangis melihatku. Tak sepatah kata pun terucap darinya. Namun aku tahu, dia berat melepas putri sulungnya. Dari situ aku tahu, ibu begitu menyayangiku.
Ibu bukan tipe orang tua yang mengungkapkan cintanya secara langsung. Akan terlihat kaku saat ibu menciumku, memelukku karena kami tidak terbiasa, bahkan jarang terjadi. Pun demikian dengan bapak.
Ya, orangtuaku adalah tipe orang tua yang tidak mengungkapkan rasa sayang ke anak-anaknya melalui sentuhan, ucapan tapi lebih ke perlakuan. Bapak dan ibu mengungkapkan rasa sayang dengan sesuatu, membelikan anaknya mainan, mengajak liburan, membeli jajan atau hanya sekedar jalan-jalan.
Selama aku menempuh bangku sekolah, tak pernah terucap kata “terima kasih” dari orangtuaku saat aku berhasil meraih ranking pertama, juara di setiap lomba, atau saat mendapat beasiswa. Hanya senyum dan “alhamdulillah” kata terucap. Namun, aku yakin ibu dan bapak bangga kepadaku. Setiap orang tua punya cara tersendiri dalam mengungkapkan rasa sayang dan syukurnya.
Memilih Jalan Hidup dan Mengharapkan Rida Ibu
Saat aku memilih jalan hidupku, aku berharap ibu meridhoiku.
Setelah menikah dan menjadi seorang ibu, aku fokus ke keluarga kecilku. Aku, anak sulung yang digadang-gadang menjadi kebanggaan, lulusan pasca sarjana dengan predikat cumlaude, hampir selalu juara di setiap lomba, selalu mendapat peringkat saat sekolah dan sekarang memutuskan untuk di rumah.
Keputusan yang berat mungkin bagi orang tuaku, terlebih ibu. Ibu yang menginginkanku untuk berkarya, menghasilkan uang untuk membantu keluarga terlebih ada si bungsu adikku yang masih berstatus mahasiswa. Butuh sokongan dana dari kakaknya. Dilema, pasti. Namun aku tetap ingin menjadi anak yang berbakti dan berusaha membantu kebutuhan adikku.
Banyak pertimbangan yang aku ambil hingga aku memutuskan untuk sementara di rumah membersamai anak-anak yang masih kecil, mereka membutuhkanku, 24 jam waktuku aku berikan kepada mereka.
Aku sekarang menjadi ibu. Ibu dari anak-anakku. Aku tidak ingin anakku dipegang selain dari aku. Aku ingin menjadi ibu yang bertanggung jawab penuh membesarkan anak-anakku. Merawat mereka, mengajari mereka, membimbing mereka, menggandeng mereka.
Di rumah bukan berarti tidak bisa berkarya, perlahan tapi pasti aku ingin wujudkan eksistensi diri. Memanfaatkan waktu senggang di kala agenda domestik yang menghadang, cukup membuatku produktif untuk diri sendiri.
Berkarya dengan tarian jari jemari, rangkaian kata hingga menjadi sebuah karya. Aku berharap ibu meridhoi pilihanku ini. Ya, hanya ridhonya yang selalu kuminta dalam setiap doa. Karena doamu ibu, begitu berharga bagiku.
Terima kasih ibu yang tak pernah lelah mendoakanku. Kata “sayang” yang jarang terucap. Namun, selalu terlihat dalam setiap sikap. Aku berdoa semoga ibu selalu sehat, sabar dan semangat menjalani hidup. Maafkan anakmu ini yang belum bisa menjadi seperti yang ibu mau. Doakan dan ridhoi langkahku, Ibu.
#ElevateWomen