Cerita Netha Bangkitkan Kembali Denyut Pertanian Anak-anak Muda NTT

Hilda Irach diperbarui 19 Okt 2021, 07:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Minat anak muda pada pertanian semakin rendah. Jika mereka ditanya cita-cita, jarang sekali yang menyebutkan bahwa cita-cita mereka menjadi petani. Padahal, profesi petani sangat dibutuhkan guna memenuhi kelangsungan hidup masyarakat dan negara.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto mengungkapkan berdasarkan data BPS, saat ini petani didominasi oleh petani tua dengan rata-rata usia 47-50 tahun.

“Sedangkan petani muda hanya 2,3 persen. Oleh karena itu ini harus didorong,” ujar Bambang dalam talkshow Gerakan Kemandirian Pangan Melalui Jejaring Kreatif Anak Muda, Kamis, 14 Oktober 2021, dilansir Liputan6.com.

 
What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Upaya bangkitkan denyut pertanian anak-anak muda

Kisah Netha ajak anak-anak muda NTT bangkitkan napas bertani dari pekarangan rumah (Pexels/anna shvets).

Hal ini turut dialami Netha Kore Bangngu, perempuan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) di kampung halamannya. Melihat regenerasi petani yang menurun, Netha pun bergerak membuat komunitas yang berisi anak-anak muda untuk membanagkitkan pertanian dan memperkenalkan kebiasaan berkebun di halaman rumah warga.

Komunitas itu kemudian ia beri nama Komunitas Penyuluhan Pertanian Sukses (Kompas). Netha mengungkapkan, pendirian Kompas ini menjadi langkah awal bagi Netha untuk memberi penyuluhan terkait teknologi dan informasi terbaru di bidang pertanian bagi para petani. Pengetahuan yang dibagikannya didapat dari pengalaman keluarga dan ilmu yang ia peroleh selama menjalani kuliah program studi pertanian lahan kering.

“Selanjutnya, Netha dan beberapa temannya mendirikan Komunitas Kupang Batanam pada 2017. Ia pun giat mengampanyekan cara berkebun di pekarangan rumah." Kami mulai dari yang skala kecil," tutur Netha, Kamis (15/10/2021) dikutip dari Liputan6.com.

Ia mendekati warga dari tingkat RT dan komunitas-komunitas kecil, terutama kepada ibu-ibu dan anak-anak. Lama kelamaan, komunitasnya dikenal oleh berbagai lembaga dan mulai diundang oleh puskesmas, kelurahan, dan gereja.

"Kalau ada kegiatan-kegiatan di gereja, mereka akan mengundang kami untuk mengajarkan mereka. Kalau di puskesmas, mereka punya program dapur hidup dan kami dilibatkan," ujar Neta.

3 dari 3 halaman

Memulihkan persepsi tentang pertanian

Kisah Netha ajak anak-anak muda NTT bangkitkan napas bertani dari pekarangan rumah (Pexels/gary barnes).

Kolaborasi yang dilakukan oleh Kupang Batanam lainnya bersama dengan Yayasan Tafena Tabua dengan mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak SMK. Uniknya, sembari belajar bahasa, mereka juga diwajibkan untuk bertani dalam skala kecil.

Menurut Neta, cara-cara tersebut merupakan langkah kecil yang bisa diajarkan kepada anak muda untuk bertani. "Jangan memandang pertanian itu rendah, jangan memandang pertanian itu kotor," ucap Netha.

Kolaborasi dan pendekatan kepada pemangku jabatan menjadi kunci keberhasilan program berkebun di pekarangan untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Misalnya, berkolaborasi dengan GEF SGP Indonesia, yang membuat mereka bisa mengajarkan berkebun di pekarangan dan mengembangkan tanaman padi hitam yang sudah jarang ditemui di Pulau Semau, NTT.

"Kampanye dulu ke orang-orang kunci, seperti pemerintah desa, gereja, dan masyarakat lainnya. Nanti mereka akan kasih mamak (ibu-ibu) yang tertarik untuk berkebun di pekarangan," ujar dia. "Kami tidak mau para mamak saja, tapi dalam rumah tangga juga ada kerja sama antara suami dan anak supaya mereka saling membantu,” tandasnya

#Elevate Women