Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
***
Oleh: Intan Siti Noer Rita Daswan
Tahukah, rasa apa yang paling sakit? Rasa rindu pada orang yang telah tiada. Dan, orang itu adalah cinta pertama seorang anak perempuan. Bapa, begitu aku memanggilnya.
Pa, apa kabar Bapa di sana? Semoga Bapa bahagia bersama Mamah di sana. Ah, rasanya ingin sekali memutar waktu. Mengulang setiap momen kebersamaan denganmu.
Pa, masih terekam jelas dalam memori ini. 11 Agutus 2019 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, selepas sholat dzuhur, kabar itu sampai di telingaku. Sempat tak percaya karena paginya aku sempat menelepon untuk meminta maaf. Ah, rasanya ingin berlari memelukmu untuk terakhir kalinya. Tapi, terkadang keinginan tak sejalan dengan kenyataan.
Pa, maafkan anak bungsumu ini yang tak sempat memberikan salam penghormatan terakhir untukmu. Pa, sakit rasanya tidak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Egoku saat itu ingin sekali memaksa untuk segera pulang ke Bandung.
Tapi, Mama menyuruhku untuk tidak pulang karena kondisi suami dan anak-anak yang sedang sakit. Terlalu berisiko melakukan perjalanan dari Jember ke Bandung, apalagi dnegan dua balita dan suami yang tidak dalam kondisi sehat.
Sangat Merindukanmu dan Ingin Memelukmu Erat
Pa, Bapa tahu rasanya saat itu, perasaanku sangat hancur. Bahkan aku pun harus menahan tangis di depan anak-anak yang masih belum paham apa yang terjadi.
Pa, anak bungsumu ini kangen, sangat kangen. Aku kangen mendengar nasihat darimu. Aku kangen bercerita banyak hal kepadamu. Aku kangen berdiskusi denganmu.
Pa, terima kasih sudah menjadi bapa yang luar biasa. Aku belajar banyak darimu tentang hidup dan kehidupan. Kau bukan hanya ayah bagiku, tapi juga sahabat dan guru.
Pa, tanpa didikan darimu, aku tak mungkin bisa seperti sekarang. Bahkan setiap kali aku menuang rangkaian kata, aku selalu mengingatmu. Ya, kaulah yang pertama kali mengajarkan dan meyakinku kalau aku pasti bisa menulis. Kau pulalah yang pertama kali mengajariku bahasa asing. Dan, kau juga yang membimbingku untuk berani bicara di depan banyak orang.
Pa, masih terekam jelas, ketika pertama kali buku solo pertamaku terbit. Kau tidak bisa menyembunyikan air mata bahagiamu. Kau ceritakan kepada semua orang tentang karyaku.
Pa, kau selalu mengatakan kalau kau bangga padaku. Ketika murid di tempat lesku terus bertambah, ketika aku mengajar orang asing, ketika aku diminta mengisi acara motivasi, ketika aku menang lomba menulis, ketika aku menerbitkan buku dan ketika kau melihat anak pertamaku yang begitu bersemangat pergi ke masjid.
Pa, kau katakan kalau kau bangga. Kalau kau bersyukur. Tapi, tahukah, kalau aku yang lebih bersyukur telah dididik olehmu. Aku yang bangga padamu.
Pa, aku juga salut padamu ketika kau mau melepas dan mengizinkanku untuk mengikuti suami. Tidak mudah bagimu untuk melepas anak bungsunya ini. Tapi, kau buang egomu. Kau paham setelah menikah suamiku lebih berhak atasku.
Pa, andaikan kau ada di sini, saat ini, aku ingin memelukmu dengan erat. Aku ingin membisikkan sesuatu kepadamu, “Terima kasih, telah menjadi bapa yang hebat. Aku bangga menjadi anakmu." Meskipun itu semua hanya andai yang tak bisa terwujud. Namun, biarkan aku sampaikan lewat doa yang tak pernah lelah kulangitkan.
Tunggu aku di sana, Pa. I do love you, Pa. I do miss you, Pa.
#ElevateWomen