Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
***
Oleh: Dewi Prabuwati
Aku termasuk anak perempuan yang beruntung, tidak semua anak bisa merasakan kasih ayahnya di waktu kecil. Terima kasih banyak Tuhan sudah memilih aku sebagai salah satu anak yang beruntung tersebut.
Ayah, sosok yang berani berkorban demi keluarganya. Sosok ibu di keluarga kami tidak bisa menjalankan “fungsi” nya sebagai ibu secara sempurna. Jadi dia putuskan buat mengorbankan kariernya demi kami, anak-anaknya. Dia punya tiga orang anak perempuan, aku sendiri si bungsu dari keluarga ini yang akan menceritakan kisahnya.
Menurutnya, tugas seorang ayah bukan hanya memberikan materi buat anak-anaknya, tapi juga menemani, membimbing, dan menjaga anak-anaknya. Bapak, begitulah kami memanggil sosok kuat ini. Dia selalu membawa kami melihat, merasa, dan mencoba hal baru. Bapak juga bukan orang yang otoriter, dia membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya masing-masing asalkan bisa dipertanggungjawabkan.
Pesan Bapak yang selalu terngiang di kepalaku adalah, “Jadi manusia yang mandiri Wi, jangan gantungin hidupmu ke siapa pun.” Saat itu, 9 tahun yang lalu. Aku baru pulang dari perayaan kelulusan SMA-ku, Bapak menunggu di depan rumah aku kabarkan kabar bahagia bahwa aku diterima di salah satu universitas negeri yang ada di Kota Bogor tanpa tes.
Selama 18 tahun aku hidup dengan beliau, baru pertama kali aku melihat Bapak menangis. Tidak seperti orang tua kebanyakan yang mengkhawatirkan anak bungsunya hidup sendiri di luar kota, Bapak malah mendukungku agar bisa mulai belajar hidup mandiri.
Aku lupa jika Bapak makin menua. Kupikir Bapak akan baik-baik saja karena aku menilai Bapak sebagai sosok yang kuat. Sampai saat aku tahu bahwa satu-persatu penyakit mulai menjangkiti badannya.
Ayah yang Kukenal sebagai Sosok Kuat
Tahun 2019, Bapak harus merelakan salah satu kakinya diamputasi karena penyakit diabetes yang dideritanya, ini merupakan pukulan telak baginya karena Bapak tidak mampu lagi menjalankan hobinya. Tapi yang ada di pikiranku, “Ah Bapak pasti kuat.”
Tahun selanjutnya, 2020 Ibu meninggal. Pukulan lagi buat Bapak. Aku masih berpikir jika beliau masih kuat. Bapak sama sekali tidak membagi perasaannya kepada anak-anak, teman-teman, maupun saudaranya.
Aku dengan egois tetap bekerja di luar kota setelah semua kejadian itu. Beberapa kali aku menawarkan diri untuk pulang, merelakan karier untuk menjaga Bapak, tapi beliau selalu bilang, “Nggak usah, kejar dulu kariermu.” Ternyata kata-kata itu hanya pemanis agar anak-anaknya tidak terbebani karena dirinya.
Sampai akhirnya tahun ini Bapak meninggal karena covid-19. Memori terakhirku dengan Bapak adalah melihat, Bapak, sosok kuat itu sudah nggak sadarkan diri, napasnya udah berat. Hati rasanya hancur, sadar sebentar lagi akan berpisah. Waktu melihat itu aku cuma bisa pasrah dan menyesal.
Doa pun udah mulai berubah dari “Mohon angkat penyakitnya” jadi “Mohon percepatlah biar Beliau tidak merasa sakit yang berkepanjangan.” Maafkan aku Pak, maafkan belum bisa jadi anak yang baik buat Bapak, belum bisa maksimal menjaga Bapak, belum bisa memberi banyak waktu buat Bapak.
Tapi Bapak nggak usah sedih di sana, Bapak bukan bapak yang gagal, tugas Bapak sudah selesai. Anak-anak Bapak sudah bahagia di jalannya masing-masing. Seperti pesan Bapak kami semua sudah mandiri dan bisa bertanggung jawab sama pilihan hidup kami. Semoga kami bisa sekuat dirimu.
Sekarang Bapak nikmati saja “pensiun” abadi di sana, kami di sini selalu mendoakan Bapak. Terima kasih banyak, Bapak.
#ElevateWomen