Fimela.com, Jakarta Setelah menikah, babak baru yang akan dihadapi oleh pasangan adalah soal memiliki anak. Pasangan pun disarankan untuk mendiskusikan berapa anak yang ingin dimiliki, berapa jarak usia antar anak, serta nilai-nilai dan pola asuh seperti apa yang akan diterapkan kepada sang Anak kelak.
Hanya saja, hal ini memang bukan perkara sederhana. Butuh persiapan yang matang, baik dari segi finansial, emosional, dan psikologis dari istri maupun suami. Usia istri serta kesehatan reproduksi istri dan suami juga jadi faktor penentu keberhasilan punya anak.
Di sisi lain, ada pula pasangan yang memutuskan untuk menunda punya anak setelah menikah.
“Penundaan itu ada beberapa tujuan, memang ingin menunda punya anak, ada yang ingin memberi jarak punya anak, ada juga yang tidak ingin punya anak. Berbagai macam kebutuhan,” ujar dr. Yassin Yanuar MIB, SpOG-KFER, MSc., saat diwawancarai oleh Teman Bumil.
Keputusan rentang waktu untuk menunda punya anak setelah menikah sendiri amat beragam pada setiap pasangan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Teman Bumil dan Populix, 63% dari 119 pasangan ingin menunda punya anak selama 10-12 bulan, 16% selama 4-6 bulan, 11% selama 0-3 bulan, dan 10% 7-9 bulan. Alasannya pun berbeda-beda, ada yang ingin hidup berdua dulu, belum siap secara finansial, ingin fokus berkarier, ingin melanjutkan pendidikan, dan lain sebagainya.
Tekanan kepada pasangan menunda punya anak dari orang terdekat
Saat ditanyakan kepada 119 partisipan survei yang memutuskan untuk menunda punya anak setelah menikah, sebanyak 33% mengaku mendapatkan tekanan sosial akibat keputusan yang dibuat. Paling banyak, kenalan lah, seperti tetangga, teman di media sosial, dan lain-lain, yang memberikan tekanan kepada mereka, yaitu sekitar 38%. Sedangkan, orangtua dari pihak istri dan mertua menduduki posisi kedua dan ketiga sebagai kelompok yang sering memberikan tekanan atas keputusan mereka, yaitu senilai 31% dan 15%.
Bernadette Andika Gitawardani, 27, saat diwawancarai oleh Teman Bumil, mengaku mendapatkan wejangan dari orang tuanya terkait keputusannya dan suami untuk menunda punya anak setelah menikah.Sang Ibu mengingatkannnya untuk tidak menunda punya anak terlalu lama karena khawatir Bernadette mengalami kehamilan berisiko akibat faktor usia.
Ia pun takut ketika cucunya nanti belum lulus mengenyam pendidikan, Bernadette dan suami sudah keburu pensiun. Meski begitu, Bernadette dan 64% partisipan survei yang memilih menunda punya anak mengaku tidak merasa stres mendapatkan tekanan sosial karena keputusan yang diambil bersama pasangan.
Tekanan Sosial Juga Dialami oleh Pasangan yang Belum Dikaruniai Anak
Berbeda dengan pasangan yang memang memutuskan untuk menunda punya anak, tekanan sosial justru menjadi salah satu pemicu stres bagi pasangan yang ingin langsung punya anak setelah menikah.
Berdasarkan survei Teman Bumil bersama Populix terhadap 895 Mums, ketika belum juga hamil, sebanyak 54% stres takut tidak subur dan tidak bisa punya anak serta 25% stres akibat nyinyiran dari orang sekitar (orang tua, mertua, teman, dan lain-lain). Sementara, 11% stres karena takut pasangan merasa kecewa, 6% stres karena merasa gagal menjadi wanita, dan 3% stres karena takut pasangan berpaling ke wanita lain.
Masalah gangguan kesuburan serta usia sang Istri memang kerap menjadi tantangan bagi pasangan yang ingin punya anak. Ketika diwawancarai oleh Teman Bumil, dr. Yassin Yanuar MIB, SpOG-KFER, MSc., mengungkapkan bahwa terdapat 15% pasangan yang tidak kunjung hamil pada tahun pertama.
"Kelompok ini disebut pasangan yang mengalami gangguan kesuburan atau infertilitas, sehingga butuh konsultasi ke dokter untuk mendapatkan penanganan agar peluang keberhasilan program hamil meningkat," ujarnya.
Terkait tekanan sosial ketika memutuskan untuk menunda punya anak ataupun belum dikaruniai anak, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psikolog., menyarankan pasangan perlu berdiskusi bagaimana cara menjawab pertanyaan dari orang sekitar atas kondisi tersebut.
“Jadi, sebenarnya kan sudah hamil atau belum hamil itu banyak sekali variabelnya. Ada yang memang kita belum siap secara psikologis. Namun, bisa jadi karena biologis. Yang mungkin penting untuk kita siapkan adalah mendiskusikan dengan pasangan akan menjawab apa ketika orang-orang bertanya dan bagaimana cara menjawabnya. Bisa saja kita bersepakat dengan pasangan untuk mengabaikan saja semua pertanyaan tentang anak. Bisa juga kita menjawab dengan ‘doain saja’, kemudian mengalihkan ke topik lainnya,” terang psikolog yang akrab disapa Nina ini.
Selain menemui kesepakatan bagaimana cara merespons orang sekitar, tambah Nina, berdiskusi dengan pasangan juga akan membuat istri merasa punya support system ketika menjawab hal itu. Alhasil, istri cenderung tidak menyalahkan dirinya sendiri karena belum juga hamil.
#elevate women