Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
***
Oleh: Martya Putri
Ada banyak ibu hebat di dunia ini. Kenapa aku tidak bilang semua ibu hebat? Karena beberapa tahun belakangan sudah sering membaca berita seorang ibu membuang bayinya, menelantarkan anaknya ataupun menyiksa anaknya. Entahlah, keadaan seseorang memang tidak pernah sama.
Bersyukur ibuku hebat. Entah bagaimana pandangan orang tentang ibuku, bagiku ibuku tetap hebat. Hebat bukan berarti tak bercela, semua orang punya cela. Sudah lama sekali aku tidak ingat rupa ayahku. Apakah aku bukan anak yang berbakti? Aku tentu ingat fotonya, tapi rasa memiliki seorang ayah yang aku tidak pernah ingat. Aku masih kecil ketika ayahku meninggal, sejak saat itu semua kugantungkan pada ibu.
Saat itu aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibu membesarkan seorang anak sendirian, pensiun ayah yang tidak seberapa pasti tidaklah cukup. Aku ingat sekali ibu harus bekerja di kota sedangkan aku tinggal dengan nenek.
Ibuku Seorang Single Mom
Momen ketika ibu pulang adalah momen yang paling aku nantikan ketika aku masih kecil. Seorang anak SD mana paham sulitnya mencari uang, hanya merasa senang ketika ibunya pulang, membawa barang-barang untuknya. Aku bahkan merajuk jika jadwalnya ibu pulang tetapi ibu tidak pulang, anak SD mana mau mengerti alasan. Saat kelas 5 SD ibu membawaku hidup bersama di kota. Senang bukan kepalang ku rasa.
Saat sudah SMP pun aku masih merasa ibu tetap hebat. Terkadang aku memang harus menyiapkan sarapan sendiri, ibu bukan malas hanya saja kulihat ibu sudah lelah bekerja. Waktu itu sekolahku cukup jauh, melihat anak lain diantar ibu atau ayahnya tentu saja membuatku iri.
Apakah aku merengek pada ibu? Aku ingin, tapi tidak kulakukan. Aku hanya diam, bersyukur ibu masih ada rezeki memberiku uang untuk naik angkutan umum. Jika duit dari ibu tak cukup, aku cukup naik sepeda. Pada tahun itu tak banyak anak SMP yang ke sekolah naik motor di kotaku. Bersepeda juga bukan hal yang menyulitkan, teman bersepeda juga ada. Hanya saja tak mudah bersepeda jarak jauh di siang hari saat pulang sekolah dengan perut lapar.
Ibu tetaplah seorang ibu, tidak ada yang berubah. Ibu bukannya tidak pernah marah. Wajar. Jika aku berulah, entah merengek meminta sesuatu atau tidak rajin belajar ibu memang marah. Dulu aku merasa kenapa sih ibu marah, aku bukan meminta hal yang aneh atau tidak pantas, aku juga bukannya siswa bodoh.
Aku bersekolah di SMP favorit di kotaku, saat SMA aku bersekolah di SMA favorit juga. Tapi jika nilaiku turun, ibu selalu marah. Aku terkadang juga dihukum. Sedihkah aku? Dulu tentu saja aku sedih, anak SMA, ngambek juga.
Yang kutahu ibuku selalu begitu. Bukan tipe ibu yang lemah lembut, tapi ibuku tetap memberikan yang terbaik yang beliau bisa untukku. Dulu pernah aku ingin ibu yang lemah lembut seperti ibu temanku, tapi itu dulu. Meski cerewet dan tidak lembut tapi dari semua orang, ibuku lah yang selalu menginginkan yang terbaik untukku. Membiarkan aku kuliah di saat semua orang di keluarga kami menentang, ibuku yang bersikeras supaya aku lulus sarjana. Jika ibuku tidak bersikeras, mungkin tidak ada aku yang sekarang.
Ibu yang Selalu Menguatkan Langkahku
Kukira saat seorang anak perempuan menikah, seorang ibu akan sedikit lebih lega, anaknya ada yang menjaga. Kukira saat aku sudah berumah tangga semua rezeki yang ada dalam rumah tangga kami bergantung pada seberapa giat kami beribadah dan berdoa.
Aku sempat lupa, bahwa ibu adalah makhluk mulia yang doa-doanya selalu didengarkan Tuhan. Kukira karena buah usahaku, belajarku, dan doaku saat aku lulus tes CPNS tahun itu. Belakangan baru aku sadar mungkin karena doa ibuku lah aku lulus.
Karena jika kuingat lagi, tes yang sebelumnya aku belajar lebih keras, aku berdoa lebih giat tapi aku tidak lulus. Belakangan aku tahu, tahun itu dalam hati ibuku tidak merestui aku ikut tes. Begitulah ibu, setiap doanya adalah keberuntungan kita, anaknya.
Dulu aku tidak paham kenapa ibu sepertinya tidak senang jika aku ditegur orang lain padahal buku sendiri menegur dan bahkan kadang memarahiku. Tahun-tahun ini, setelah aku punya anak, aku baru mulai memahami kenapa rata-rata seorang ibu tidak pernah rela anaknya ditegur orang lain. Ibu tetaplah ibu, yang membersamai anaknya dari dalam rahimnya hingga akhir hayat.
Mengucapkan Selamat Hari Ibu tidaklah wajib, yang wajib adalah berbakti.
Mengucapkan aku sayang ibu terkadang sulit bagi beberapa orang, tapi menunjukkan kasih sayang tidaklah selalu dengan kata-kata, perbuatan terkadang berbicara lebih lantang dari kata-kata.
Untuk semua tahun-tahun sulit dalam hidup kami, doa-doa ibulah yang mengudara mengurai kesulitan-kesulitan yang ada. Memiliki ibu adalah keberuntungan yang tiada akhir. Tahun-tahun pandemi ini adalah jarak tang memisahkan ragaku dengan ibuku, tapi di manapun ibu tetaplah ibu.
Terima kasih untuk semua kasih sayang ibu.
#ElevateWomen