Mengobati Rasa Kecewa dengan Memaafkan, Luka Hati pun Perlahan Sembuh

Endah Wijayanti diperbarui 13 Nov 2021, 13:46 WIB

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: Monica Petra Karunia

Saya adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga yang hebat dan ayah saya adalah seorang pelaut. Ayah saya bekerja jauh dari rumah. Beliau jarang pulang. Waktu saya kecil, saya ingat ayah saya pulang seminggu sekali karena waktu itu bertugas di Surabaya, sementara kami tinggal di Solo. Jadi beliau hanya pulang setiap akhir pekan.

Jadi sewaktu saya kecil, saya tidak mengingat banyak kenangan bersama ayah saya. Tapi ada satu peristiwa yang saya ingat terus hingga sekarang: waktu saya tertidur di depan televisi dan ayah saya menggendong saya masuk ke kamar. Saya yang tertidur jadi terbangun tapi saya tetap berpura-pura tidur.

Seiring berjalan waktu, ayah saya tugasnya makin jauh. Tidak lagi di luar kota, luar propinsi tapi luar pulau. Tempat tugas beliau yang terakhir, sebelum pensiun adalah di pelabuhan Merak-Bakaheuni. Dan pulangnya bisa sebulan sampai tiga bulan sekali.

Dalam waktu itu, banyak hal terjadi. Sempat ada telepon ke rumah yang mengatakan kalau ayah saya selingkuh dan itu membuat ibu saya ingin bercerai. Keadaan rumah tidak terlalu baik waktu itu. Saya masih SMP. Namun, seiring berjalan waktu tidak terbukti apa-apa dan sampai sekarang kami tidak tahu apakah beliau benar-benar berselingkuh atau tidak.

 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Kini Mulai Memperbaiki Hubungan dengan Ayah

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Chaninnon

Waktu saya SMA, saya pernah menang lomba menulis sinopsis di salah satu stasiun TV. Saya memberitahu pada ibu, dan ibu memberitahu pada ayah. Waktu itu, saya ingat raut muka ayah saya awalnya tidak terlalu senang ketika ibu menyebut nama saya. Sebenarnya saya agak sakit hati, seolah berita tentang saya tidak baik. Tapi saat beliau tahu saya berprestasi, beliau tidak jadi marah.

Ketidakhadiran figur seorang ayah di masa kecil dan remaja saya tentu cukup berdampak. Saya tidak dekat dengan beliau, tidak mengenal beliau, dan saya takut berada dekat beliau. Itu yang saya ingat. Ada masa saya makan sambil menangis karena ayah saya marah pada saya tapi tidak menyampaikannya, justru menyampaikannya pada ibu saya.

Setelah ayah pensiun dan sekarang hanya ada di rumah, kami mulai bisa memperbaiki hubungan. Walau kami tetap tidak dekat, apa pun yang sudah terjadi di masa lalu, saya memaafkan ayah saya. Dan di atas segalanya, saya memiliki respek terhadap beliau. Karena beliau adalah seorang ayah dan suami yang luar biasa. Beliau mencukupkan semua kebutuhan kami.

Beliau sudah berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia, sebaik-baiknya ayah dan suami. Walau kami sering tidak puas dengan apa yang ayah lakukan. Sampai hari ini, saya tahu saya belum bisa dan tidak akan bisa membalas kedua orang tua saya, tapi setidaknya saya ingin orang tua saya hidup dengan nyaman.   

#ElevateWomen