Selepas Ibu Wafat, Ayah Berbagi Tugas Domestik Denganku dan Menjadi Penyemangat Terbesarku

Endah Wijayanti diperbarui 23 Nov 2021, 13:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Julita Hasanah

Apa yang biasanya dilakukan seorang Ayah di pagi buta? Masih tertidur pulas di kasur atau duduk santai sambil menyeruput kopi favoritnya ?

Jika pertanyaan di atas ditujukan padaku, jawabannya akan jauh berbeda. Saat matahari masih malu-malu menunjukkan rupanya, Ayahku sedang berdiri tegak di depan wastafel mencuci peralatan makan mulai dari piring, panci, hingga penggorengan.

Semenjak kepergian Ibu tiga tahun lalu, mencuci piring adalah rutinitas yang tanpa absen beliau lakukan di pagi hari. Tak peduli Hari Senin atau Hari Minggu, dengan setia beliau akan mengurus piring kotor tanpa ragu.

Mungkin sebagian orang akan mencemooh diriku, bagaimana bisa anak perempuan membiarkan seorang kepala keluarga berurusan dengan piring kotor. Sejujurnya, aku juga tak nyaman dengan bantuan beliau. Alih-alih menikmati pagi hari berteman koran dan kopi, di usia senjanya Ayah justru membantuku merampungkan tugas domestik.

 

 

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Berbagi Tugas, Bentuk Kasih Sayang dalam Keluarga

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/CandyRetriever

“Ingat ya, semenjak Ibu tidak bersama kita, Ayah dan kamu adalah partner. Kita harus terus bekerja sama supaya kamu, dan adek-adek bisa terus bahagia.”

Itu adalah kata-kata pamungkas yang selalu beliau ucapkan acap kali aku melarang Ayah untuk membantu mengerjakan tugas domestik.

Ayah begitu memahami bahwa pekerjaan mengurus rumah begitu melelahkan, entah mencuci pakaian, menyiapkan sarapan sehat, hingga membersihkan sudut-sudut ruangan. Pekerjaan domestik memang tak ada habisnya.

Bahkan, jika seharian aku harus berada di luar rumah karena urusan pekerjaan, Ayah tak segan untuk turut mencuci pakaian. Akibatnya, tetangga terkadang menertawakannya saat menjemur pakaian di depan rumah.

Hebatnya, Ayah tak pernah merasa “kecil” dengan tawa-tawa itu. Baginya, nilai sebagai seorang kepala keluarga tak lantas terkikis hanya karena menyentuh pakaian kotor.

Ayah percaya bahwa tugas domestik bukan hanya menjadi tanggung jawabku sebagai anak perempuan satu-satunya di rumah. Baginya, membagi tugas dalam keluarga adalah bentuk kasih sayang satu sama lain.

 

3 dari 4 halaman

Ayah Membebaskan Anak Perempuannya Bermimpi Apa Saja

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/sasilsolutions

Di sisi lain, Ayah juga pribadi yang peduli betul dengan karir anak perempuannya. Sedari kecil, aku diajari untuk berani bermimpi. Bahkan, saat duduk di bangku sekolah dasar, aku dengan lantang berkata ingin jadi “pedagang jamu”. Respons Ayah di luar dugaan, beliau bertepuk tangan dengan gembira dan mengatakan pekerjaan tersebut sangat mulia karena bermanfaat bagi sekitar.  

Berkat Ayah, sejak hari itu, aku tumbuh menjadi wanita yang penuh percaya diri, berani, dan mandiri.

Ayah tak pernah mendikte mimpiku, beliau sosok Ayah yang sangat demokratis dan memberikan kebebasan penuh diriku menentukan jalan hidup. Baginya, yang terpenting Aku bahagia dan bisa bertanggung jawab atas pilihanku.

Maka saat diriku berkomitmen untuk menjadi seorang dosen, Ayah adalah orang pertama yang memelukku erat. Dukungan dan doa beliau kemudian membawaku meraih beasiswa studi master.

Aku bersyukur Ayah tak pernah mengekang, atau membatasi diriku untuk tumbuh. Sampai sekarang, Ayah masih terus menyemangati aku agar tak berhenti berproses dan mencoba hal-hal baru.

Energi beliau membawaku menjajaki berbagai peran mulai dari jurnalis sebuah media  online nasional, translator di salah satu perusahaan asing, hingga guru les privat dari pintu ke pintu.

Ayah tak pernah meremehkan peranku, beliau tak mengadili pilihanku dari valuasi ekonomi. Hal tersebut menjadi teladan bagi kami, anak-anaknya, bahwa tidak semua hal di dunia ini yang dapat dinilai dengan uang.

 

4 dari 4 halaman

Ibu Pasti Bangga Melihat Cara Ayah Membesarkan Kami

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/CandyRetriever

Harus diakui, selepas Ibu pergi, kami sekeluarga kehilangan keseimbangan hidup. Tawa renyah Ibu adalah sumber kekuatan kami. Kasih sayang beliau menjadi penghangat jiwa. Bahkan omelan Ibu sehari-hari adalah perekat kami.

Ada masa saat hidup kami runtuh tanpa seorang Ibu. Masa yang begitu kelam, rumah terasa hampa. Tapi Ayah tak kehilangan kekuatan, kasih sayang beliau perlahan membasuh luka anak-anaknya.

Tak hanya lewat kata-kata, tindakan ayah sehari-hari meyakinkan kami bahwa hidup harus terus berjalan apa pun keadaannya. Waktu demi waktu berlalu, luka dan kesedihan kehilangan seorang Ibu tak akan pernah sembuh, namun kini hatiku dan adik-adik jauh lebih tenang.

Terima kasih Ayah, sudah menyayangi kami sedemikian dalam. Terima kasih atas afirmasi positif yang tak henti-hentinya kami terima. Aku percaya, Ibu di sana sangat bangga melihat cara Ayah membesarkan permata hatinya.

Terima kasih selalu memberikanku ruang untuk tumbuh, sesuatu yang amat mahal bagi seorang anak perempuan. Aku janji, Ayah tak akan pernah menyesal sudah menanamkan keberanian dalam diriku.  Aku janji, akan selalu berusaha menjadi mata air bagi sekitar semampuku, sesuai dengan harapan Ayah.

Terakhir, aku pernah membaca sebuah penelitian yang menyatakan bahwa prediktor kesuksesan anak yang sangat menentukan adalah harapan orang tua. Jadi, bagi siapa saja yang hendak dan sedang menjadi Ayah khususnya, aku harap bisa memberikan ruang suportif bagi anak-anaknya, demi kesuksesan dan kebahagian mereka di masa depan.

#ElevateWomen