70 Persen Kasus Kanker di Indonesia Didapati pada Stadium Lanjut

Hilda Irach diperbarui 04 Nov 2021, 13:40 WIB

Fimela.com, Jakarta Kanker masih menjadi momok menakutkan oleh masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data dari WHO tahun 2018, kanker menjadi penyakit tidak menular dengan angka kematian tertinggi kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah.

Penyakit kanker juga menjadi beban kesehatan di seluruh dunia, baik dalam hal pembiayaan skrining, beban terapi, dan rehabilitasi akibat kanker yang menyerap dana cukup besar.

“Sebanyak 25-30% dana terbesar BPJS terserap di penyakit katastropik, kanker merupakan terbesar kedua yaitu 18%.  Oleh karena itu, diperlukan konsep pelayanan kanker yang cost-effective dan terstandarisasi mengikuti patient safety,” ujar Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM,FACP, Ketua Umum YKI Pusat dalam webinar, Kamis (4/11/2021).

2 dari 4 halaman

Tingginya kasus kanker stadium lanjut

Berdasarkan data yang dihimpun YKI, 70 % kasus kanker di Indonesia didapati pada stadium lanjut. (pexels/anna tarazevich).

Ketua Panitia Diskusi Nasional Yayasan Kanker Indonesia (YKI), dr. Awal Prasetyo, M.Kes, Sp.THT-KL, MARS, mengatakan, tantangan besar dalam penanggulangan kanker di Indonesia saat ini adalah semakin meningkatnya jumlah penderita kanker di Indonesia dan tingginya kasus kanker stadium lanjut saat pertama kali terdiagnosis.

Berdasarkan data yang dihimpun YKI, 70 % kasus kanker di Indonesia didapati pada stadium lanjut. Akibat hal itu, insidensi kanker diprediksi WHO akan meningkat 21% pada tahun 202 dan 2040, dan mortalitas kanker juga diprediksi akan meningkat 32%.

Menurut dr. Awal, hal ini disebabkan oleh rendahnya upaya skrining dan deteksi dini. Dia mengatakan ada beberapa jenis kanker yang bisa dicegah, namun ada pula beberapa jenis kanker yang perlu sulit dideteksi.

“Contohnya kanker paru-paru, salah satu cara deteksi kanker paru adalah tidak cukup dengan foto tetapi harus dengan lotus ct-scan, dan ini tidak ditanggung biayanya oleh pemerintah melalui BPJS. Nah inilah mengapa akses deteksi dini ini harus dibuka seluas-luasnya supaya tidak bertemu pasien di stadium lanjut,” kata dr. Awal.

“Karena jika sudah di stadium lanjut, biayanya semakin mahal dan kualitas hidupnya tidak baik. Memang ini seperti keluar biaya di awal, tetapi ini jadi tindakan pencegahan agar tidak terkena stadium lanjut,” lanjutnya.

3 dari 4 halaman

Akses pelayanan kesehatan Indonesia masih tertinggal

Berdasarkan data yang dihimpun YKI, 70 % kasus kanker di Indonesia didapati pada stadium lanjut. (pexels/anna tarazevich).

Selain itu, dr. Eko Adhi Pangarsa, Sp.PD-KHOM, Ketua YKI Koord. Jawa Tengah menjabarkan, beberapa faktor penyebab tingginya kasus kanker stadium lanjut di Indonesia, salah satunya akses pelayanan kesehatan Indonesia masih tertinggal di Indonesia/

“Beberapa permasalahan yang ada saat ini, antara lain akses pelayanan kesehatan di  Indonesia masih tertinggal di Asia salah satunya dengan jumlah 1.18 tempat tidur per 1.000  penduduk dibandingkan negara lain sebanyak 3.3 tempat tidur per 1000 penduduk. Dari data yang

ada terjadi pengeluaran dana sebesar 11,5 miliar USD ke luar negeri untuk pengobatan dan kanker  merupakan alasan kedua WNI berobat ke LN,” terangnya.

dr. Awal juga menambahkan, belum adanya regulasi tentang sistem atau konsep pelayanan kanker yang terstandar atau berkualitas yang sama dengan yang ada di luar negeri juga menjadi tantangan terbesar dalam penanggulangan kasus kanker stadium lanjut

“Perlu adanya regulasi yang menekankan integrasi upaya preventif promotif. Upaya  kuratif dan rehabilitasi yang dikelola secara komprehensif dalam suatu tata aturan yang  orkestrasinya bisa dimainkan dengan indah demi patient safety yang multidimensi di Indonesia,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Pemerintah berperan penting

Berdasarkan data yang dihimpun YKI, 70 % kasus kanker di Indonesia didapati pada stadium lanjut. (pexels/klaus nielsen).

Untuk menanggulangi tingginya kasus kanker stadium lanjut, dr. Eko mengatakan peran serta Pemerintah Pusat sangat diperlukan, antara lain dengan membentuk regulasi-regulasi yang mengatur sistem kerja tata kerja organisasi penyelenggara layanan kesehatan  kanker, tatakerja dalam organisasi profesional pemberi layanan, serta untuk membentuk sebuah  badan negara pengendalian kanker nasional sesuai rekomendasi WHO dengan program National  Cancer Control.

“Selain itu perlu  adanya pengembangan jejaring atau stratifikasi layanan kanker menuju terciptanya sistem jejaring  kanker nasional yang optimal, komprehensif, dan cost effectiveness,” katanya.

Selain pemerintah pusat, peran pemerintah daerah juga diperlukan dalam membuat kebijakan dan strategi  pengendalian kanker, berupa pencegahan dan penanggulangan penyakit kanker melalui peningkatan  upaya skrining dan deteksi dini dan penguatan fasilitas kesehatan yang mampu memberikan layanan kanker.

“Upaya penguatan deteksi dini ini harus kita pikirkan, sehingga minat masyarakat juga makin  tinggi untuk melakukan screening dan deteksi dini,” terangnya.

“Pemerintah diharapkan mendukung peran besar komunitas pasien kanker, yang terlibat langsung  dalam pengendalian kanker di Indonesia di tingkat masyarakat, dengan 3 area kerjanya yaitu:  Pendampingan pasien, Edukasi masyarakat yang bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kanker, penyampaian aspirasi untuk perbaikan pelayanan kanker pada pihak yang terkait,”

“Orkestrasi semua stakeholder ini sangat penting, sehingga kita mampu menurunkan angka kejadian/fatalitas serta memperbaiki angka harapan hidup penderita kanker di negara kita,“ tambahnya.

 

#Elevate Women