Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
***
Oleh: Intan Sofia Novianti
Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan, seharusnya. Namun sejak kecil sosok itu hilang. Bukan meninggal. Ia ada, ia tidak pergi ke mana-mana.
Saat umurku berusia lima tahun, aku sering sakit dan terpaksa diajak kakek dan nenek tinggal di kampung, di mana udaranya lebih segar dan sejuk. Sejak itulah aku berpisah dengan ayah. Sebab aku masih kecil, aku pun tidak protes hidup bersama kakek dan nenek yang sangat menyayangiku. Beberapa bulan berselang, mama dan adikku pun ikut menyusulku ke kampung. Kami mulai hidup bersama sama di kampung, tanpa ayah.
Mereka bilang ayah bekerja di kota. Ayah pun pulang sebulan sekali. Ia amat pendiam. Seingatku, ia tidak pernah menasihatiku atau pun menanyakan bagaimana sekolahku. Sepanjang hidupku ayah belum pernah datang ke sekolah saat rapat orang tua murid. Aku bahkan disangka tidak memiliki ayah.
What's On Fimela
powered by
Tidak Merasakan Kehadiran Ayah
Waktu berjalan begitu cepat, atas izin-Nya aku selalu juara kelas sejak SMP dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di universitas negri di kota Bandung. Semasa sekolah pun aku rajin mengikuti berbagai organisasi dan kegiatanku sangat beragam. Sosok ayah yang jarang hadir dalam hidupku, tidak terlalu bermasalah rasanya.
Awalnya ayah pulang sebulan sekali, lama-lama dua bulan sekali dan akhirnya enam bulan sekali. Sosoknya kian hilang dalam hidupku. Aku pun tidak memiliki contoh bagaimana sebuah rumah tangga yang utuh. Aku hanya memperhatikan kakek dan nenek. Bagaimana nenek menjadi seorang istri dan ibu, tetapi ada sebuah rahasia yang nenek ceritakan. Kakek pernah menghilang 17 tahun saat anak-anak nenek kecil.
Deg, jantungku berdebar terasa tidak beraturan. Hatiku berbisik, berarti mamahku pun hidup tanpa sosok ayah di masa kecilnya. Ada rasa khawatir menelusup ke dalam jiwaku, tetapi tidak terlalu aku pedulikan. Suatu hari mamah pergi menyusul ayah, didapatinya ayah telah menikah lagi di sana. Pertengkaran pun tak dapat dihindari, hatiku bimbang, apakah yang salah mamah atau ayah. Setelah itu, sempat tidak ada komunikasi antara mamah dan ayah dalam beberapa waktu.
Hidup pun berlanjut, aku masih tinggal dengan kakek, nenek, adikku dan mamahku. Tibalah saat aku diwisuda, betapa sangat menyedihkan bagiku, ayahku tidak hadir saat momen penting itu. Aku menangis di tengah keramaian dan hiruk pikuk para wisudawan yang berfoto bersama kedua orang tua dan keluarga mereka.
Lengkap sudah sepanjang aku sekolah hingga diwisuda, Ayah tak datang. Buru-buru kuusap dadaku dan menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Aku sangat merindukan sosok ayah.
Sebuah episode baru dimulai, ada seseorang pria yang melamarku. Ia bekerja di sebuah Instansi Non Pemerintah di Kota Jakarta. Saat itu aku pun belum memutuskan bekerja atau melamar kerja. Di tengah kegalauan, dan kerinduan sosok ayah, kuputuskan menerima lamarannya. Aku berharap, dari pria itu lah aku bisa mendapatkan kasih sayang laki-laki.
Ayah datang saat pernikahanku, tentu saja itu wajib karena ia harus menjadi wali nikah. Saat itu rasanya aku ingin bertanya kemana selama ini sosoknya. Saat mengucapkan Ijab Qobul, ada rasa terharu, tetapi ada kekosongan pula di dalamnya.
Ayah tidak mengatakan apa pun kepada pria yang menikahiku. Ia bahkan tidak menitipkan aku padanya. Rasanya aku ingin mengguncangkan tubuh ayah dan bertanya, apakah aku berarti dalam hidupnya?
Pernikahanku yang Kandas
Takdir berkata lain, setelah lima tahun berjalan, pernikahanku kandas di pengadilan agama. Pria itu memilih wanita lain dan meninggalkan aku dan anak perempuanku. Aku kembali ke kampung membawa kesedihan, aku merasa kembali ke titik nol. Aku merasa tidak berguna saat itu. Walau aku tergolong pintar dan cerdas, namun hatiku rapuh.
Masih terngiang-ngiang ucapan pria itu kepada mamah, “Bu, saya mengembalikan Intan sama ibu, saya tidak bisa melanjutkan pernikahan lagi.” Kalimat yang sangat menyakitkan itu, masih kuingat.
Sebulan berselang, aku pun pergi ke kota ayah tinggal. Di sana aku memeluk ayah menangis dan mencurahkan semua rasa di dalam dada. “Ayah, aku gagal, Yah.“ Sosok cinta pertamaku itu hanya tersenyum sedih dan bertanya balik, “Ya harus bagaimana lagi?”
Pertemuan itu tidak terlalu berkesan, aku kecewa. Namun, anehnya aku tidak membenci ayah. Selama beberapa tahun berikutnya, saat aku hidup sebagai single parent aku sering menangis. Aku takut menikah lagi, aku tidak memahami seperti apa laki-laki. Ayah tidak pernah memberikan pengetahuan tentang apa pun tentang hidup.
Di hari ayah ini, aku sangat merindukan ayah. Aku memaksa pikiranku untuk mencari momen indah bersama ayah. Mungkin itu saat aku baru dilahirkan atau saat aku balita. Bagaimanapun juga salah satu perantara kita bisa hidup di dunia ini adalah ayah dan ibu kita. Semoga ayah sehat selalu di sana.
Selamat Hari Ayah, I love you Ayah.
#ElevateWomen