3 Alasan Eropa Kembali Menjadi yang Terparah dalam Kasus Pandemi COVID-19

Febi Anindya Kirana diperbarui 27 Nov 2021, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta COVID-19 masih belum berakhir, kasusnya mungkin sudah melandai di Indonesia, namun ternyata masih banyak di beberapa negara di dunia, terutama negara-negara di Eropa.

Dilansir dari Merdeka.com, WHO telah memperingatkan bahwa Eropa sekali lagi menjadi 'episentrum' pandemi Covid-19, dengan kawasan Tengah dan Timur yang paling parah karena rendahnya angka vaksinasi dan para pejabat yang ragu-ragu dalam mengambil tindakan pencegahan lebih ketat dalam mengendalikan penyebaran.

Infeksi COVID-19 juga melonjak di kawasan Eropa Barat, meskipun dengan tingkat vaksinasi yang relatif tinggi dan sistem kesehatan terbaik, sayangnya tindakan lockdown dianggap usang oleh masyarakatnya. WHO bahkan menyampaikan, kematian karena virus corona naik hingga 10 persen di Eropa pada awal November 2021.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Eropa masih tinggi angka kasus COVID-19

Ilustrasi belanja di tengah pandemi (Foto:Shutterstock)

Contohnya negara Rusia yang mengalami lonjakan kasus dalam dua bulan terakhir ini dengan total angka kematian mencapai 262 ribu, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Padahal sekitar sepertiga populasi masyarakatnya telah divaksinasi.

Direktur WHO Eropa, Dr Hans Kluge menyampaikan, jika tidak segera diambil tindakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19, kawasan itu bisa mencatat kematian sampai 500 ribu pada Februari 2022.

Dikutip dari Times of India, ada tiga penyebab utama mengapa benua Eropa kemungkinan akan mengalami gelombang baru kasus COVID-19, yaitu pelonggaran pembatasan, keraguan terhadap vaksin, dan menurunnya kekebalan orang yang telah divaksinasi.

1. Keraguan vaksin

Sebagian besar negara di Eropa memiliki angka vaksinasi mencapai 65-70 persen. Namun tampaknya ini tidak cukup untuk menghentikan penyebaran infeksi.

Para ahli sekarang meyakini bahwa negara yang berhadapan dengan wabah varian Delta perlu mencapai 90-95 persen angka vaksinasi untuk mendapatkan tingkat kekebalan populasi.

Penting untuk menekankan bahwa sebagian besar populasi yang tidak divaksinasi di Eropa termasuk anak-anak dan remaja, dan ini diperkirakan menjadi salah satu alasan melonjaknya kasus COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir.

3 dari 3 halaman

2. Berkurangnya kekebalan

ilustrasi lockdown virus corona/copyright by NG-Spacetime (Shutterstock)

Penelitian terbaru menunjukkan adanya bukti penurunan kekebalan pada orang yang telah diberikan vaksin Covid-19 setelah periode waktu tertentu. Para ahli mengatakan ada keterkaitan yang jelas antara level antibodi dan berkembangnya infeksi. Bagi yang menerima vaksin AstraZeneca, penurunan antibodi terjadi dalam 96 hari, sementara pada vaksin Pfizer terjadi pada 257 hari.

Dampak berkurangnya kekebalan ini tidak diikuti dengan kesempatan memperbaiki efektivitas vaksin dengan suntikan penguat atau booster. Pemberian suntikan booster bahkan pada kelompok yang berisiko tinggi dinilai sangat lamban.

3. Pelonggaran pembatasan

Di beberapa negara Eropa, dilakukan sejumlah pelonggaran tindakan pembatasan pencegahan virus dan sekaligus pengabaian aturan jaga jarak. Banyak pemimpin politik, tampak ragu menerapkan pembatasan yang lebih ketat menjelang Natal.

Banyak orang mengabaikan aturan tetap memakai masker, menjaga jarak, dan tindakan lainnya. Padahal menurut para ahli, strategi pengendalian dengan hanya mengandalkan vaksin tidak akan efektif.

Meskipun di Indonesia kasusnya sudah jauh berkurang dari sebelumnya, bukan berarti kita bisa mengabaikan protokol kesehatan ya Sahabat Fimela.

#ElevateWoman with Fimela