Jangan Menunggu Sampai Kehilangan untuk Menyadari Seseorang Itu Berharga

Endah Wijayanti diperbarui 03 Des 2021, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Annisa Firdausi Anwar

Mereka bilang Ayah adalah cinta pertama anak gadisnya. Mereka bilang Ayah adalah sosok pahlawan dalam hidup putri kecilnya. Ya semua itu benar adanya. Ayahku adalah cinta pertamaku, Ayahku adalah sosok lelaki yang kukagumi, dan Ayahku adalah pahlawanku. Semua itu benar sampai saat Desember 2015 ketika Allah menggerakkan tanganku untuk membuka sebuah rahasia kecil yang langsung menghancurkan duniaku dan meleburkan semua mimpi indahku.

Saat itu juga Ayah menjadi lelaki pertama yang menyakitiku, Ayah adalah sebuah luka terbesarku, dan aku pun kehilangan sosok pahlawanku. Sejak itu aku memaksakan diri tetap menjalani hidup meski tertatih karena lepasnya satu tangan yang dulu selalu menggandengku dan menuntunku berjalan.

Mereka bilang waktu yang akan menyembuhkan luka. Hari berganti hari hingga beberapa tahun terlewati, aku tetap menjalani kehidupanku, dan aku mulai bisa bersikap biasa saja dengan Ayah namun hati kecilku mempertanyakan apakah aku telah memaafkan Ayah? Luka yang tergores dalam hati ini tidak terasa sesakit dahulu, tapi tentu bekas lukanya masih ada. Kebaikan dan keburukan Ayah silih berganti membayangiku dan membuatku ragu. Apakah aku bisa merasakan lagi saat-saat bahagia bersama Ayah seperti dulu? Apakah aku bisa melihat Ayah sebagai sosok yang kuandalkan seperti saat sebelum kenangan buruk itu terjadi?

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Selalu Mendoakan Keselamatan Ayah

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/NATTAKORN+MANEERAT

Hari itu pada bulan Juli 2019 aku tengah duduk bersama teman-temanku menunggu dosen anastesi datang, tiba-tiba dering telepon mengejutkanku, saat kuterima langsung terdengar isak tangis Ibu di ujung telepon mengabarkan Ayah jatuh di jurang Pusuk. Sesaat semua terasa gelap dan saat aku sadar air mata sudah bergulir deras dari kedua mataku.

Aku buru-buru menuju tempat Ayah sambil merapal segala doa semoga Allah melindungi Ayah. Setibanya disana aku belum boleh menemui Ayah langsung, seseorang di sampingku menceritakan kronologi kecelakaan dan memperlihatkan foto mobil yang dikendarai Ayah rusak berat.

Dadaku sesak, hatiku terasa sakit, sebuah ketakutan yang besar menghantamku, aku semakin kencang merapal doa dalam hati. Ya Allah tolong beri aku kesempatan. Saat itu aku berdoa untuk keselamatan Ayah dan berdoa untuk diriku sendiri agar memaafkan apa yang telah terjadi, dan Allah mengabulkan doaku.

Belum lama Ayah pulih, pada Januari 2020 Ayah harus berangkat menjalankan tugas negara di daerah konflik. Aku bertanya mengapa harus Ayah? Usia Ayah hampir memasuki setengah abad, beliau sudah tidak muda lagi, kondisi Ayah tidak begitu bugar, mengapa bukan mereka yang masih muda saja? Lagi-lagi aku dihampiri oleh rasa ketakutan yang besar.

Ketakutan itu menjadi nyata saat September 2020 pos Ayah diserang oleh gerakan separatis. Saat serangan pertama Ayah dan beberapa rekannya sedang dalam perjalanan kembali ke pos setelah mengambil logistik dari kota dengan menggunakan motor. Saat terdengar suara tembakan, Ayah berhasil menghindari peluru dengan berguling dari motornya, tetapi hari itu satu orang anggotanya harus gugur dalam serangan kali ini.

Tak lama berselang terjadi serangan kedua, tiba-tiba terjadi tembakan ke dalam pos Ayah dan mengenai seorang prajurit muda yang merupakan ajudan Ayah. Sore itu aku dan ibu menerima panggilan video dari Ayah, walaupun dengan sinyal yang buruk kami dapat melihat sosok lelah Ayah di balik helm tempur dan baju pelindungnya, Ayah menangis tersedu-sedu layaknya seorang anak kecil mengabarkan kematian ajudannya. Kulihat ibu berusaha menguatkan Ayah, tetapi saat sinyal terputus ia mulai terisak menangisi Ayah, dan saat itu aku dapat melihat perasaan tulus Ibu pada Ayah.

Mereka bilang jangan menunggu sampai kehilangan untuk menyadari bahwa sesuatu itu berharga. Perasaan yang mengabur beberapa tahun terakhir akhirnya menjadi jelas. Aku paham detik itu juga semua lukaku telah hilang tak tersisa, tak ada lagi rasa kecewa maupun sakit hati. Segala yang aku inginkan adalah Ibu dan Ayah bahagia.

Aku berdoa pada Allah memohon perlindungan untuk Ayah, semoga Ayah selalu dijaga keselamatannya, dan Ayah dapat kembali berkumpul bersama kami dalam keadaan baik-baik saja. Pada Maret 2021, Allah kembali mengabulkan doa-doaku lagi.

Setelah masalah demi masalah Ayah bisa pulang bertemu Ibu, tetapi saat itu aku sudah pergi menjalankan tugas sebagai dokter Internship di pulau lain. Walaupun saat itu belum bisa bertemu, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat lagi sosok pahlawanku, Ayah. Terima kasih Ayah sudah berjuang dan kembali pada kami.

#ElevateWomen