Famestory Nia Dinata, Perempuan dan Dimensinya

Lanny KusumaSyifa Ismalia diperbarui 21 Des 2021, 11:41 WIB

Fimela.com, Jakarta Di tengah peran dan keterlibatannya yang kerap dipandang sebelah mata, nyatanya perempuan memiliki andil besar diberbagai aspek kehidupan. Bicara tentang perempuan yang kerap dianggap remeh dan powerless, sutradara Nia Dinata menyebut, ketiadakbiasaan masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai jadi salah satu penyebab pandangan negatif tersebut.

"Sebenarnya sebagai sesama manusia, laki atau perempuan, kita nggak boleh menganggap remeh siapapun. Karena kalau kita lihat semua manusia kan sama di dalam azas negara manapun, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua manusia di hadapan Tuhannya sama, nggak ada perbedaan. Jadi kalau ada yang mengganggap remeh perempuan muda atau menganggap mereka mungkin tidak kuat, kayanya mereka harus terbiasa untuk saling menghormati dan menghargai. Itu intinya," ujar Nia dalam wawancara eksklusif bersama Fimela.

Dukungannya terhadap perempuan untuk membuktikan kualitas dan potensi diri pun ditunjukkan Nia lewat proyek filmnya A World Without, yang dirilis pada 14 Oktober 2021 lalu. Ya, selain mengangkat permasalahan perempuan, Nia juga melibatkan para perempuan profesional dalam penggarapan film tersebut, mulai dari aktor, produser, asisten sutradara, sinematografer, art director dan lainnya.

Nia Dinata teah menunjukkan beragam dimensi perempuan lewat film-film garapannya. (Fotografer: Nicoline Patricia Malina, Courtesy of Netflix)

Bukan tanpa alasan, selain mempermudah memvisualkan apa yang ada di dalam pikirannya, bagi Nia melibatkan banyak perempuan akhirnya memberikan sentuhan berbeda pada karyanya tersebut. Sisi lain yang hanya ada pada perempuan pun dianggap menyempurkan karya yang telah siapkannya sejak tahun 2018 itu.

"Aku merasa kekuatan perempuan itu tidak bisa hanya bisa di-present in front of the screen only. Karena kita mengusung tema kekuatan perempuan, kita juga harus bisa membuktikan bahwa produksi film ini secara belakang layarnya juga ‘bukan sekedar quotes’ tapi is actually practicing real, in real time, in real life that kind of believes," tuturnya.

Selain A World Without, sutradara kelahiran 4 Maret 1970 ini juga telah membingkai kehidupan, beragam sisi dan dimensi perempuan lewat film-filmnya, "Perempuan nggak cuma satu dimensi, permasalahan dan pengalaman berbeda-beda," ujarnya.

"Perempuan kan tidak satu dimensi, makanya bisa ada Arisan!, yang mengangkat persahabatan perempuan yang dikiran temannya memiliki pikiran terbuka tertapi tertutup terhadap persahabatan ini. Berbagi Suami juga bahas perempuan yang mengalami poligami dalam kehidupannya, baik secara pilihan atau tidak sengaja. A World Without ini mengenai perempuan yang butuh idola, butuh mentor, tetapi ketika mereka mengikuti idolanya ternyata mereka mengalami opresi dan berusaha keluar dari opresi tersebut."

Selain bicara tentang perempuan, Nia Dinata juga mengungkap beragam sisi menarik dari kehidupannya, seperti pandangan hidup, caranya berpikir, serta karier dan keluarga. Berikut petikan wawancara lengkapnya.

2 dari 3 halaman

Film dan Perempuan

Selain mengangkat isu-isu tentang perempuan, Nia Dinata juga aktif mendukung perempuan dengan melibatkan kaum hawa dalam proyek filmnya. (Fotografer: Nicoline Patricia Malina, Courtesy of Netflix)

Lewat film-filmnya, Nia Dinata hadir lewat beragam kisah tak biasa. Bermacam pertanyaan di kepala, isu sosial yang berkembang, dan mencari jawaban dari segala tanda tanya menjadi beberapa alasan dirinya membingkai beragam kisah kehidupan dalam filmnya, termasuk pandangan tentang perempuan yang sosoknya kerap diremehkan.

 

Bagaimana pandangan Anda tentang perempuan yang kerap dianggap remeh?

Sebenarnya sebagai sesama manusia, laki atau perempuan, kita nggak boleh menganggap remeh siapapun. Karena kalau kita lihat semua manusia kan sama di dalam azas negara manapun, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua manusia dihadapan Tuhannya sama, nggak ada perbedaan. Jadi kalau ada yang mengganggap remeh perempuan muda atau menganggap mereka mungkin tidak kuat atau apa, kayaknya mereka harus terbiasa untuk saling menghormati dan menghargai. Itu intinya.

Dalam proyek film A World Without, anda banyak melibatkan perempuan, alasan apa yang mendasari keputusan tersebut?

A World Without memang tokoh utama di depan layarnya itu adalah tiga perempuan muda yang baru saja menginjak usia 17. Jadi untuk yang di depan layar, what I present in front of the screen itu aku memang ingin sekali memberikan perspektif cara berpikir mereka, cara mereka mengambil keputusan, cara mereka ambil risiko dalam hidup, cara mereka keluar dari bahaya dan kekompakan serta kepercayaan satu sama lain yang sudah mereka bangun sebagai sahabat. Aku rasa itu adalah kekuatan yang mungkin sebenarnya, mau persahabatan laki atau perempuan pasti kita akan lalui hal-hal yang sama.

Tapi aku merasa kekuatan perempuan itu tidak bisa hanya bisa di-present in front of the screen only. Karena kita mengusung tema kekuatan perempuan, kita juga harus bisa membuktikan bahwa produksi film ini secara belakang layarnya juga mempercayai 'bukan sekedar quotes' tapi is actually practicing real, in real time, in real life that kind of believes. Jadi buat aku, apa yang aku tampilkan di depan layar harus sejalan dengan apa yang aku praktikan di belakang layar juga. Jadi kata kerennya we practice what we praise, gitu.

Anda kerap menghadirkan isu-isu sensitif dalam film, apa yang mendorong keinginan tersebut?

Sebenarnya kalau buat aku film itu adalah sebuah pertanyaan dan juga pernyataan dari si pembuatnya.Jadi kenapa aku selalu ‘dibilangnya’ selalu mengangkat isu yang sensitif di film aku, mungkin karena aku banyak pertanyaan terhadap apa yang terjadi di masyarakat kita. Apa yang aku rasa 'kan harusnya nggak gini', 'kok kayaknya nggak adil banget sih memperlakukan perempuan?'. Jadi mungkin karena pertanyaan-pertanyaan aku itu lah, akhirnya aku mencoba menggali dengan mengambil beberapa pernyataan dari aku dan mengkombinasikannya dengan pertanyaan di dalam filmku.

Karena memang yang orang-orang bilang sensitif itu kan sebenarnya sebuah problema yang tak akan kunjung selesai, ketika masih ada manusia, karena itu juga bagian dari sifat-sifat manusia. Nah sebenarnya, yang membuat aku bertanya juga karena masyarakat tidak akan pernah sama pandangannya terhadap problem apapun. Pasti mereka punya solusinya sendiri-sendiri. 

Famestory Nia Dinata (Fotografer: Nicoline Patricia Malina, Courtesy of Netflix)

Melihat dari karya Anda seperti Arisan! dan Berbagi Suami, sebenarnya sejauh mana batasan Anda membingkai realita dan menampilkannya di film?

Ketika kita menjadi creator sebuah naratif storytelling, pasti kita akan melihat kehidupan di samping kanan dan kiri kita, karena biasanya kita adalah orang-orang yang suka mengobservasi tetapi lisensi kreatifnya tentu saja ada otomatis ada di kita, jadi kita creator-nya. Kita bukan bikin film dokumenter, yang memang ada (nyata), jadi kita ngikutin dia, faktanya seperti ini. Di sini kita membuat film yang memang fictional karakternya tetapi whatever their experiences in their periode of life di mana film ini diputar seperti Berbagi Suami, Arisan, A World Without sekarang, Itu they actually based on creative licence from the creator and also from the society it's selves. Karena orang melihat ini mungkin pernah ada di situasi ini, manusia yang penuh dengan experiences juga. As a writer, director, filmmaker, kita punya experiences in life. Jadi itu dicampur dengan creativity, imagination, semuanya tuh kayak dimasak, bersatu menjadi sebuah film gitu.

Membandingkan kiprah Anda di awal tahun 2000 dan 2021 di mana ada media sosial dan mudahnya akses untuk melihat berbagai hal, apakah ada perbedaan yang anda lihat dari segi kebebasan berekspresi dalam berkarya?

Tentu saja, zaman tahun 2000, aku pertama kali mempersiapkan film Ca Bau Kan itu tidak ada yang namanya media sosial, baru ada email. Telfon juga adanya sms. Jadi semua prosesnya itu dijalankan sangat langsung. Kita face to face. Saya riset, berangkat ke Lasem (daerah di Jawa Tengah), keliling Jawa, sampai bahkan ke Malaka, Penang, melihat kehidupan melayu Tionghoa dari segi sastra, architecture, kostum, wardrobe, sampai ke bagaimana keluarga melayu Tionghoa di jaman itu. 

Ketika di 2001 sama seperti itu, syuting tidak digital, semua pakai role film, cuci di laboratorium Jakarta padahal syuting di Jawa Tengah, misalnya, berbulan-bulan. Jadi harus bolak balik, bawa pakai pesawat, kirim pakai fax. Jadi kerjaannya memang sangat bertahap dan lama. Namun kami terbiasa karena memang itu lah cara membuat film.

Ketika 2010-2011 dunia digital mulai maju dan sosmed mulai ada, ketika ada google, kita mulai bisa search ini ada di sini, di situ. Tapi aku berusaha membatasi diri, jangan terlalu bergantung dengan sosial media. Eh tiba-tiba launching film, semuanya lewat socmed, berita online, jadi kayak 'oke setiap hari aku harus ada di situ dan harus bergabung di berbagai macam platform'. Dan sekarang udah banyak banget, nanti di zoom, live Instagram, Twitter, Aduh ini apa? Ternyata ini dunia baru, aku harus belajar lagi, seru. Tetapi aku tidak ingin sebenarnya itu bagian dari kehidupan, karena kehidupan yang nyata masih ada loh.

Hal tak terlupakan selama menggeluti profesi sebagai insan perfilman?

Hal yang tak terlupakan banyak sekali. Banyak sekali ya miracle-miracle yang terjadi. Dari mulai aku syuting lagi hamil di film pertamaku, hamil anak kedua. Jadi ada miracle yang aku hadapi di lokasi-lokasi yang sulit, di tengah hutan atau pinggir kali yang kita nggak bisa ngapa-ngapain, kita bangun set gitu ya. Itu banyak sekali yang memang tak terlupakan.

Sampai terakhir kemarin di dalam seumur hidup aku, aku nggak pernah syuting di tengah pandemi. Aku harus syuting pakai masker di antara seluruh kru-kru aku, dan semua aktor-aktorku memakai masker. Kita nggak bisa beramai-ramai, karena biasanya kan produksi film itu serunya kita bisa berkumpul. 

Jadi sebenarnya mungkin di usia saya sekarang, di saat yang sudah kita lalui seperti ini, saya nggak pernah ngelupain kita casting, persiapan, rehearsal, reading, syuting sampai editing, sampai bikin soundtrack, baru launching A World Without di tengah pandemi. Ya memang membutuhkan kecintaan. Kalau kita nggak cinta sama kerjaan kita, ngapain kita susah-susah begitu. Yaudah di rumah aja, menunggu pandemic berakhir. Tetapi kalo orang kreatif, orang film, ketika ada motor dan ada rasa keinginan yang besar dan kangen, emang kita nggak bisa didiemin. Akhirnya kita bisa melakukannya, di tengah keadaan yang sangat-sangat aneh dan nggak pernah disangka sebelumnya.

Apa pendapat anda tentang maraknya platform film digital? Menurut Anda, apakah hal ini akan mengubah kebiasaan orang dalam menonton film?

Jadi platform digital itu kan memang sebenarnya udah lama ada. Tapi mungkin di Indonesia masuk perlahan, baru. Dan orang Indonesia sendiri, local digital platform juga tumbuh mulai berjamuran sekarang. Tentu saja akan mengubah kebiasaan orang. 

Kalau di rumah, saya selalu nonton kalaupun harus di platform digital, saya harus di smart tv yang besar. Karena saya orang zaman dulu yang biasa nonton bioskop di layar yang besar. Ketika di rumah saya prefer di layar yang besar, sampai sekarang saya belum terbiasa dengan cara itu (nonton di hp). Paling saya bisa toleransi adalah laptop. Cara nonton seperti itu kan ternyata sudah ada sebelum pandemi. Cuma mungkin nggak kerasa ya buat saya pribadi karena masih bisa ke bioskop, pergi-pergi. Semua punya pilihan. Tapi ketika sudah pandemi dan kita gak bisa keluar rumah saya membiasakan nonton di laptop. Cuma pas bioskop udah buka kemarin, saya udah nonton satu film Indonesia, animasi anak-anak. Saya pikir, coba ke bioskop nggak mau nonton film luar, saya mau support film Indonesia. Dan itu kangennya terobati.

Saya percaya, bioskop nggak akan pernah hilang. Sama halnya seperti buku. Ketika e-book ada, semua orang pikir 'ah buku akan hilang'. Tapi ternyata tidak. Buku menjadi sesuatu yang special, kita mengoleksi buku. Mungkin dulu, abis baca ditinggalin, kalau sekarang, aduh kita simpan ya (bukunya, walau mungkin kita punya e-booknya. Mungkin juga nanti pada akhirnya bioskop akan menjadi tempat yang sangat-sangat spesial. Kita harus pergi, mempersiapkan ini-itu. 

3 dari 3 halaman

Nilai Hidup dan Bentuk Cinta Diri

"I think kindness is higher than true. We don't have to be right all the time. But we have to be kind all the time," kata Nia Dinata, (Fotografer: Nicoline Patricia Malina, Courtesy of Netflix)

Aktif membuat film sejak awal tahun 2000an nyatanya profesi yang digeluti Nia Dinata sebagai salah satu bentuk mencintai dirinya sendiri. Di tengah kesuksesan yang telah ia raih, Nia pun sadar pijakannya ini tak akan bisa ia raih tanpa dukungan suami dan kedua anaknya yang telah memberikan pengertian besar.

 

Bertahun-tahun menjalani profesi sebagai sineas yang menghabiskan banyak waktu di lapangan, bagi Anda apakah hal tersebut menjadi salah satu bentuk mencintai diri?

Seberapa besar sih pekerjaan saya mendatangkan kebahagiaan, mendatangkan emosional batin, happiness, mendatangkan hal-hal yang nggak bisa dibayar dengan uang, bisa sharing team work segala macam? Kalau secara ekonomi, ya dibayar dengan baik. Dan ketika kita merasa semua itu, kita makin cinta dengan pekerjaan kita.

Bagaimana Anda mengapresiasi dan mencintai diri?

Untuk mencintai diri sendiri tentu saja kita harus bisa mengambil keputusan, kita bekerja sesuai dengan apa yang kita cintai dong, yang sesuai dengan passion dan karakter, atau cita-cita dari kecil mungkin, atau cita-cita yang baru kita temukan ketika kita menginjak dewasa dan bahkan sesudah dewasa 'oh ternyata this is my joy' gitu.

Kayak aku, kalau nggak cinta ya buat apa bikin film di tengah pandemi, kan lebih enak nyantai-nyatai saja. Ketika kita bisa bekerja dengan joy itu kan artinya bentuk mencintai diri sendiri. Buat aku mungkin bentuk mencintai diri sendiri dan mengekspresikan rasa sayang untuk diriku sendiri, selain dengan pekerjaan, juga pilihan menyeimbangkan hubungan keluarga.

Aku merasa ketika sudah tahu kapan kita harus beristirahat, kapan kita harus say no 'hari ini hari istirahatku, hari ini aku mau matiin hp dan seluruh gadget. Aku mau melakukan apapun tanpa diganggu-ganggu oleh semua yang ada di gadget', Buat aku itu juga bentuk mencintai diri sendiri.

Dalam hidup dan berkarya, nilai/prinsip apa yang selalu Anda pegang?

Dalam hidup dan berkarya itu sebenarnya semuanya kembali ke basic ya. Nilai atau prinsip hidup kebaikan, kindness. Kindness is everything. Kita nggak perlu selalu benar, i think kindness is higher than true. We don't have to be right all the time. But we have to be kind all the time.

Kalau dulu waktu aku masih muda even when I was in my fourty, sekarang aku udah 50an, aku masih mau menganggap, truth is everything. Walaupun kita harus menyakiti, tapi is the truth. Tapi kalo sekarang kindness is everything. Truth itu bisa diungkapnya dengan kindness, kita nggak bisa demi truth we don’t being kind, itu nggak bisa. Jadi menurut aku kindness. Jadi kita akan percaya juga keadilan, kesetaraan, respect. When we respect each other, pasti we are kind people.

Nia Dinata mengaku kesuksesannya tak lepas dari dukungan keluarga. (Fotografer: Nicoline Patricia Malina, Courtesy of Netflix)

Seberapa besar peran keluarga dalam pencapaian karier Anda?

Peran keluarga aku terutama, kedua anak laki-lakiku itu sangat besar. Kalau suami, ya kita beda beberapa tahun saja. Tapi kan kita dua dua orang dewasa yang sama-sama bisa saling mengerti dan menghormati keputusan. Besarnya 80% peran mereka (anak-anak) terhadap karier aku. 

Aku merasa harus berterimakasih pada kedua anak itu, karena mereka sangat-sangat pengertian banget. Mereka berdua sih perannya besar sekali karena pengertian mereka.

Sejauh ini sudah bilang terima kasih ke mereka?

Almost everyweek kali. Kita sangat kayak temen sih. Nggak setiap hari aku berterimakasih, everyweek. Maksudnya kayak ada berita ini, itu. Pasti aku let them know, gitu.

Terakhir, apa pesan untuk sineas perempuan yang ingin mendalami dunia produksi film?

Pick time to study your field. Nggak semua orang sekolah film, tapi orang yang punya passion kalau mau belajar pasti bisa bikin film. Orang yang sekolah film, harus belajar karena ada hal-hal interrelation dengan kru, respect, karena itu nggak diajarkan di sekolah film. Ya kan? Jadi you have to learn, take time to study more about your field.

Mulai lah dari bawah. Jangan mulai langsung jadi sutradara atau mulai langsung jadi produser. Itu kita nggak akan membuat kita merasakan bagaimana rasanya kita memulai dari bawah. Aku kelar kuliah di Amerika itu tahun 1993 pulang ke Jakarta. Aku menjadi asisten sutradara. Pertama-tama aku menjadi production assistant. Product assistant itu karier terbawah dalam sebuah produksi film. Jadi aku merasakan bagaimana jadi production assistant, gimana jadi asisten sutradara dan aku merasakan bagaimana diperlakukan tidak adil. Jadi ketika aku menjadi sutradara, aku nggak mau aku begitu. Karena aku pernah merasakan nggak enak ya diperlakukan tidak adil.

Saran aku take time to study your field, karena apa yang ada di sekolah film pun belum tentu diajarin. Terutama tentang respect dan menghormati all genders. Yang ketiga, mulailah dari bawah. Beneran deh. Karena bahkan cuma setahun aja gak apa-apa. Give time juga untuk melihat semua infrastruktur department-department yang sangat ribet dalam sebuah film. Mulai dari department penyutradaraan, kamera, lighting, sound, kostum, makeup, wardrobe, produksi, transportasi, akomodasi kalo syutingnya di luar. Itu semua sangat-sangat penuh dengan intriks sih.