Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
***
Oleh: Resti Siti Noorlaila
Tidak semua perempuan menganggap Ayah adalah cinta pertama mereka. Tidak semua se-beruntung itu. Beberapa ditakdirkan justru terluka atau memiliki kenangan-kenangan buruk. Atau bahkan tidak memiliki kenangan sama sekali. Aku adalah salah satu dari mereka yang tidak beruntung.
Aku tidak seperti yang lain –yang terlihat begitu mencintai Ayah mereka. Alih-alih sebagai cinta pertama, Ayah justru menjadi pria pertama yang melukai perasaanku. Bukan cuma diriku, tetapi seluruh keluarga. Aku selalu canggung dan tidak pernah merasa nyaman bersamanya. Bisa dibayangkan hari-hariku bersama beliau dalam satu atap? Jelas bukan sesuatu yang bisa kubanggakan.
Kisah menyedihkanku dimulai ketika beranjak remaja. Tidak pernah kusangka beliau mengkhianati Ibu demi perempuan lain. Beliau mengkhianati kami semua dengan pernikahan kedua.
What's On Fimela
powered by
Ayah Bukan Cinta Pertamaku
Jangan ditanya bagaimana keadaan rumahku selama rentang waktu dari Ibu mulai mengetahui kebohongan itu sampai akhirnya Ayah mengakui pernikahan keduanya. Bersyukur aku tidak gila. Bersyukur aku masih jadi anak baik yang tidak macam-macam dengan alkohol atau obat-obatan. Bersyukur Ibu masih waras. Bersyukur pula kami semua dapat melewati masa-masa kelam itu, meski harus jatuh bangun, penuh luka dan airmata.
Ibu tidak pernah meminta perceraian. Beliau kuat sekali. Aku heran dari apa hatinya terbuat. Sebagai seorang perempuan, aku merasa hancur sekali. Melihat Ibuku sendiri diperlakukan begitu kasar dan seperti direndahkan oleh Ayahku sendiri. Jadi, bagaimana bisa aku menganggap Ayah adalah cinta pertamaku? Beliau justru adalah lelaki jahat pertama yang hadir dalam hidupku.
Aku tidak pernah menghitung berapa kali melihat Ibu menangis. Yang pasti sering sekali. Aku sering dengar Ayah membentak dan mendorong Ibu. Aku pernah tergopoh-gopoh datang ketika Ayah tiba-tiba terjatuh dari motor selepas bertengkar dengan Ibu.
Aku pernah sekali menemui Ibu yang mencoba kabur dari rumah membawa adikku yang masih balita. Aku sering pulang ke rumah dengan keadaan barang-barang berantakan dan lantai dipenuhi serpihan gelas atau piring. Rumah bukan menjadi tempat nyaman bagiku. Dan juga, Ayah bukanlah seseorang di mana aku merasa nyaman bersamanya. Bagiku, beliau seperti monster.
Tetapi di luar semua itu, sang monster tetaplah memenuhi kewajibannya. Ayah tidak pernah absen pada hari pembagian rapot. Tidak pergi ketika aku memerlukannya untuk urusan administrasi perkuliahan. Beliau ada ketika aku wisuda.
Jika bicara tentang uang, beliau selalu mencukupi kami semua. Tetapi kebahagiaan tidak melulu tentang uang kan? Kadang aku iri bagaimana teman-temanku bisa bersandar nyaman dan bercerita kepada Ayah mereka. Kadang aku hanya bisa tersenyum getir jika teman-temanku membanggakan keromantisan kedua orangtua mereka. Kadang aku menangis, alih-alih mengucapkan selamat Hari Ayah dan merayakannya. Karena bagiku, Ayah kebanyakan menorehkan duka daripada suka. Aku lebih sering terluka ketimbang bahagia.
Jika ditanya, apakah aku membenci beliau? Ya, tentu saja. Bagaimana bisa tidak? Lalu, apakah aku menyayangi beliau? Ya juga. Perasaan ini sungguh rumit. Ada bagian dari diriku yang sungguh membenci beliau. Namun, sebagian diri lainnya masih mengkhawatirkan dan menyayangi beliau.
Aku tidak bisa melupakan perlakuan jahatnya kepada kami semua, tetapi aku masih menghormati beliau selayaknya seorang Ayah. Aku peduli padanya. Aku sering menyuguhkan segelas kopi jika Ibu sedang sibuk. Sesekali kuambilkan handuk jika beliau kelupaan dan sudah berada dalam kamar mandi. Dan, jika menyangkut soal doa, aku tidak pernah lupa melakukannya selepas beribadah. Beliau selalu ada dalam doaku. Setiap hari.
Tetap Menghormati Ayah
Jika aku harus menulis surat untuk Ayah, mungkin beginilah isinya.
Ayah, terima kasih sudah mengajarkan terluka duluan sebelum ada lelaki yang melukaiku. Ayah, terima kasih sudah membuatku kuat dengan semua pengalaman pahit yang kau berikan dalam hidupku.
Apakah aku menyesal menjadi anak dari Ayah? Ya, aku menyesal. Aku berharap Tuhan seharusnya lebih baik padaku dengan memberikan Ayah yang sempurna. Tetapi sudahlah, ini sudah takdir. Mau bagaimana lagi. Tetapi Ayah, meski kau begitu jahat, kau tetap Ayah yang baik.
Kau sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai Ayah, termasuk menjadi wali pernikahanku. Kau tetap berusaha menjadi seorang mertua dan kakek yang baik. Meski aku masih terluka karenamu dan belum sepenuhnya memaafkanmu, aku masih menyayangi dan akan seterusnya begitu.
Ini mungkin terlambat, tetapi aku masih berharap kau akan kembali pada kami. Sepenuhnya. Aku masih berdoa suatu hari nanti kau tidak akan pernah pergi. Menikmati waktu pensiunmu dengan nyaman dan tenang bersama cucu-cucumu yang menggemaskan. Menghabiskan masa tua dengan berkebun seperti yang selalu kau impikan.
Jika memang hal itu tidak terjadi, setidaknya aku pun ingin memaafkanmu sepenuhnya. Jika memang ini takdirku, Ayah, aku ingin bisa ikhlas menerima keadaanmu. Aku ingin mencintaimu tanpa perlu membencimu lagi. Karena bagaimanapun juga, kau tetaplah Ayahku.
Bagi orang-orang yang memiliki Ayah sempurna, berbahagialah. Bersyukurlah. Itu adalah salah satu anugerah terindah. Jika aku saja yang begini masih mampu menghormati dan menyayangi Ayahku, seharusnya kalian juga begitu. Bahkan bisa melakukan lebih. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi sebelum terlambat, tunjukkanlah kalau kalian mencintai Ayah kalian.
#ElevateWomen