Fimela.com, Jakarta Data GLOBOCAN 2020 menyatakan bahwa angka kematian akibat kanker paru-paru di Indonesia meningkat sebesar 18% menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus. Angka tersebut membuat kematian akibat kanker paru baik di Indonesia maupun di dunia menempati urutan pertama diantara semua jenis kanker.
Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) - Dokter Spesialis Paru Konsultan Onkologi dan Anggota Pokja Onkologi Toraks PDPI mengatakan menuturkan jika saat ini pasien kanker paru-paru terus meningkat setiap tahunnya.
"Kita lihat data kongkritnya saja, di rumah sakit Persahabatan, 5 tahun kebelakang terbanyak mengidap kanker paru-paru dan TBC (Tuberkulosis). Kanker paru pun meningat dratis. Dulu 300-500 jiwa, di tahun 2012 meningkat jadi 1500 jiwa, tahun ini meningkat di atas 1500 untuk khasus baru di satu rumah sakit saja, jadi sangat berkali lipat dari tahun ke tahun," ujar dr. Sita dalam Diskusi Publik #LungTalk secara online.
Ia juga mengatakan angka tersebut didominasi oleh pria perokok aktif. Sedangkan, angka kegawatan untuk perempuan tetap tinggi diposisi lima mengidap kanker paru-paru. Melihat hal tersebut, dapat disimpulkan jika rokok merupakan faktor utama penyebab kanker mematikan ini.
Selain itu perokok aktif, perokok aktif dan risiko pekerjaan seperti bekerja di pabrik semen atau kaca. Jika sudah tahu penyebab utamanya, lebih baik kita menghindarinya untuk mencegah kanker paru-paru.
Selain itu, jika sudah kita berrisiko, dr Diah menyarankan untuk melakukan skrining kanker paru dan deteksi dini kanker paru-paru. Skrining adalah upaya mendiagnosis kanker sebelum terjadi gejala.
Skrining diharapkan dapat dilakukan pada usia dewasa, risikotinggi yaitu riwayat merokok, perokok pasif, atau bekas perokok, riwayat pajanan pekerjaan, riwayat genetik kanker, dan riwayat fibrosis paru.
"Vape juga sama saja menjadi faktor berisiko kanker paru-paru. Bahkan rumah yang masih menggunakan kompor tungku," ujar dr. Sita.
What's On Fimela
powered by
Deteksi dini dengan melihat gejala
Sedangkan deteksi dini adalah upaya untuk mendeteksi kanker dalam stage yang lebih dini, saat terjadi gejala yaitu batuk, batuk darah, sesaknapas, nyeri dada.
Deteksi dini kanker paru-paru hendaknya disatukan dengan program deteksi diniTB paru, sehingga dapat terdeteksi di stadium dini. Skrining dan deteksi dini dapat dilakukan melalui CT scan toraks dosis radiasi rendah (Low-dose CT thorax).
"Jika sudah kedokter namun dua minggu masih bergejala baiknya scan track deteksi kanker paru-paru," paparnya.
Pengobatan kanker paru-paru di Indonesia
Saat ini, akses pengobatan penyintas kanker paru-paru di JKN masih belum merata. Berdasarkan Laporan Keuangan BPJS 2019, hanya 3% dana dari JKN telah dialokasikan untuk pengobatan kanker, termasuk kanker paru.
Saat ini, JKN hanya menjamin pengobatan personalisasi/ inovatif bagi penyintas dengan mutasi EGFR positif. Padahal, hampir 60% dari penyintas kanker paru-paru memiliki mutasi EGFR negatif yang memerlukan pengobatan atau terapi yang lain, seperti imunoterapi, dan belum ditanggung JKN.
“Prevalensi kanker para-paru di Indonesia memang masih tinggi. Akan tetapi, saat ini pengobatan yang bekerja spesifik sesuai tipe kanker paru-paru sudah tersedia baik bagi penyintas dengan Mutasi EGFR positif ataupun negatif sesuai dengan pedoman internasional, termasuk pembedahan, kemoterapi, terapi target dan imunoterapi," ujar dr. Sita.
Berbeda dengan pengobatan yang lain, sistem kerja dari pengobatan imunoterapi langsung menghambat sinyal negatif yang digunakan kanker untuk mengelabui sistem imun tubuh melawan kanker.
Dengan begitu, sistem kekebalan pada penderita kanker akan jauh lebih aktif untuk melawan sel kanker tersebut. Imunoterapi diharapkan dapat menjawab kebutuhan penyintas dan dapat menekan laju pertumbuhan angka beban kanker paru.
“Dengan adanya terobosan dalam penanganan kanker paru, tentu saja saya berharap hal tersebut dapat meningkatkan harapan dan kualitas hidup penyintas kanker paru di Indonesia. Sebab, peningkatan kualitas hidup penyintas kanker paru tidak terlepas dari kemudahan mendapatkanakses dari tahap diagnosis, terapi dan tatalaksana paliatifnya,” tambah Dr. Sita.
Seringkali kanker parparu hanya dikaitkan dengan perilaku merokok, sehingga ada anggapan bahwa upaya peningkatan akses pengobatan (kuratif) kanker paru belum memiliki urgensi seperti upaya promotif dan preventif.
Namun ditemukan sebuah karakteristik unik di daerah Asia Pasifik, termasuk Indonesia, bahwa jumlah non perokok dan perempuan yang didiagnosis dengan kanker paru lebih tinggi dibandingkan dengan tempat lain di dunia (EIU, 2020). Sehingga, kita tidak dapat mengesampingkan pentingnya meningkatkan akses ke pengobatan yang palingdirekomendasikan untuk setiap jenis kanker paru-paru.
#elevate women