Hari Itu Aku Sangat Gelisah, Mengikhlaskan Ayah Terpejam Selamanya

Endah Wijayanti diperbarui 02 Des 2021, 09:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Rina Rahmi

Aku anak perempuan yang paling banyak berdebat dengan ayah, tapi juga paling perhatian dibandingkan kedua saudaraku. Kami sering menghabiskan waktu bersama, tepatnya ayah yang sering mengantar dan menjemputku kerja.

Ayahku selalu berenergi walau lima tahun sudah jantungnya dipasang ring, dan selama itu pula ayah mengonsumsi obat-obatan. Tak pernah absen setahun sekali ayah menginap di rumah sakit karena lalai minum obat. Semua dari kita tahu, ayah bosan dengan obat-obatan tersebut.

Di tahun kelima ayah kembali menginap di rumah sakit ditemani sosok setia yang sama, mama. Ada yang tak biasa di malam sebelumnya. Ayah kejang-kejang beberapa kali, hampir tak sadarkan diri. Sudah sebulan ayah sakit, memang tidak terlihat parah dan ayah masih bisa pergi ke tempat favoritnya. Namun, tak menyangka malam itu malam terakhirnya di rumah.

Keesokan paginya aku bertukar jaga dengan mama. Selama ayah dirawat, untuk pertama kalinya aku sangat gelisah. Kegelisahanku mereda ketika aku keluar ruangan UGD, dan kembali muncul saat masuk ruangan, begitu seterusnya. Dalam shalat asharku, kuadukan ini pada Ilahi Rabbi, apakah gerangan yang membuatku sungguh gelisah?

Sore itu sambil menunggu mama datang, aku duduk di samping tempat tidur ayah. Mama pulang hanya untuk membersihkan diri dan istirahat sebentar. Ayah mulai gelisah dengan alat oksigennya, ingin dilepas dan ingin keluar. Dan yang mulai membuatku terkejut, ayah meracau menanyakan remote TV, motor di rumah, dan lain-lain. Pikirku kondisi ayah memang sedang tak stabil, aku hanya perlu menenangkannya.

 

2 dari 2 halaman

Perpisahan yang Harus Diikhlaskan

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Maghrib tiba. Sepupuku menjenguk dan aku merasa lega karena sebenarnya aku butuh mamaku. Baru saja ia ingin pamit pulang, ayah kejang-kejang. Dokter dan perawat berlarian menuju tempat tidur ayah dan merebahkan sisi kepala tempat tidur. Yang kutahu, penderita jantung tidak boleh tidur lurus, berarti ini ada sesuatu yang tidak baik. Aku lunglai, kakiku seperti tak menapak bumi, hampir tak mampu menopang tubuhku. Aku menangis. Ventilator dipasang, ayah ‘tertidur’.

Dokter memanggilku dan mengatakan ayah kritis. Tangisku pecah. Tapi dokter melarangku berputus asa karena ayah masih ada. Aku mencoba berdamai dengan keadaan dan mendatangi ayah. Tak henti aku meminta maaf padanya, kumaafkan juga ayah. Kubacakan doa-doa dan memintanya mengulang dalam hati. Ayah sadar tapi terpejam. Aku melihat anggukan kepalanya, aku melihat air matanya. Ayahku akan baik-baik saja.

Tak lama kemudian, mama dan adikku datang. Tak banyak pertanyaan hanya mencoba memahami keadaan, dengan kesedihan mendalam. Kami bersama berdoa sambil berharap segera ada ruang kosong di ICCU karena ayah butuh ventilator yang baik di sana.

Para perawat mulai membantu ventilator manual yang terpasang di pernapasan ayah. Mereka mengatakan ayah semakin baik. Tapi hatiku tidak sependapat. Aku memang bukan pekerja medis, tapi aku sedikit paham apa yang terjadi dengan alat-alat itu. Tekanan darah 0. Detak jantung menembus 200an, lalu 30 normal, kemudian hilang 0, naik drastis lagi, begitu bolak balik. Ini bukan sesuatu yang normal pada tubuh manusia. Ayahku tak baik-baik saja.

Selanjutnya kulihat ada darah di selang ventilator. Kupegang jemari kakinya yang dingin. Ayahku mengeluarkan air di sudut matanya. Aku sungguh gugup pada takdir-Nya. Jantungku berdegup kencang. Tak berhenti kami berdoa, sampai akhirnya dokter mengatakan, ”Mari kumpul, doakan ayahnya, kami lepas ya alat-alat ini."

Tak sedikit pun air menetes dari mataku. Sudah cukup aku menangis tadi. Aku harus kuat di saat mama jatuh terduduk di lantai menangis tak berdaya. Adikku menenangkannya. Aku tegar, aku harus berbisik terakhir kalinya di telinga ayah bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah, Muhammad Rasul-Nya. Tak boleh aku kalah oleh syaitan yang berusaha menyesatkan ruh saat sakaratul maut ini. Berkali-kali kubacakan doa. Hingga kusadari dingin yang menjalar dari kaki perlahan sampai ke muka, warna muka memerah berubah menjadi kebiruan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ayahku pergi.

Kain putih menutup tubuhnya. Kupandangi atap ruangan, aku yakin ayah masih di sana menuju langit dengan malaikat-Nya. Ayah, anakmu ini memang pendebat, tapi sangat bersyukur bisa membimbing ayah di detik terakhir.

Kupandangi lagi atap dengan seksama, aku berdoa, ”Ya Allah, jika seluruh kesenanganku di dunia bisa ditukar dengan kembalinya ayah, mohon tukar ya Rabb." Hening. Tak ada keajaiban. Ayah tak kembali. Dia yang tak pernah kembali.

#ElevateWomen