Setelah Menikah, Muncul Perasaan Ini Terkait Hubunganku dengan Ibu

Endah Wijayanti diperbarui 31 Des 2021, 08:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.

***

Oleh: Lailatul Q.

Hai, Bu.

Apa kabarmu hari ini?

Sekarang kita jauh ya. Sejak pernikahanku November 2020 lalu, kita dipisah jarak. Dipisah jalan yang panjang, deretan toko, dan lampu-lampu kota.

Sejak hari itu juga kemudian aku merasa kita begitu dekat.

Memang sejak kecil aku bukan anak yang manja. Ibu juga bukan orang tua yang lebay, yang sering berteriak ketika selangkah saja anaknya meninggalkan rumah. Ibu bukan tipe perempuan yang mudah berteriak, kecuali kalau waktu subuh. Ibu bisa berteriak dengan senjata seperti ninja kalau tahu aku masih terlelap sementara matahari sudah tampil gagah di timur.

Setelah berjauhan seperti ini ingatanku menjadi timbul-tenggelam antara kenangan dan kenyataan. Dan barangkali karenanya aku merasa hubungan kita semakin dekat. Isi kepalaku mulai memutar rekaman kejadian-kejadian lucu atau menjengkelkan di masa lalu.

2 dari 3 halaman

Kehidupan setelah Menikah dan Berjauhan dengan Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Dragon+Images

Bu, kadang aku berpikir, mengapa perempuan harus melahirkan, menyusui, merawat sepenuh hati, lalu merelakan anak-anaknya pergi dibawa orang? Barangkali sebentar lagi aku akan melahirkan, menjadi seorang ibu, lalu dengan meluruhkan segala rasa, meredam seluruh ego untuk mengikhlaskan kalau nanti anakku harus pergi bersama orang terkasihnya. Membayangkan itu aku sepertinya tidak akan setabah Ibu.

Ibu tahu apa hal yang paling menyesakkan untukku? Yaitu ketika ibu sungkan-sungkan untuk menelepon dan bertanya kapan aku punya waktu luang untuk pulang. Betapa tidak berkuasanya seorang perempuan bahkan untuk meminta anaknya pulang. Aku sedih sekali, Bu.

Ah, engkau memang perempuan mulia. Aku tidak tahu betul rasa seperti apa yang berkecamuk di kedalaman hatimu. Tapi, aku tahu ada getaran hebat yang Ibu pendam dan tanpa merasa perlu menyampaikannya  kepada siapa-siapa. Bahkan kepadaku.

Tanggal 22 Desember kemarin seharusnya aku pulang, duduk di serambi rumah berdua, lengkap dengan secangkir teh hangat dan biskuit. Atau duduk mencari rambut Ibu yang mulai beruban.

Biasanya Ibu senang sekali kalau aku pulang, Ibu akan memintaku mencari uban-uban kecil yang katanya itu lebih gatal dibanding uban yang panjang. Entahlah apa bedanya. Hanya orang beruban yang tahu. Nanti pada waktunya saya akan tahu, Bu. Tenang saja.

Dulu Ibu khawatir aku tidak tahu membereskan rumah, merapikan, membuatnya tampak mengkilap. Sekarang aku sudah tahu. Seperti saran Ibu, aku bangun pagi, lalu memulai aktivitas dengan membersihkan rumah terlebih dahulu.

3 dari 3 halaman

Makin Merindukan dan Mencintai Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Alessandro+Biascioli

Sekarang aku sudah besar, sudah bersuami, sudah bisa untuk berpikir bagaimana hari-hari yang akan engkau habiskan setelah anak perempuanmu tidak di rumahmu lagi. Tidak membantumu lagi. Tidak usah kau bangunkan pagi lagi.  

Ah, betapa engkau adalah samudera tak terhingga, Bu. Engkau adalah lautan dalam yang biru dan tenang, yang meredam semua gelombang, yang menelan semua apa yang dilemparkan padamu. Engkau habiskan keringatmu untuk membesarkan, membiayai sekolahku, semuanya, lalu setelah itu kau masih harus merelakan anak perempuanmu pergi.

Kau tak dapat menikmati aku sebagai harum bunga yang kau rawat sepenuh hati. Engkau habiskan semua-mu untukku hingga habis tak bersisa, lalu tinggallah selembar kulit yang mulai kering renta dan uban-uban dari rambutmu yang tua.

Mengingat itu semua, aku selalu terdiam untuk beberapa saat, berpikir, ibuku dapat apa, Tuhan? Untuk semua yang beliau berikan, apa yang ia dapatkan selain doa-doa dan surga yang Engkau janjikan?

Ah, Ibu rasanya aku tidak mampu lagi menyampaikan apa-apa. Tanganku juga tak mampu merengkuh pundakmu dan meringankan bebanmu, basa-basiku tidak akan mampu menghiburmu dan menyembuhkan luka-luka di hatimu.

Aku minta maaf, Bu.

Biarkan Tuhan yang mengurus segala keperluanmu, Tuhan akan membahagiakanmu, memudahkan segala urusanmu, meringankan bebanmu, Tuhan akan mencintaimu sebesar cintamu kepadaku, Ibu.

Love.

Lailatul Q.   

#ElevateWomen