Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
***
Oleh: Puspita A
Bah, belum genap dua taun babah pergi tapi hati ini masih tetap sakit, rasanya masih belum bisa merelakan kepergianmu. Masih sangat jelas kuingat, jaman sekolah SD dulu, kamulah yang selalu antar aku dengan motor bebek merahmu. Bahkan sampai aku kerja, kamu masih bersikap seolah aku masih gadis kecilmu, kau antar aku, jemput aku dengan motor vespamu.
Bahkan ketika aku pergi training kenaikan jabatan ke luar kota, kamu yang antar aku ke kantor pusat, kamu tunggu aku di gerbang sampai semua trainer masuk kamu masih menungguku, kamu pergi setelah pintu kantor ditutup dan aku masih ingat mereka yang bertanya, "Siapa tadi yang diantar ayahnya?" Sejenak aku malu karena sudah umur 20 tahun aku masih diantar kesana kesini olehmu.
Sampai senior itu bilang, "Seneng banget ya ayahnya masih ada, beruntung banget ayahnya masih bisa antar-antar sana sini, deket banget sama ayahnya, saya iri. Saya nggak bisa deket sama ayah." Seketika aku tersenyum dan berpikir keras kenapa aku harus malu?
Betapa beliau membanggakan anak perempuan satu-satunya si bungsu yang sudah bisa menjadi tim managerial di umur 20 tahun. Cek gaji pertama sebagai managerial dengan beliau, ketika di cek gaji itu bertambah, merekahlah senyum beliau. Terpancar kebahagiaan begitu tahu anaknya bisa mencari uang sendiri meskipun beliau tahu, aku masih ingin mencapai cita-cita kuliah di luar negeri dengan beasiswa, ya meskipun sampai saat ini cita-citaku belum tercapai.
Sampai ketika umurku 24 tahun, ayahku berhenti antar jemput aku. Bukan karena tak mau, tapi karena tak mampu, umurnya yang sudah kepala 7 sudah tak bisa bawa kendaraan sendiri. Setiap berangkat dan pulang kerja, beliau selalu duduk di kursi depan melihatku berangkat dan menungguku pulang.
Hingga suatu saat aku ingin melanjutkan apa yang aku cita-citakan, kuliah lagi, dengan beasiswa ke Jerman yang selalu aku impikan, tapi dengan tegas beliau menolak. Tak mau dia jauh dari anak gadisnya, hingga aku bekerja di perusahaan lain dengan gaji yang lebih baik.
Aku berjanji pada diriku sndri untuk membahagiakannya, untuk selalu berjanji jangan sampai mereka kekurangan, bahkan dalam candaan kami aku selalu bilang,"Bah mau naik haji?" Beliau menjawab, mau lah, masa nggak mau," dan aku dengan percaya dirinya menjawab, "Doakan ya, nanti kalau aku punya uang aku naikin haji mamah sama babah, nanti rumah di pinggir rumah kita, aku beli, terus kita bangun jadi gede, biar nanti nggak usah ada drama rumah bocor lagi." Sambil tertawa dia bilang, "Haha, iya iya amin."
Akhirnya aku nikah punya anak, masih teringat jelas genangan air mata itu yang sudah menetes dan tak tega aku melihatnya. Aku resign dari pekerjaanku karena suami yang tidak mengizinkan, meski aku tahu mama dan babah setengah tidak setuju dengan pendapat itu, bukan karena mereka ingin uangku, tapi karena mereka tahu itu adalah hasil kerja keras dan perjuanganku.
Hingga babah jatuh sakit parah. Aku hanya bisa menangis karena tak bisa selalu menemani tiap malam di sisinya, tak bisa membantu biaya perawatannya. Aku menganggap aku ini tidak berguna.
Hingga suatu hari saat badan subur itu hanya tersisa sedikit daging, kulit keriput dan tulang, aku menangis dan berdoa kepada Tuhan. Kenapa Tuhan memberikan cobaan ini kepada kami?
Aku ingin ayah sembuh, aku ingin hidup lebih lama dengan beliau, aku ingin penuhi janjiku padanya, tapi Tuhan berkehendak lain. Hari itu, hari saat beliau meninggalkan kami semua, beliau selalu memanggilku, beliau ingin aku peluk, hingga aku rasakan tangannya menggenggam erat tanganku seolah tak ingin lepas.
What's On Fimela
powered by
Hidupku setelah Kepergian Abah
Bah, aku tahu kamu sudah tak sakit lagi, tapi aku masih sakit. Maafkan karena sampai saat ini aku masih blum bisa menepati janji itu, aku masih belum menemukan kebahagiaan itu.
Bah, doakan selalu aku diatas sana, selalu bimbing aku agar aku menemukan kebahagiaan itu, bantu aku mencapai impian itu, apakah harus aku mengejar mimpi tertunda itu? Atau haruskah aku pasrah dengan takdir ini?
Bah, sejak kepergianmu, hidupku semakin berat, bebanku semakin bertambah. Akan tetapi percayalah, cobaan ini membuatku semakin kuat, jatuh bangun aku ini membuatku semakin tahu apa yang membuatku berarti dan siapa yang menganggapku berarti.
Bah, hari-hari ini terasa sulit untukku tapi aku tahu aku mampu. Jika suatu saat aku bisa memenuhi janji itu, bantu aku untuk merelakan kepergianmu, bantu aku untuk merelakan anak-anakku tak mengenali babah mereka yang baik, yang selalu menanti hadirnya mereka.
Bah, meskipun aku tahu berat untukku, aku akan berusaha mencapai impian itu, aku akan berusaha menepati janji itu meskipun entah kapan akan terwujud.
Bah, rindu hati ini bukan hanya untuk hari ini saja, rindu ini selalu ada setiap waktu. Doamu selalu menyertaiku, setiap langkahku yang terasa berat kelak akan lebih ringan. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk kehidupanku yang lebih baik, tapi aku akan mencoba berusaha lebih baik untuk memperbaiki kehidupanku.
Bah, terima kasih telah menjadi ayah hebatku. Jika kesempatan itu ada, aku tidak mau menjadi anak orang lain, tidak apa-apa kita miskin tapi hati kita kaya dengan keluarga yang bahagia seperti dulu.
#ElevateWomen