Pada Hari Kepergian Ayah, Ada Kesedihan dan Kebencian yang Berkecamuk di Dada

Endah Wijayanti diperbarui 02 Des 2021, 14:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Sisca Tristanti

Teruntuk lelaki yang kupanggil ayah. Aku menulis surat ini dengan berurai air mata, Yah. Karena aku tahu pasti engkau tak akan mungkin bisa membacanya.

Dulu kita pernah duduk di sini Yah, di rumah sederhana ini, tertawa bersama, membangun semuanya bersama. Dalam kesederhanaan di bawah lampu teplok yang temaran, engkau dan ibu mengajarkan kehidupan sederhana kepada kami, aku dan adikku.

Setiap malam, tanpa gadget ataupun televisi, engkau dan ibu bergantian mengajarkan kami materi pelajaran dari sekolah yang belum kami mengerti. Saat akhir pekan, tanpa mobil dan hanya bermodalkan motor roda dua yang harganya tak seberapa kita sering berkeliling kota bersama, menikmati setiap sudut kota kecil ini dengan pemandangan indah yang dulu belum digarap pemerintah. Menyantap bakso gerobakan, dua mangkok untuk dimakan berempat, lalu pulangnya selalu mampir untuk berdoa sebentar di makam nenek dan kakek.

Masa-masa itu sungguh indah, Yah. Tapi semua hanyalah kenangan. Belasan tahun berlalu, kemudian aku dan ibu memutuskan pergi dari rumah yang kita bangun bersama kaena engkau sudah menentukan jalan hidupmu sendiri.

Engkau hadirkan wanita itu dalam masa depan yang sudah susah payah kita rangkai bersama untuk kemudian engkau hancurkan bersama hati kami (dua wanita yang bersamamu sejak masa susahmu hingga keberhasilanmu saat ini). Dia telah mengambilmu dari kami, tak hanya ragamu tapi juga hatimu dan hartamu. 

Hari ini kami kembali Yah, ke dalam pelukanmu seperti dulu. Hari ini kami berkumpul lagi Yah, di sini, di rumah sederhana yang kita bangun bersama, tapi kali ini dalam duka dan tak lagi dalam senyum yang sama.

Mata basahku memandangi tubuh kakumu, Yah.

Hampa.

Sedihkah ini? Atau benar-benar hilang rasa?

Hanya air mata yang menetes satu dua, mungkin begini rasanya ketika kebencian dan kesedihan bercampur dalam dada.

Ragamu ada Yah, utuh di hadapanku, tapi nyawamu telah pergi bersama dengan keseruan kenangan masa lalu dan keindahan mimpi masa depan yang sempat terangkaikan. Tak sempat terucap kata maaf darimu ataupun ucapan terimakasih dariku. Hanya bisa mengikhlaskan, itu saja.

Karena pada akhirnya yang hidup akan mati, yang bernyawa akan pergi, yang segar akan layu, dan yang luka akan sembuh dengan sendirinya, meski harus tanpa kata.

What's On Fimela