Fimela.com, Jakarta Nama Kim Seon Ho menjadi trending beberapa hari kebelakangan ini. Hal tersebut lantaran aktor Korea ini terseret isu pernah berpacaran dengan seorang perempuan berinisial A dan memaksa sang kekasih melakukan aborsi.
Isu tersebut bermula ketika perempuan berinisial A, mengaku pernah berpacaran dengan seorang aktor berinisial K yang dituliskan di sebuah media sosial.
Tulisan itu langsung menjadi buah bibir netizen apalagi sang aktor meminta dirinya untuk melakukan aborsi, dengan iming-iming akan dinikahi, namun sayangnya sang aktor justru memutuskan mengakhiri hubungan mereka. Padahal, perempuan berinisial A ini sempat ragu untuk melakukan aborsi.
Selang beberapa hari, Kim Seon Ho pun mengakui inisial K tersebut ialah dirinya dan meminta maaf kepada semua pihak termasuk kepada sang mantan.
Aborsi sendiri merupakan penghentian medis atau bedah kehamilan, salah satu prosedur medis paling kontroversial. Ada banyak alasan bagi seorang perempuan untuk melakukan aborsi, dan sekitar satu dari empat perempuan di Amerika Serikat akan melakukan aborsi sebelum usia 45 tahun, meskipun tingkat aborsi di seluruh negeri telah menurun, menurut Institut Guttmacher.
Situs Human Rights Pulse menyebut bisa ada 50 ribu hingga 500 ribu aborsi ilegal yang terjadi di Korea Selatan. Namun, kini aborsi di Korea Selatan sudah legal dilakukan dan aturan tersebut baru disahkan pada 2021.
Menurut American Pregnancy Association, penelitian telah menunjukkan bahwa melakukan aborsi tidak meningkatkan risiko perempuan mengalami depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma. Sebuah tinjauan literatur ilmiah yang dilakukan oleh gugus tugas APA dan dirilis pada tahun 2008 menunjukkan aborsi trimester pertama kehamilan tidak ada risiko lebih besar untuk kesehatan mental.
Di antara perempuan yang mengalami masalah kesehatan mental, laporan APA menyimpulkan bahwa masalah ini mungkin terkait dengan faktor risiko yang terjadi bersamaan yang membuat seorang perempuan rentan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan masalah kesehatan mental.
What's On Fimela
powered by
Apa Kata Sains?
Penelitian yang dipublikasikan dalam JAMA Psychiatry itu juga mengungkap fakta bahwa gejala terkait depresi atau gangguan mental lainnya justru lebih terlihat pada mereka yang menginginkan aborsi namun tidak diperbolehkan melakukannya.
Yang ditolak aborsi lebih mungkin untuk awalnya mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan harga diri yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang menerima aborsi.
Kehamilan yang tidak diinginkan telah dikaitkan dengan defisit kognitif, emosional dan sosial anak berikutnya. Anak-anak ini lebih cenderung mengalami hasil jangka panjang yang negatif di masa dewasa, seperti peningkatan kemungkinan terlibat dalam perilaku kriminal, ketergantungan pada bantuan publik, dan memiliki pernikahan yang tidak stabil.
Aborsi yang tidak aman kemungkinan akan meningkat ketika kebijakan membatasi akses ke perawatan kesehatan reproduksi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan Institut Guttmacher menemukan bahwa sebagian besar aborsi aman di negara-negara di mana aborsi secara luas legal, sementara sebagian besar tidak aman di negara-negara di mana aborsi sangat dibatasi.
Secara khusus, ketidakmampuan untuk melakukan aborsi dapat memaksa perempuan untuk tetap berhubungan dengan pasangan yang melakukan kekerasan, menempatkan mereka dan anak-anak mereka dalam risiko.
Meski begitu, saat melalukan keputusan aborsi, menurut American Pregnancy Association dapat menyebabkan beberapa perasaan seperti tertekan, cemas, depresi, penyesalan, amarah, malu, kesendirian, hingga memiliki harga diri yang buruk.
Efek negatif aborsi pada tubuh
Meski gangguan kesehatan mental berbeda pada setiap orang. Namun efek negatif pada tubuh akan dialami para perempuan yang melakukan aboris, misalnya saja kerusakan leher rahim karena leher rahim robek akibat penggunaan alat aborsi.
Infeksi pun tak bisa dihindari apalagi ketika aborsi secara ilegal karena penggunaan peralatan medis yang tidak steril kemudian dimasukkan dalam rahim bisa menyebabkan infeksi. Selain itu infeksi juga disebabkan jika masih ada bagian janin yang tersisa dalam rahim.
Pendarahan hebat menjadi risiko yang sering dialami perempuan yang aborsi. Pendarahan terjadi karena leher rahim robek dan terbuka lebar. Tentunya hal ini sangat membahayakan jika tidak ditangani dengan cepat.
Risiko kanker karena leher rahim yang robek dan rusak bisa meningkatkan risiko kanker serviks. Ada pula risiko kanker lainnya seperti kanker payudara, indung telur dan hati. Hingga yang terparah kehabisan darah akibat pendarahan dan infeksi dapat menyebabkan kematian.
#elevate women