Menikah di Usia 38 Tahun, Aku Ingin Membalas Cinta yang Luar Biasa

Endah Wijayanti diperbarui 02 Des 2021, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Novita Indarsari

Bapak adalah cinta pertamaku. Walaupun saat aku kecil Bapak tinggal dan bekerja di luar kota dan hanya pulang setiap dua minggu sekali, namun secara emosional aku lebih dekat dengan Bapak daripada dengan Ibu atau kakak. Kadang saat aku liburan sekolah, sopir Bapak menjemputku hingga aku bisa tinggal di rumah dinas Bapak dan menghabiskan waktu liburan di sana. Hingga Bapak pensiun saat umurku masih 10 tahun, akhirnya keluarga kami pun lengkap tinggal bersama.

Bapak mendidikku dengan lembut namun penuh ketegasan. Apa pun keinginanku untuk masa depan, Bapak selalu mendukungku. Aku hanya diminta selalu fokus pada pendidikan dan berprestasi di sekolah. Tidak harus juara satu, melainkan cukup masuk ranking 10 besar saja. Beliau selalu berpuasa Senin Kamis, dan juga berpuasa saat hari weton kelahiranku dan weton kakakku. Dan setiap aku akan ujian sekolah, aku lihat Bapak lebih lama berdoa seusai sholat.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Bapak yang Selalu Ada Untukku

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/takajapanese

Hingga akhirnya aku diterima kuliah di universitas negeri idaman di kota kami, kota pelajar. Aku lebih sering menghabiskan waktu di kampus untuk belajar di perpustakaan ataupun aktivitas organisasi. Kampus cukup jauh dari rumahku dan aku mengendarai motor kemana-mana.

Bapak sering menungguku pulang, terutama jika aku harus pulang larut malam. Saat itu awal masa handphone muncul, hanya bisa untuk telepon dan SMS saja. Pulsa pun masih mahal, dan Bapak Ibu di rumah tidak memiliki handphone, hanya ada telepon rumah saja. Jadi saat perlu saja, aku bisa telepon ke rumah untuk mengabari jika terlambat pulang.

Di saat hujan deras, Bapak sudah menungguku di teras rumah untuk membukakan pintu pagar. Dan saat aku harus lembur larut malam untuk mengerjakan skripsi di rumah, Bapak sering menemaniku bergadang di sela-sela beliau sholat malam.

3 dari 4 halaman

Bekerja dan Mengajak Orangtua Naik Haji

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/CandyRetriever

Berkat doa Bapak dan Ibu, aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan BUMN tak lama selepas wisuda. Aku bercita-cita, dan Alhamdulillah tercapai, bahwa dalam 4 tahun pertama kerja, aku bisa memberangkatkan haji orang tua dan membelikan mobil baru untuk Bapak.

Teman-temanku sempat menasihatiku untuk tidak membeli dahulu barang konsumtif seperti mobil. Namun aku punya alasan tersendiri. Sedan tua milik Bapak penuh kenangan dalam kehidupan keluarga kami. Dari yang wipernya rusak dan tidak bisa gerak, pintunya bocor saat hujan deras, dan juga sering mogok.

Pernah mobil kuno itu mogok di tengah perlintasan rel kereta api dan sirene palang kereta berbunyi tanda kereta api akan segera lewat. Kami sangat panik. Tapi untunglah banyak orang membantu mendorong mobil kami melewati perlintasan relnya, dan kami pun selamat. Itulah kenapa aku ingin sekali membelikan Bapak sebuah mobil baru.

Sepulang dari ibadah haji, kondisi Bapak drop. Sebelum berangkat pun sebenarnya Bapak sudah mulai sakit. Saat itu Bapak dan Ibu mendapat prioritas keberangkatan haji sebagai lansia. Dan Bapak menjadi jamaah haji tertua di rombongannya. Sejak itu Bapak mengalami penurunan fisik dan demensia. Lambat laun kondisi Bapak semakin menurun dan mengalami Alzheimer.

Di usia Bapak ke-80 tahun, Bapak sudah sering tidak mengenali keluarganya lagi. Saat itulah aku mulai merasa sedih karena di usiaku yang sudah lewat 30 tahun, aku belum menemukan jodohku.

Di saat-saat Bapak bisa bicara dengan normal (ingatannya kadang kembali), Bapak bertanya apakah dia sudah punya cucu. Saat itulah aku tersadar bahwa keinginan terbesar Bapak yang belum tercapai adalah memiliki cucu. Padahal di saat beliau masih sehat dulu, Bapak tidak pernah mendesak kedua anaknya untuk menikah. Yang lebih sering beliau katakan, bahwa beliau bangga pada keberhasilan dan kesuksesanku. Apalagi aku juga bisa jalan-jalan ke luar negeri, sesuatu yang beliau tidak bisa lakukan saat masih muda.

4 dari 4 halaman

Menikah di Usia 38 Tahun

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Vershinin89

Akhirnya aku menemukan jodohku di usia ke-38 tahun dan kami pun menikah pada tanggal 21 Maret 2020, saat awal pandemi. Nyaris saja kami tidak bisa melangsungkan resepsi pernikahan walaupun hanya dengan sedikit tamu, karena dua hari kemudian kota di lockdown.

Sayangnya Bapak sudah tidak bisa diajak komunikasi. Badannya sudah lemah, hanya bisa berbaring atau didudukkan di kursi roda. Tatapan matanya hanya kosong menatap mata kami, saat kami meminta doa restu.

Karena kondisi Bapak tidak memungkinkan, maka ucapan ijab dari wali nikah diwakilkan oleh penghulu. Bapak hanya sanggup menghadiri saat akad nikah saja, tapi tidak kuat mendampingi Ibu di pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari tamu.

Awal April 2020, aku harus kembali ke kota tempat aku kerja. Situasi masih lockdown, namun mau tak mau aku harus pergi karena aku harus pindah dari kost ke rumah baru disana. Niat kami, setelah selesai pindahan, aku dan suami akan segera kembali ke rumah orang tua. Jadi aku pun hanya pamit sebentar pada Bapak.

Qadarullah, sampai di rumah baru kami, pandemi semakin parah sehingga diberlakukan lockdown yang ketat. Situasi sangat mencekam saat itu, hingga kami pun tidak bisa pergi keluar rumah. Padahal rumah baru kami masih belum ada isinya karena toko-toko masih tutup. Kami berdua pun masih tidur di karpet apa adanya.

Tanggal 5 Mei 2020 Ibu menelepon kami karena Bapak sudah berhari-hari tidak mau makan. Akhirnya kami sepakat agar Bapak dibawa ke rumah sakit. Namun aku dan suami masih belum bisa pulang kampung.

Di rumah sakit, Bapak langsung masuk ICU, tapi harus diisolasi karena harus menunggu hasil tes PCR. Seminggu kemudian, hasil tes keluar negatif dan Bapak pun direncanakan akan dipindah ke ruang rawat karena kondisinya membaik. Namun bagai petir di siang bolong, jam 1 siang kakak telepon mengabarkan bahwa Bapak sudah tiada.

Semua terjadi begitu cepat dan Bapak dikebumikan sore itu juga. Sedangkan aku dan suami baru tiba di rumah keesokan harinya. Senin 11 Mei 2020, di usia 84 tahun Bapak berpulang. Tanpa tanda, tanpa kata. Hanya menyisakan duka dan lara.

Bapak,

Terima kasih telah mengajarkan gendhuk menjadi wanita yang tangguh.

Hanya Bapaklah yang yakin pada kemampuanku, walaupun gendhuk belum pernah juara 1.

Bapak juga yang yakin melepas anak bungsu ini kerja merantau sendiri.

Walau Ibu dan saudara sangsi pada kemampuanku hidup mandiri.

Bapak, kau pergi tanpa kami sempat ucapkan perpisahan. Maafkan kami tidak bisa menemani di saat-saat terakhirmu. Orang bilang, amalan puasamu mengantarmu berpulang di bulan Ramadhan. Sungguh cepat tak terduga, tak disangka kelancarannya. Kami ikhlas, dan Insya Allah husnul khotimah.

Bapak, tenanglah di sana karena gendhuk sudah berbahagia. Gendhuk sudah menemukan lelaki yang bisa menjaga keluarga kita. Lelaki yang seandainya bisa ngobrol dengan Bapak, pasti tak akan kehabisan topik. Tak usah khawatirkan ibu juga, karena kami bisa mengurusnya.

Bapak. Cucu laki-laki yang engkau harapkan telah lahir. Dan kami hanya bisa mengenalkan lewat fotomu yang terpajang. Tenanglah di sana, karena penerusmu telah ada.

Dedicated to almarhum Bpk. Darmin Pramudji bin Dasaprawira. Al Fatihah

#ElevateWomen