Perempuan dan Soal Berkarier, Selalu Ada Dilema yang Menyertai Tiap Pilihan

Endah Wijayanti diperbarui 16 Okt 2021, 15:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh: Fansay Cinta Amalia

Pernahkah Anda mendengar tentang pepatah, “Di balik kesuksesan suami ada wanita hebat dibelakangnya?” Menurut saya pepatah tersebut juga berlaku sebaliknya, sehingga menjadi, “Di balik kesuksesan istri ada pria hebat di belakangnya."

Peranan wanita saat ini menjadi berlipat ganda apabila menjadi wanita karier. Bagaimana tidak, tanggung jawab sebagai seorang istri dalam mengurus rumah tangga, juga mengurus urusan pekerjaan di luar rumah. Di era globalisasi ini, mayoritas terlihat jumlah karyawan wanita lebih banyak  daripada jumlah karyawan laki-laki. Hal ini menunjukkan potensi atau kemampuan wanita sudah dapat disetarakan bahkan menyaingi potensi laki-laki. Tidak heran jika banyak lelaki yang pengangguran saat ini, mungkin karena porsi lowongan pekerjaan sudah banyak yang terisi oleh wanita.

Namun perlu diperhatikan, tujuan wanita berkarier apabila sudah berumah tangga, sesungguhnya ingin membantu suami agar pemenuhan kebutuhan ekonomi bisa tercukupi dengan baik. Jadi, para suami jangan iri ya!

Ketika seorang wanita sudah menghadapi tanggung jawab dan peranan sebagai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya ada konflik batin yang sedang dialami. Misalnya, ingin mewujudkan cita-citanya yang sudah lama diimpikan, namun terhalang oleh status dan perannya yaitu mengurus anaknya yang masih kecil, atau seorang wanita yang sudah bekerja di suatu instansi dengan jam kerja yang padat sehingga tidak bisa pulang ke rumah lebih awal dan tidak bisa mengurus rumah dan anak secara total, sehingga keadaan rumah menjadi kurang teratur,  anak pun harus ada orang lain yang merawatnya. Seorang wanita menjadi stres, bingung dalam menentukan pilihan, tetap menjalani tugasnya sebagai wanita karier. Namun urusan rumah menjadi terkesampingkan, ataukah harus resign sehingga bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan tentram.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Dilema dan Problema

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Narong+Yuenyongkanokkul

Setiap pilihan yang sudah dipilih pasti akan ada dampaknya masing-masing. Jika wanita yang menyandang status ibu rumah tangga saja, biasanya bingung dalam mengontrol pengeluaran belanja karena pemasukan dari suami masih kurang. Namun untuk urusan pekerjaan rumahnya, tidak ada masalah, keadaan rumah menjadi lebih rapi dan bersih. Kemudian dampak bagi wanita karier, biasanya kebutuhan ekonomi dapat tercukupi namun kedekatan antara ibu dan anak menjadi berkurang, karena anak lebih lama bersosialisasi dengan pengasuh.

Gejolak perasaan wanita yang sudah tidak menentu ini, perlu adanya apresiasi dan dukungan dari suami. Berdasarkan pengamatan dari pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain yang saya temui, terdapat teman yang mengeluh karena suami menganggap remeh pekerjaannya yang di rumah saja mengurus anak.

Istri dianggap tidak bisa membantu perekonomian suami yang sedang sulit, dan tidak merasakan lelahnya dalam hal mencari nafkah. Padahal teman saya ini sebelum menikah sudah merasakan kesenangan sebagai wanita karir, memiliki gaji sendiri dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa merepotkan orang lain.

Teman saya memiliki latar belakang pendidikan yang juga mumpuni apabila harus bekerja di luar. Bahkan lebih daripada kemampuan latar belakang pendidikan suaminya. Teman saya rela melepaskan pekerjaannya demi bisa menjaga dan merawat anak-anaknya sendiri.

Teman saya tidak ingin anaknya dibesarkan oleh orang lain dalam hal ini pengasuh, orang tua maupun mertua. Menurutnya dia ingin lebih dekat secara emosional dengan anak-anaknya dan dapat menjadi pengaruh sosialisasi pertama dan utama bagi anak-anaknya. 

Akhirnya teman saya menjadi sedih dan bertanya mengapa lelahnya menjadi seorang ibu tidak ada apresiasi sama sekali dari suami? Padahal dengan mengurus rumah tangga sendiri juga mengurangi beban suami dalam menggaji pengasuh atau asisten rumah tangga. Padahal dengan mengurus rumah tangga sendiri juga mengurangi beban kekhawatiran suami dalam hal menjaga keselamatan anak dan rumah karena istri lebih dapat dipercaya daripada orang lain.

Perlu saya ceritakan lagi peristiwa yang dialami oleh sahabat saya, dia sudah bekerja di perusahaan di bidang finance dan mendapatkan gaji yang lumayan menggiurkan, karena posisi pekerjaan yang bagus dan lamanya dia bekerja. Ketika dia sudah punya anak belum genap berusia 1 tahun, dia pun masih tetap bekerja. Dia sangat menyukai pekerjaannya. Namun sang suami kurang menyukai istrinya setiap hari harus pergi keluar rumah dari pagi hingga sore, dan sering lembur.

Hari libur satu kali per pekan dirasa suami kurang. Anaknya yang masih kecil itu, harus dititipkan kepada orang tua ataupun mertua setiap istrinya bekerja. Suami merasa kasihan terhadap anaknya karena tidak memperoleh ASI secara langsung. Orang tua ataupun mertua juga kadang kewalahan dengan rewelnya si cucu. Suami sahabat saya saat itu belum mendapatkan pekerjaan, akan tetapi juga tidak bisa mengurus anaknya sendiri, karena kurang telaten.

Keadaan yang membingungkan ini membuat sahabat saya resign dan fokus berada di rumah mengurus anak. Masalah di rumah selesai, akan tetapi masalah lain berlanjut. Istri kurang merasa bahagia karena tidak memiliki tabungan sendiri, dan nafkah yang diperoleh suami dirasa kurang sehingga masih membutuhkan bantuan finansial dari orang tua. Sebelumnya ketika sahabat saya memiliki penghasilan yang cukup, dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sendiri dan bahagia memiliki tabungan.

Seperti inilah gambaran keadaan keluarga yang banyak dialami masyarakat pada umumnya. Sebenarnya solusinya adalah apresiasi dan dukungan seorang suami dapat membuat istri bahagia dan meningkatkan kualitas hidup wanita.

 

3 dari 3 halaman

Pilihan dan Keputusan Menjadi Perempuan Sukses

Ilustrasi./copyright shutterstock.com/id/g/narith

Seorang suami seharusnya tidak merasa iri kepada istrinya yang bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih besar dibandingkan dirinya. Seorang suami yang tidak bisa mencarikan dan menanggung biaya pengasuh, seharusnya berterimakasih kepada sang istri karena sudah mau berada di rumah dengan mengorbankan cita-cita nya yang dapat diwujudkan jika tidak menjadi ibu rumah tangga.

Di zaman modern ini, seharusnya para suami tidak terlalu egois dengan cara memegang prinsip seperti zaman dahulu, yang mengatakan istri tidak baik bekerja di luar rumah, atau istri haram bekerja di luar rumah. Ketika seorang istri pulang bekerja lebih lambat dibandingkan suami, maka suami seharusnya mau membantu istri untuk membersihkan rumah, memasak dan mengurus anak, agar sang istri tidak terlalu lelah menanggung semua tanggung jawabnya. Karena seyogyanya, tanggung jawab mengurus rumah dan anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab istri.

Suami yang mau membantu pekerjaan rumah yang kebanyakan dianggap sepele oleh kaum lelaki, seperti menyapu, membuang sampah adalah bentuk dari apresiasi suami yang menghargai istri dan meringankan beban istri. Jadi kuncinya adalah saling pengertian, dan tidak menganggap gender yang satu lebih tinggi daripada gender yang lain. Merasa adanya persaingan antar pasangan, dan tidak saling menghormati dengan status dan perannya masing-masing, membuat kebanyakan wanita menadi tidak berdaya dan kurang sukses. Hidupnya menjadi sangat terikat dengan aturan suami dan menjadi tidak bebas. Wanita menjadi kurang bisa bereksplorasi dan mengembangkan kreativitas yang dimiliki.

Apa pun peran yang sedang dijalani istri saat ini, suami hendaknya memberikan dukungan dan penghargaan. Begitu juga sebaliknya, suami yang sedang meraih kesuksesan dan kemapanan butuh dukungan dan semangat dari sang istri. Jangan terpaku pada aturan kuno yang tidak sesuai dengan modernisasi saat ini.

Di negara-nnegara maju, tidak diangap sebuah masalah jika lelaki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan mencuci baju. Hal tersebut tidak dianggap merendahkan kehormatan lelaki atau suami, justru suami merasa bangga dan bermanfaat karena dapat meringankan beban pekerjaan istri. Di sinilah perlu kita mengubah pola pikir yang terlalu kolot dan tidak sesuai dengan keadaan globalisasi saat ini.

Kesuksesan seorang wanita bukan hanya ditentukan oleh faktor apresiasi dan dukungan dari suami, kita sebagai wanita juga harus tetap teguh pada pendirian dan konsistensi melakukan pekerjaan yang sudah dipilih. Akan tetapi, apabila suami mau memberikan apresiasi dan segala macam bentuk dukungan secara tulus kepada istri, maka pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan kualitas hidup seorang wanita.

#ElevateWomen