Kisah Menyentuh Hati, Pertemuanku dengan Perempuan Tangguh Pendamping Para ODHA

Endah Wijayanti diperbarui 28 Okt 2021, 11:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh:  Puji Rahayu Slamet

Duduk sepasang muda-mudi berusia awal 20 tahunan di depan saya, mereka ingin mengajukan surat keterangan sehat sebagai syarat pendaftaran menikah di KUA.

“Anda berdua sudah mantap untuk menikah?” tanya saya sebagai dokter yang bertugas hari itu, “Sudah mengenal dengan baik satu sama lain?”

“Sudah Dok, Kami sudah mantap,” jawab mereka berdua.

“Baik.” Setelah melihat beberapa prosedur yang telah mereka lakukan, akhirnya saya menandatangani surat tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua.

Setiap kali menandatangani surat keterangan kesehatan untuk calon pengantin, ada rasa masygul di hati saya. Teringat sebuah kisah yang menyedihkan sekaligus menyentuh hati dari seorang klien saya.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Sebelas Tahun Lalu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Sebelas tahun yang lalu adalah awal perjumpaan kami.  Saya memanggil namanya untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Sebut saja namanya Mbak Bunga. Masuklah seorang wanita yang cantik, berambut panjang dan bertubuh mungil sambil menggendong anaknya yang berusia satu tahun saat itu, sebut saja Boy. 

“Baik, silahkan duduk Mbak Bunga, ada yang bisa saya bantu?” kata saya. 

“Saya mau minta rujukan ke RSUD Temanggung Bu. Saya pasien B20.” B20 adalah istilah yang sering dipakai untuk merujuk para ODHA (Orang dengan HIV-AIDS). 

Saya sedikit terkejut, dari cara berpakaian dan cara berbicaranya yang sopan, tidak terbersit di benak saya dia melakukan hal-hal berisiko yang menyebabkannya terkena virus yang melumpuhkan kekebalan tubuh itu. Sepertinya Mbak Bunga memahami keterkejutan saya, dia mengatakan bahwa dirinya baru terdiagnosis HIV satu bulan yang lalu dan baru menjalani pengobatan bulan kedua.

Dengan sangat berhati-hati saya bertanya “Bagaimana Mbak bisa dapat virus ini? Kalau nggak keberatan Mbak mau cerita?”

3 dari 4 halaman

Kisah Mbak Bunga

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Mbak Bunga ternyata berkenan membagikan ceritanya kepada saya. Sebulan yang lalu suaminya dirawat di rumah sakit lalu meninggal dunia, ternyata dari hasil tes darah suaminya dinyatakan terkena AIDS.  Mbak Bunga beserta Boy pun harus menjalankan tes serupa. Dan keduanya dinyatakan positif HIV.  Mbak Bunga bertutur bahwa dia tidak pernah melakukan hal-hal berisiko yang menyebabkan dia terpapar virus tersebut. Mbak Bunga bercerita dengan runtut dan jelas, menandakan bahwa dia adalah seorang wanita yang berpendidikan dan cerdas. 

Saya memberanikan diri bertanya lebih jauh lagi. “Apakah Mbak tidak tahu kalau suami Mbak adalah orang yang beresiko?”

“Saya tidak tahu Dok, saya tidak tahu masa lalu suami saya, kalau saya tahu saya juga tidak mau seperti ini Dok,”  jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Saya termanggut-manggut, tidak sanggup berkata-kata lagi. Segera saya tandatangani surat rujukan dan menyemangatinya untuk tetap kontrol rutin dan minum obat dengan teratur setiap hari. Toh memang hanya itu yang bisa saya lakukan. 

Pada waktu itu di kota kami belum ada fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pengobatan antiretroviral HIV (ARV HIV). Mbak Bunga harus menempuh perjalanan selama satu jam dengan angkutan umum sambil membawa Boy yang juga harus melakukan pengobatan. Dan itu harus dilakukannya seumur hidup sambil tetap memperjuangkan ekonominya. 

Perjumpaan kami berikutnya terjadi tiap beberapa bulan, terutama ketika Mbak Bunga harus memperpanjang surat rujukan atau memeriksakan Boy bila sakit.  Saya selalu memberikan perhatian ekstra untuk Boy, karena penyakit yang pada anak lain biasa saja, bisa berakibat fatal untuk anak dengan HIV. 

Di tiap sesi pertemuan selalu saya tanyakan apakah Boy mau meminum obat ARV nya. Ternyata Tuhan memang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan. Boy adalah anak yang sangat kooperatif. Pertumbuhan dan perkembanganyapun bagus, layaknya anak seusianya. Dia mampu mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Anak yang hebat dalam keadaan yang dimilikinya, pastilah karena didikan ibunya yang hebat. Pikir saya.

Pagi hari di bulan Juli 2011, saya menerima surat pemindah tugasan, saya ditempatkan di Puskesmas lain. Mulai saat itu saya pun tidak pernah berjumpa dengan Mbak Bunga dan Boy.

4 dari 4 halaman

Selang Beberapa Tahun Kemudian

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Selang bertahun-tahun kemudian, saya sedang bertugas di Ruang Kesehatan Ibu dan Anak.  Saya mendengar seseorang sedang berbicara dengan bu bidan yang ada di ruang sebelah.  Suaranya terdengar tak asing di telinga saya. Dengan berhati-hati  saya mengintip ke ruang sebelah dan benar saja ternyata itu Mbak Bunga!  Tak pakai berpikir panjang saya masuk menyapa dan menghampirinya. 

Mbak Bunga saat itu memakai jilbab, dia tampak lebih segar dan terawat. Dia kini sudah menikah lagi dan sedang hamil kedua. Dia bercerita tentang Boy yang tumbuh menjadi anak yang baik dan suami barunya yang membuat dia merasakan seperti menemukan kembali cahaya hidup yang pernah terenggut darinya. Sungguh saya bahagia mendengar ceritanya.

***

Tahun 2018 saya bergabung dengan tim konsultasi dan testing HIV-AIDS. Puskesmas kami mulai merintis penanganan HIV-AIDS walaupun belum melakukan pengobatan. Pertemuan berkala selalu diadakan Dinas Kesehatan untuk membahas kemajuan testing dan pengobatan ODHA  di wilayah Kota Magelang. Pertemuan itu melibatkan seluruh Rumah Sakit, Puskesmas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kalandara. LSM tersebut berperan dalam pendampingan ODHA baru dan sebagai penghubung kami, para tenaga kesehatan, dengan komunitas beresiko agar mau melakukan testing.

Tidak disangka di forum itu saya bertemu lagi dengan Mbak Bunga yang bergabung dengan LSM  Kalandara.  Kami pun menyempatkan mengobrol. Dia bercerita dengan mata berbinar bahwa anaknya yang kedua sudah lahir dan hasil test HIV nya negatif, aaah... ikut lega dan senang saya.

Mbak Bunga bergabung dengan Kalandara supaya bisa mendampingi dan menyemangati orang-orang yang baru terdiagnosis HIV-AIDS  ataupun orang-orang yang sudah ingin menyerah tidak melanjutkan pengobatan karena bosan dan tidak tahan dengan efek sampingnya.  Sepanjang pertemuan itu saya tertarik mendengarkan ceritanya, suka duka mendampingi para ODHA.

***

“Bu saya mau konsul,“ kata bu bidan di puskemas kami pada suatu hari. “Ini ada ibu hamil yang terkonfirmasi positif HIV tapi masih belum mau melakukan pengobatan,”  lanjutnya.  Baiklah, saya tahu harus menghubungi siapa.

Mbak Bunga datang berkoordinasi dengan kami. Dia mencoba merangkul ibu baru tadi. Waktu awal terdiagnosis penyakit adalah waktu yang paling sulit untuk siapa pun.  Fase marah, penolakan, dan depresi beraduk menjadi satu dan sedang dialami ibu baru tadi. Di situlah Mbak Bunga hadir untuk menemani dan menyemangati. Tentunya dia sangat mengerti apa yang dirasakan oleh ibu tadi, karena dia pun telah melewatinya sendiri.

Terima kasih Mbak Bunga. Engkau adalah sosok wanita tangguh pendamping dan penyemangat  para ODHA untuk tetap bisa menatap masa depan dan melanjutkan hidupnya dengan berarti.

#ElevateWomen