Sebagai Perempuan Sulung, Aku Ikut Bahagia Bantu Wujudkan Impian Adikku

Endah Wijayanti diperbarui 02 Nov 2021, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh: Y

Aku berasal dari Pulau Bangka. Pulau yang katanya identik dengan kerupuk dan pesona pantainya dengan air kebiruan yang sangat menyejukkan mata yang memandang. Aku terlahir dari keluarga kecil yang sederhana dan bahagia.

Di rumah, kami hanya tinggal berempat yaitu ibu, ayah, adik, dan aku. Ayah yang punya sifat pemarah, keras kepala, sedikit egois menurutku tapi bertanggung jawab dan penyayang. Ibu yang cerewet, suka mengatur tapi pemaaf, dan penuh kasih. Adik yang suka menang sendiri, mencintai kebersihan, dan  pintar dalam bidang akademis.

Di sini, sosok adik kandungku satu-satunya itulah yang ingin kuceritakan. Aku yang lebih tua ketimbang adik selalu dituntut untuk selalu mengalah meskipun terkadang sifat adik yang egois dan terkesan perfeksionis membuatku kesal. Mengingat waktu dulu ketika masih kecil terkadang membuatku tersenyum sendiri. Aku yang mudah tersinggung dan adik yang kekanak-kanakan sering sekali bertengkar karena hal-hal kecil dan membuat mama marah.

Aku ingat sewaktu masih duduk di bangku SD, sama seperti anak SD lainnya kami sering memperebutkan hal-hal yang tidak begitu penting seperti remote tv, makanan, maupun mainan. Bahkan tidak jarang kami saling melempar dan membanting barang-barang pribadi sebagai luapan kemarahan kami. Bahkan adik pernah menendangku hingga kepalaku terbentur lemari dan berdarah. Seperti biasa, jika itu terjadi maka mamalah yang paling dibuat pusing. Kami ibarat kucing dan anjing yang pada dasarnya saling menyayangi tapi entah kenapa tak pernah bisa akur.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Untuk Adik Tercinta

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Menginjak usia remaja, adik sepertinya senang sekali meniru apa pun yang kulakukan bahkan apa pun yang kupakai. Sebagai contoh, dia memakai bedak dan parfum dari brand yang sama denganku. Makanan dan minuman favorit yang sama denganku. Bahkan memiliki hobi membaca dan menulis yang sama denganku.

Tapi satu hal yang membuatku takjub adalah dia memiliki impian yang sepertinya jauh lebih besar dariku. Satu kalimatnya yang tidak akan pernah bisa kulupakan adalah ketika mama dan para tetangga mengatakan bahwa seorang anak gadis, kuliah pun percuma kalau ujung-ujungnya masuk dapur juga, dan adik pun mengatakan, “Mungkin perkataan itu memang benar tapi ketahuilah bahwa dapur orang berpendidikan sangat jauh berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan.”

Ayah yang mengetahui keinginan adik untuk menempuh jalur perguruan tinggi pun sempat menanyakan dia lebih memilih untuk kuliah atau biaya kuliahnya diganti dengan membangun sebuah rumah baru untuk kami karena terus terang rumah yang saat itu masih kami tempati sudah tidak layak huni lagi. Dan aku masih ingat betul kalau waktu itu dengan berat hati adik pun mengatakan kalau dia merelakan uang tabungan papa untuk membangun sebuah rumah baru untuk kami. Kupikir dengan bicara seperti itu dia sudah tak berniat lagi untuk kuliah. Ternyata dugaan kami salah. Aku sempat membaca di buku catatan hariannya kalau dia masih memiliki harapan untuk kuliah. Adikku menyimpan keinginannya rapat-rapat.

Lulus dari SMK, dia langsung mencari kerja. Selama satu tahun bekerja di sebuah toko Pecah Belah dan setiap hari menabung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Adikku sangat hemat dan bahkan terkesan pelit. Diam-diam, aku dan papa berniat untuk menyekolahkan adik ke perguruan tinggi. Dengan tabungan yang tersisa, kami mendaftarkan dia ke salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Adik sangat gembira dengan rencana ini.

Tapi bukan kehidupan namanya jika terlepas dari masalah. Di saat yang hampir bersamaan, mama divonis dokter menderita penyakit kista dan harus segera dioperasi demi keselamatan nyawanya. Tante dari Jakarta bahkan menyarankan agar uang untuk mendaftarkan adik ke perguruan tinggi dipakai untuk biaya pengobatan mama. Gajiku yang tidak seberapa dan himpitan hidup yang semakin berat membuatku mengiyakan meskipun dalam hati, apa pun yang terjadi kuliah adik tidak boleh ditunda lagi tahun ini karena dia sudah menundanya selama satu tahun untuk bekerja mengumpulkan uang semester.

Tapi aku tahu Tuhan tak pernah tidur. Doa dan usaha telah membawa kami pada satu titik cerah. Entah keajaiban dari mana, papa yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh harian mendapatkan begitu banyak job, dan penyakit mama pun semakin hari semakin membaik. Dan akhir yang diharapkan pun tiba, kami berhasil mendaftarkan adik ke salah satu universitas Khatolik di Jakarta dengan jurusan Ilmu Komunikasi.

Di awal-awal semester, adik sudah menunjukkan bakatnya. Meraih IP semester yang rata-rata diatas 3,6. Setelah melewati proses perkuliahan 3,5 tahun, adik lulus dengan predikat cumlaude. Suatu prestasi yang membanggakan mengingat cibiran dari tetangga maupun saudara-saudara dari pihak papa yang selalu bilang kalau anak gadis kuliah itu percuma. Tapi adikku tersayang, ketahuilah bahwa ini bukanlah akhir. Malah menurutku ini merupakan awal. Dan kamu sudah mengawalinya dengan sangat baik.

Meskipun masih terlalu dini untuk bilang kalau “dirimu membuatku bangga,” disadari atau tidak - aku kakakmu satu-satunya yang tidak pernah akur denganmu sejak kecil, selalu membanggakanmu di depan teman-temanku.

Sejujurnya, jauh sebelum kamu menyampaikan keinginanmu untuk kuliah aku sudah terlebih dulu berniat untuk itu tapi karena keterbatasan biaya dan rasa sayangku padamu serta memang harus kuakui kalau otakmu yang memang jauh lebih encer dariku, maka dengan berat hati kuputuskan untuk mengalah. Aku tak tahu apa yang kamu cita-citakan untuk masa depanmu nantinya. Satu hal yang aku tahu, kamu tahu yang terbaik dan memang selalu menjadi yang terbaik.

Di setiap doaku, aku akan selalu meminta Tuhan menjagamu dari kejauhan. Semoga kamu bisa mewujudkan segala impianmu di masa depan. Aku percaya, kita semua juga bisa menjadi apa pun yang kita inginkan. So, don't ever give up, Ladies! Keep fighting! 

#ElevateWomen