Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.
***
Oleh: Rahayu Putri
Halo Sahabat Fimela, masa pandemi yang awalnya menjadi momok dan sumber kesedihan bagi banyak orang sekarang sudah melewati tahun kedua. Awalnya yang kita semua kesulitan bertahan hidup, sekarang sudah ahli menghadapi berbagai situasi darurat, dan sekarang sudah hidup dalam normal baru.
Masa-masa yang nampaknya suram itu telah dilalui dengan baik oleh kita semua. Kapasitas baru telah kita peroleh dan manusia baru telah muncul dengan berbagai kapasitas, pola pikir, serta kebiasaan yang telah disesuaikan. Akhirnya kita juga menyadari bahwa itu semua tidak bisa kita lewati sendiri, kita selalu bersama dengan orang lain, baik sahabat, tetangga, keluarga, dan orang-orang yang kita sayangi. Pandemi khususnya membantuku melihat seperti apa menjadi sahabat dan belajar menjalin persahabat dengan orang lain lewat interaksi yang dimiliki ibuku dengan sahabat dekatnya yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami.
Kami tinggal di daerah yang tidak terlalu padat penduduk, desa tempat tinggal kami berisi rumah-rumah yang memiliki halaman cukup luas untuk anak-anak bermain. Fasilitas umum sudah sepenuhnya ada, namun orang-orang di desa ini masih hidup dengan budaya orang dahulu, yaitu semua orang adalah keluarga.
Meskipun setiap harinya kami selalu mendengar ada tetangga yang saling mencela, atau bahkan tidak bertegur sapa, namun kejadian semacam ini hanya bertahan setengah hari saja. Hal ini terjadi karena mereka semua yakin bahwa tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka setelah ini dan jika pertengkaran itu berlarut-larut mereka tidak ingin meninggalkan penyelasan dalam diri mereka masing-masing jika sewaktu-waktu mereka berpisah. Kehidupan di sini sangat sederhana, rutinitas yang sama terus berulang setiap harinya, namun mereka semua menyadari bahwa menjadi sahabat orang lain perlu usaha dan hal ini juga yang saya pelajari.
Menemani Ibu
Seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, para ibu di desa saya setiap paginya membersihkan rumah mereka, saling berteriak saat bertemu di jalan, tidak lupa membeli sayuran bersama sambil bergunjing, lalu pulang untuk masak, dan berkumpul lagi setelah rumah bersih dan makanan telah siap. Ketika siang hari mereka pulang untuk masak dan menunggu anak serta suaminya pulang untuk makan siang.
Kemudian di sore hari mereka akan menyapu halaman, menyiapkan makan malam dan terkadang menyiapkan camilan untuk bapak-bapak yang selalu berkumpul di malam hari untuk melepaskan penat dengan bercengkrama. Hebatnya, dengan semua rutinitas ini semua ibu-ibu memiliki masalah yang pelik di hidupnya tapi tetap tertawa dan bersendau gurau dengan tetanngga lainnya. Hal ini saya ketahui saat saya memutuskan untuk ikut ibu saya berkunjung ke beberapa rumah tetangga beberapa waktu lalu.
Saya dan ibu saya pergi ke rumah sahabat dekat ibu saya di dusun sebelah dengan naik sepeda montor. Pada saat di jalan ibu saya berpesan, "Ibu ini sedang banyak pikiran, nanti kamu boleh berbicara saat suasana sudah membaik." Tanpa menjawab saya hanya mengangguk tanda paham.
Ketika sampai di sana kami melihat suaminya yang tengah duduk di teras, bapak itu tengah dalam masa pemulihan dari sakit stroke dan tidak banyak beraktivitas. Tidak lama terlihat sahabat ibu saya muncul dari balik pintu dengan senyum manis di wajahnya. Beliau sedang menyapu lantai rumahnya sambil mendengarkan lagu-lagu tahun 90-an dengan sesekali bersenandung.
Ketika melihat kami beliau langsung menunjuk ke ruang di sebelah rumahnya dan memberikan kode agar kita tunggu di sana. Ruangan itu penuh dengan baju-baju kotor yang harus segera dicuci. Sahabat ibu saya ini punya usaha laundry dan cukup terkenal.
Beberapa saat kemudian beliau menghampiri kami lalu mulai berbincang dengan ibu saya apa saja yang terjadi padanya beberapa hari lalu. Tidak saya sangka percakapan itu sangat menyenangkan dan meskipun banyak sekali yang harus diselesaikan ibu itu dia tidak terlihat lelah sama sekali.
Ibu itu menyampaikan bahwa dua hari ke depan dia harus menyiapkan selamatan untuk 100 hari meninggalnya ayahnya dan meminta ibu saya membuatkan sajian untuk dibagi-bagikan ke tetangganya nantinya. Tanpa pikir panjang ibu saya mengiyakan dan mereka mulai membuat daftar bahan yang akan dibeli.
Ibu saya sering melakukan hal ini kepada setiap orang yang dia temui tanpa banyak pertimbangan. Terkadang ibu saya yang awalnya hanya mampir di rumah tetangga sampai pulang siang karena membantu mereka menyiapkan masakan atau bersih-bersih rumahnya.
Memetik Hikmah
Saya awalnya merasa jengkel dan sedih, kenapa ibu saya harus melakukan itu semua padahal ibu saya bukan pembantu dan kami tidak kekurangan uang. Lalu suatu hari ibu saya berkata bahwa, "Ada satu kutipan yang sangat saya suka dan saya lakukan juga, yaitu janganlah puas dengan menunjukkan persahabatan dengan kata-kata saja, biarlah hati Anda menyala dengan kebaikan yang penuh kasih terhadap semua orang yang Anda jumpai.” Dari situ saya menyadari bahwa ibu saya tidak sedang merendahkan dirinya tapi sedang berusaha menunjukkan bahwa bersahabat itu bukan hanya di perkataan.
Setelah pulang dari rumah sahabat ibu saya itu, kami mampir ke rumah lainnya untuk sedikit berbincang, kemudian pergi ke rumah seorang ibu untuk membayar arisan. Ternyata di sana kami juga tidak sebentar, berbagai keluhan dari ibu lain yang kebetulan ada di sana menjadikan kami perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi ceritanya serta juga bertanya balik kepadanya serta memastikan bahwa apa yang dia keluhkan paling tidak sudah berkurang.
Kami juga dihampiri ibu lain yang menawarkan kami untuk singgah setelah itu. Tentu saja tanpa pikir panjang ibu saya mengiyakan dan jadilah kami berkunjung ke sana. Pada rumah ibu lain yang kami datangi, muncul lagi kesulitan yang dia hadapi dan berbagai masalah yang menghadangnya.
Kami sekali lagi mengambil waktu cukup lama untuk mendengarkan ceritanya dan bertukar pikiran. Setelah itu, kami bertiga berdoa bersama bergantian agar Tuhan selalu melindungi langkah-langkah kita dan membantu kita untuk terus menyadari penguatan yang Tuhan berikan di situasi sesulit apa pun itu.
Hari itu, yang awalnya aku pikir hanya butuh waktu 30 menit menemani ibuku ternyata menghabiskan waktu seharian. Kami pulang sudah menjelang sore hari dan aku melihat kebahagiaan dalam wajah ibuku. Padahal semua yang kami lakukan hari itu melelahkan, dan kamu terus menerus mendengarkan berbagai kesedihan dalam setiap cerita orang yang kami temui.
Aku baru sadar bahwa tidak sepantasnya aku mengeluh jika ibuku tidak cepat pulang ke rumah, padahal semua makanan sudah tersedia dan apa yang kubutuhkan ada. Selain itu aku menyadari bahwa ibuku pergi bukan untuk dirinya, tapi sahabat-sahabatnya yang ada di luar sana. Sedikit candaan dalam percakapan telah membuat sekanjang penuh kesedihan mereka sirna.
Tidak cukup untuk berkata bahwa dia sahabatku, aku bersahabat lama dengannya, dan berbagai pernyataan lainnya jika kita tidak selalu ada untuk mereka. Bersahabat perlu lebih dari sekedar kata-kata.
Kami bisa melewati kesulitan yang muncul karena persahabatan yang sungguh-sungguh dijalin dan dibina selalu. Para ibu yang awalnya kuanggap sebagai orang-orang yang punya rutinitas harian membosankan dan tidak banyak kegiatan ternyata sangat berbeda dari relalita sesungguhnya yang mereka hadapi. Mari kita terus berusaha mendampingi satu sama lain, membantu dan dibantu orang lain.
#ElevateWomen