Fimela.com, Jakarta Pada dasarnya, toxic positivity merupakan kondisi seseorang yang terobsesi untuk selalu berpikir positif. Kebanyakan orang yang memiliki pemikiran tersebut dapat membungkam emosi negatif, mengabaikan kesedihan hingga berpura-pura bahagia meski sebenarnya ia sedang dalam kondisi sedih.
Istilah toxic positivity ini seperti sebuah paradoks, yakni antara sebuah lontaran positif beradu dengan emosi negatif sehingga menjadi racun bagi mereka yang menerimanya. Hal ini disebabkan tidak semua orang butuh solusi positif agar bisa membuat dirinya lebih baik ketika menghadapi suatu masalah.
Walau berpikir positif pada dasarnya merupakan hal baik dan bisa meningkatkan kesehatan mental, namun berpikir positif juga bukanlah obat satu-satunya yang efektif untuk semua permasalahan hidup.
Dilansir Livestrong, Jumat (22/10/2021), seorang psikolog klinis yang berbasis di New York City, Juhee Jhalani, PhD menjelaskan mengenai toxic positivity dan cara yang lebih sehat untuk menjaga pandangan optimis tanpa mengabaikan emosi negatif.
What's On Fimela
powered by
Apa Itu Toxic Positivity?
Jhalani mengungkapkan bahwa toxic positivity adalah gagasan di mana pemikiran positif harus selalu disukai dan diterapkan daripada pikiran negatif. Hal ini merupakan upaya untuk mengabaikan pikiran atau perasaan yang kurang menyenangkan seperti kemarahan, kesedihan atau frustasi.
Toxic positivity memiliki cakupan penuh emosi yang menyertainya sehingga perlu digarisbawahi bahwa pikiran positif dapat memperbaiki apapun masalah dalam hidup seseorang. Jika melakukannya, maka akan meminimalkan emosi seseorang.
Dalam hal ini, toxic positivity menyangkal emosi negatif dan menumbuhkan optimisme yang terkesan dipaksakan, optimisme yang penuh harapan dan dapat membantu menghadapi tantangan serta mengatasi peluang baru sehingga mendorong seseorang untuk tumbuh dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
1. Mengisolasi Diri Sendiri dan Orang Lain
Toxic positivity dapat mencegah orang untuk menceritakan pengalaman menyakitkan mereka yang dengan kata lain memaksa mereka untuk memperkecil rasa sakitnya karena takut akan penilaian, penolakan atau pengabaian dari orang lain. Hal ini menyebabkan orang akan sering berdiam diri karena tidak ingin terlihat negatif atau cengeng.
2. Menghilangkan Trauma dan Rasa Sakit
Jhalani menjelaskan, “Membicarakan peristiwa traumatis dan menyakitkan tidak bermanfaat, karena mengundang energi yang negatif,” ungkapnya. Namun sebaliknya, kemungkinan orang dengan toxic positivity akan mengatakan hal-hal seperti “lupakan saja” atau “lepaskan rasa sakitnya”. Kata-kata tersebut bisa berbahaya meski diucapkan dengan niat baik. Ketika merasa dalam tekanan dan tetap berusaha tegar serta tidak mengakui atau memproses kesedihan, rasa sakit bahkan trauma ini akan menekan perasaan sehingga menyebabkan stres, perasaan marah dan kesedihan.
3. Terjebak dalam Situasi dan Hubungan yang Tidak Baik
Ternyata, bahaya lain dari toxic positivity ini bisa membuat seseorang terjebak dalam masalah dengan situasi atau hubungan yang tidak baik atau kurang ideal, sebab pola pikir positif yang beracun sering berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, terkadang hal tersebut tidak berhasil dan membutuhkan tindakan untuk diselesaikan.
Hal yang Harus Dilakukan
1. Membuat Batasan
Terkadang, batasan-batasan itu diperlukan. Ini bertujuan demi menjaga kesehatan mental, maka ciptakanlah sebuah batasan atau batasi waktu dengan teman dan keluarga yang sekiranya ‘beracun’. Jika masih merasa kesepian dan tidak bahagia, tidak ada salahnya untuk menghindari mereka sepenuhnya.
2. Temukan Teman yang Supportive
Coba untuk bergaul dengan teman yang akan memvalidasi pengalaman dan perasaanmu ketika sedang sedih dibanding berteman dengan orang yang cenderung sering menyalahkan dan menghakimi. Menemukan sebuah dukungan akan membantumu untuk melewati masa-masa sulit itu.
3. Lakukan Terapi
Ketika merasa sedih dan mengisolasi diri, sebaiknya lakukan terapi yang bisa membantu untuk memvalidasi perasaan. Dengan dukungan dan bimbingan terapis, maka akan tercipta sebuah perasaan yang aman sehingga tidak perlu untuk mengeksplorasi emosi, rasa sakit dan trauma yang selama ini membuat tidak nyaman.
Toxic positivity bisa sangat berbahaya, kan? Semoga Sahabat Fimela tidak mengalami kondisi seperti ini, ya!
Ditulis: Atika Riyanda Roosni