Mengalami Depresi Pasca Melahirkan, Ada Gejolak Kebingungan saat Bayiku Hadir ke Dunia

Endah Wijayanti diperbarui 22 Okt 2021, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh:  Tenrita Rizkiati

Menjadi ibu adalah anugerah terindah yang dimiliki setiap perempuan. Ketika hari istimewa itu datang, tangis bahagia merebak dan hadirlah cinta pada pandangan pertama. “Bayiku yang cantik,” begitu yang terlintas di benak. Sungguh indah momen itu hingga semua wanita pasti ingin merasakan hal yang sama. Ada pula mereka yang sangat bersemi ketika bermain bersama bayi–bayi hingga muncul ungkapan, “Aku ingin punya bayi lagi." Tapi apa benar semua ibu merasakan hal yang sama?

Aku pun sangat bersemangat menunggu hari saat aku menjadi seorang ibu. Aku merasa sangat bahagia ketika kontraksi itu datang. Tidak, aku tidak bohong. Walaupun sakit menjalar di perut dan punggungku tapi aku sangat menanti -nanti saat aku harus mendorong sekuat tenaga, mengejan untuk melahirkan anakku.

Lalu kontraksiku berlanjut dari satu hari menjadi dua hari, dua hari menjadi tiga hari, dan tiga hari menjadi tangis putus asaku. Pembukaanku hanya mencapi dua sentimeter. Kontraksi ini mulai terasa sangat menyakitkan dan akhirnya pukul lima pagi aku memohon pada dokter agar ia bersedia merobek perutku untuk mengeluarkan anakku. Padahal yang aku impikan adalah momen kelahiran pervaginum.

Saat hamil aku bahkan mengambil berbagai macam kelas bersama para bidan agar dapat melahirkan dengan nyaman dan bahagia tanpa merasa sakit. Aku belajar yoga, belajar pernapasan untuk melahirkan, belajar menggunakan birthing ball.

2 dari 4 halaman

Pengalaman Melahirkan

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/rawpixel

Walaupun sering terbayang cerita manis ketika menunggu waktu menjadi seorang ibu, namun selama mengandung, seringkali di malam–malam yang sepi aku memutar skenario–skenario menyedihkan. Skenario yang berputar menyebabkan aku tidak dapat terlelap dengan mudah. Aku biasa berguling-guling di kasur selama tiga hingga empat jam sampai akhirnya tertidur kelelahan. Aku pikir itu normal. Bukankah ibu hamil memang akan mudah berkeringat dan kesulitan tidur karena perutnya yang membuncit?

Salah satu skenario yang sering bermain di kepalaku adalah bagaimana jika suamiku meninggal karena ada rampok yang datang di malam hari? Di mana aku harus menyembunyikan anakku? Apakah di dalam lemari atau di balik selimut? Lalu bagaimana posisi terbaik untuk aku melindungi bayiku nanti? Apakah aku harus membiarkan punggungku dibacok agar dia selamat?

Lalu aku akan memikirkan skenario itu hingga napasku menderu dan peluhku menetes pukul dua pagi. Pada siang harinya perasaan hatiku akan kacau balau, kadang aku akan bertengkar dengan ibuku karena kami masih tinggal serumah, atau aku akan menangis menunggu suamiku pulang dari dinasnya di luar kota. Sayangnya, pikiran itu tidak berhenti saat aku melahirkan. Walaupun perutku sudah tidak buncit, tapi pikiran–pikiran itu masih ada dan bertambah gila.

Saat akhirnya aku melihat anakku untuk pertama kali aku berpikir, “Kamu siapa?” dan pupus sudah cerita indah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tidak merasakan apa pun kecuali kebingungan. Kebingungan yang bertambah–tambah ketika selama tiga hari aku harus terbaring akibat luka jahit di perutku dan anakku tidak hentinya menangis di malam hari. Aku harus bagaimana agar ia tidak menangis? Putingku sudah luka karena menyusui selama berjam–jam. Aku lelah.

Selama dua minggu pertama aku hidup bersama anakku, ada perasaan sesak, rasa ingin menangis yang tiba–tiba dan seringkali muncul walau aku tidak melakukan hal yang menyedihkan.

Kadang yang terlintas di benakku hanya apakah suamiku baik–baik saja di kantor? Lalu aku menangis sejadi–jadinya seakan aku akan kehilangan suamiku. Kadang aku berpikir tentang apa yang dulu dapat kulakukan agar aku dapat melahirkan dengan normal. Aku juga sering merasa bersalah terhadap anakku yang sudah berusaha lahir melalui liang lahir namun aku seperti tidak berusaha dengan lebih keras untuk dapat melahirkannya, aku terlalu lemah untuk menahan kontraksi. Aku lemah, pikirku.

3 dari 4 halaman

Muncul Perasaan yang Membingungkan

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/wes hicks

Aku pikir semua kesedihan dan rasa sesak itu hanya akan bertahan sementara saja tapi kenyataannya tidak begitu. Sampai anakku berusia delapan bulan aku harus berkelahi dengan diriku sendiri, menyemangati diriku sendiri dan berkata bahwa semua baik–baik saja, aku baik–baik saja. Aku baik–baik saja, walaupun aku kesulitan tidur di malam hari dan sama sekali tak dapat beristirahat di siang hari. Semua orang sudah sering menceramahiku bahwa aku harus sering–sering beristirahat di siang hari saat anakku tidur, tapi tentu saja tidak mudah untukku terlelap. Walaupun lelah tapi mata ini tidak mau terpejam.

Cerita perjuanganku juga tidak lepas dari ketakutanku terhadap anakku sendiri. Aku sempat membenci diriku karena aku merasa takut akan berbagai emosi anakku. Kadang aku tidak sanggup berhadapan dengannya. Terkadang aku meninggalkan ia di kamar agar emosiku dapat kutahan.

Kadang aku pelu mengurung diri di kamar mandi dan mengumpat sejadi–jadinya, merasa bodoh karena tidak dapat menenangkan anakku yang menangis. Aku seperti ingin marah kepada anakku tapi kenapa aku harus marah kepadanya? Toh dia tidak akan mengerti apa yang aku bicarakan.

Aku perlu tersenyum agar anakku dapat merasa tenang, tapi aku tidak mampu. Namun aku menerima bahwa aku memang membutuhkan banyak bantuan untuk mengurus anakku, semata–mata untuk tumbuh kembang anakku dan kesehatan mentalku. Aku menerima bahwa aku membutuhkan pengasuh karena suamiku bekerja sebagai penerbang di daerah terpencil dan aku butuh beristirahat.

Rasa lelah luar biasa yang aku rasakan semakin menjadi–jadi karena bisikan–bisikan maut dari ibuku. “Bayi itu harus pakai lengan panjang, kenapa kamu pakaikan dia baju tak berlengan? Kenapa kamu pakaikan dia popok sekali pakai? Seharusnya kamu pakaikan dia minyak telon! Kenapa kamu harus membuat jadwal minum susu? Harusnya kamu susui dia sebanyak yang dia mau! Untuk apa pakai pengasuh kalau kamu tidak bekerja?” Ya, Tuhan! Kenapa aku harus jadi ibu? Jadi ibu menguras seluruh emosi jiwa dan ragaku!

Akhirnya suatu hari emosiku meledak dan aku bertengkar hebat dengan ibuku. Di tengah–tengah teriakan yang bersahutan aku berkata, dengan air mata yang berderai, bahwa aku butuh ketenangan. Aku tidak tahan, aku kelelahan, aku butuh bantuan profesional. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan semua perasaanku. Aku hanya manusia biasa. Aku lelah. Aku ingin tidur. Aku ingin hidup normal seperti dulu. Aku bukan ibu super. Aku benci jadi ibu.

Selama proses pengobatan, ada kalanya keadaanku membaik, memburuk, atau bahkan menggila. Ya, menggila! Siapa yang tidak gila tinggal jauh dari suami dan tidak pula mendapat dukungan dari orangtua sendiri?

Ibuku, orang yang seharusnya menjadi pelangi di hari–hari mendungku malah menjadi petir di tengah hujan deras. Walaupun sudah sering bertemu psikolog dan psikiater, tapi emosiku masih naik turun jika menghadapi ibuku.

Aku sampai meragukan diriku sendiri, aku tidak mungkin sembuh karena keadaanku memang sudah dipupuk sejak dulu. Keadaanku merupakan hasil dari pertengkaranku sejak kecil dengan ibuku.

Aku dapat dengan jelas mengingat setiap cubitan, tamparan, dan ocehan tentang anak durhaka sepertiku. Aku yakin aku pasti akan dijebloskan ke neraka terdalam jika meninggal nanti, karena itulah yang selalu diucapkan ibuku. Terlalu banyak dosaku kepada orangtuaku. Aku pun sudah terlalu putus asa untuk berdoa agar Tuhan menyelamatkan di akhirat kelak.

4 dari 4 halaman

Proses dan Perjuangan untuk Memulihkan Diri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/oduaimages

Perjuanganku untuk sembuh dari keadaan mentalku saat itu ternyata tidak mudah. Aku menghabiskan berjam–jam terapi dan meminum beratus–ratus butir obat hanya untuk tidur nyenyak di malam hari dan merasa segar di pagi hari, untuk dapat bahagia dan berfungsi sebagai manusia.

Berganti–ganti obat mencari obat yang cocok dengan kondisiku juga tidak mudah. Perlu jatuh bangun untuk menemukan jenis obat yang tepat. Sesi konseling juga terasa menyakitkan, seakan aku mengorek kesedihanku yang sudah bertahun–tahun berlalu tapi terasa baru saja terjadi kemarin sore.

Namun aku tidak akan melupakan perjuanganku karena ada banyak pelajaran yang kudapat dari setiap sesi konseling, terutama tentang diriku sendiri. Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan berarti aku harus melupakan diriku sendiri.

Menjadi ibu bukan berarti aku harus berubah menjadi orang lain yang sempurna. Menjadi ibu hanya merupakan suatu peran yang bertambah dalam hidupku. Tidak perlu sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

Aku hanya perlu hadir dalam hidup anakku, menjadi temannya di kala suka maupun duka. Aku juga tetap dapat melakukan apa yang kumau. Pun menyewa pengasuh bukanlah suatu keburukan. Mengapa harus bersusah payah sendiri mengurus anak? Aku perlu berhenti menyiksa diriku sendiri dengan pikiran menjadi ibu yang “ideal”.

Pertengkaranku dengan ibuku selama ini, dan kadang dengan ayahku, membawa satu kesimpulan yaitu bahwa aku tidak perlu tinggal serumah dengan orangtuaku. Aku tidak perlu menyiksa diriku dengan imbalan pahala. Aku butuh berbahagia.

Aku sampai pada kesimpulan bahwa aku boleh saja pergi dari rumah dan tinggal di tempat lain yang mendukung kesehatan mentalku. Pernah sekali aku pergi meninggalkan rumah ibuku  dan tinggal di rumah mertuaku. Kepergianku bukan dengan hati senang, riang, gembira, tapi dengan isak tangis meraung–raung selama selama tiga hari menuturkan betapa aku lelah dan ingin mati. Suamiku yang sibuk bekerja tentu tidak dapat berbuat banyak, mertuaku sama bingungnya dengan suamiku.

Namun ternyata terapi obat dan konseling yang aku jalani membuahkan hasil. Perlahan–lahan keadaanku membaik. Aku tidak lagi membutuhkan obat penenang. Aku dapat tertidur di siang maupun malam hari sesuai kebutuhanku.

Aku dapat mengurus anakku sendiri. Aku tidak lagi marah jika anakku tidak mau makan. Aku tidak lagi merasa jengkel jika anakku butuh perhatian lebih. Aku mulai berolahraga. Aku mulai berkarya, menulis, menggambar, dan melakukan apapun yang aku suka. Aku bahagia dan berfungsi. Aku tidak lagi terganggu dengan ibuku, atau bahkan dengan emosi anakku. Aku juga tidak lagi merasa ingin menangis tanpa sebab. Ternyata aku dapat merasa normal lagi!

Sekarang emosiku tidak lagi meledak-ledak. Ibuku mulai mendengar kebutuhanku walaupun terkadang masih berselisih paham denganku. Suamiku pun mulai menyusun rencana pembangunan rumah kami agar kami dapat hidup tanpa intervensi pihak lain.

Kini banyak bisikan lain yang membuatku hanya dapat terkekeh, “Kapan punya adik?” Lucu sekali dunia ini. Indah memang kalau orang tidak melihat perjuangan di balik ceritaku membesarkan anakku. Hanya aku yang merasakan pedihnya perjuanganku.

Saat ini aku hanya dapat berkata entah kapan aku menginginkan anak kedua setelah semua yang aku alami. Aku hanya ingin menjadi ibu yang bahagia untuk anakku, ibu dengan mental yang sehat. Terima kasih, Postpartum Depression.

#ElevateWomen