Cyberbullying pada Remaja di Media Sosial Semakin Marak, Kenali Tanda-Tanda dan Cara Penanganannya Menurut Psikolog

Fimela Reporter diperbarui 22 Okt 2021, 17:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Angka kasus cyberbullying pada anak remaja di media sosial semakin meningkat, khususnya selama pandemi, ketika mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget-nya. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga kesehatan mental anak dan juga laporan yang diterima oleh Polda Metro Jaya, hasilnya sama-sama menunjukkan adanya kenaikan dari kasus perundungan, khususnya cyberbullying, yang paling banyak dialami oleh anak-anak usia remaja. 

Cyberbullying merupakan salah satu pemicu menurunnya kesehatan mental seseorang, di mana kondisi seseorang akan merasa tidak nyaman terhadap komentar ataupun informasi yang ditujukan untuk dirinya. Semua muatan tersebut dikirimkan melalui internet dengan sengaja dan bertujuan untuk menyakiti, mengintimidasi, menyebar kebohongan, serta menghina. 

“Akibatnya bisa sangat membahayakan, bukan hanya sebatas malu dan depresi, bahkan hingga tindakan bunuh diri. Sayangnya banyak korban yang lebih memilih untuk diam dan tidak mengadukan kasus yang menimpanya,” ujar pendiri Yayasan Sejiwa Diena Haryana, mengutip dari keterangan pers, Jumat (8/10). 

Maka dari itu, di sinilah pentingnya peran para orangtua untuk selalu mengawasi anak dalam bermedia sosial, dan mengamati kesehatan mental sang anak. 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Tanda-tanda Anak Menjadi Korban Cyberbullying

ilustrasi remaja yang terkena cyberbullying/1st footage/Shutterstock

Orangtua perlu tahu apa tanda-tanda ketika anak menjadi korban cyberbullying. Dalam hal ini, psikolog klinis perwakilan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Anna Surti Ariani menjabarkan 5 tanda ketika anak menjadi korban perundungan di media sosial. 

Berikut kelima tanda tersebut:

  1. Anak cenderung terus menggunakan gadget sehingga terjadi peningkatan frekuensi mereka dalam menggunakan gadget dalam satu hari. 
  2. Anak akan memberikan reaksi emosi sesaat setelah melihat gadget, yakni marah, sedih, ataupun takut.
  3. Mereka selalu menghindari diskusi dengan orang sekitarnya dan tak mau membahas perilaku dengan gadget-nya
  4. Dalam media sosialnya, anak seringkali membuat akun baru ataupun menghilangkan akun media sosialnya
  5. Jika anak biasanya suka terlibat dalam situasi sosial, ketika menjadi korban cyberbullying, anak cenderung selalu berusaha menarik diri dan menghindari situasi sosial, serta tidak tertarik untuk melakukan kegiatan kesukaannya. 

“Dalam situasi seperti ini, mereka akan selalu merasa layak disalahkan dan direndahkan, sehingga ini akan berdampak buruk bagi kesehatan mental mereka karena selalu merasa diri mereka rendah dibanding orang lainnya,” ujar Anna. 

3 dari 3 halaman

Dampak Buruk yang Terjadi

Ilustrasi remaja yang terkena cyberbullying/copyrightshutterstock/Chanintorn.v

Dalam hal ini, jika seorang anak selalu merasa diri mereka rendah, terdapat beberapa dampak buruk yang bisa berakibat fatal jika tindakan cyberbullying yang mereka alami ini tak segera ditangani. 

Anna menjelaskan bahwa korban cyberybullying cenderung akan selalu merasa malu, tertekan dan depresi ketika sering dihina dengan komentar-komentar jahat di media sosial.

“Mereka akan merasa sulit konsentrasi, prestasi akademisnya menurun, mengalami gangguan makan, bahkan hingga merasa depresi dan memiliki keinginan untuk bunuh diri jika tak secepatnya ditangani,” jelas Anna. 

Ia menegaskan bahwa orangtua perlu peka dan sadar akan setiap perubahan perilaku anaknya sehingga sebelum semua terlambat, masalah ini masih bisa ditangani dan diatasi dengan bantuan profesional. 

Cara Penanganan Cyberbullying bagi Orangtua

Penanganan kasus cyberbullying ini memang tak mudah karena anak seringkali enggan untuk berbicara dan bercerita terkait apa yang sedang ia alami di media sosial. Terkadang remaja juga menganggap bahwa orangtua tak akan bisa untuk mengatasi permasalahan tersebut. 

Anna menegaskan, pada kondisi inilah orangtua berperan penting untuk selalu mencermati setiap perilaku anak, terutama ketika ia sedang bermain gadget. Lalu, ajak bicara langsung dan dorong ia untuk bercerita secara perlahan tanpa ada paksaan. 

“Dengan cara tersebut, maka perlahan ia akan membuka diri dan bercerita tentang permasalahan dirinya. Jika sudah diketahui akar permasalahannya, simpan semua tangkapan layar dari semua peristiwa, lalu laporkan ke platform media sosial, sekolah, hingga kepada penegak hukum,” pungkas Anna. 

Setelah itu, jangan tinggalkan anak untuk mengatasi semuanya sendiri. Berikan dia perlindungan dengan memberi ketenangan, dan tawarkan dia mendapatkan penanganan profesional dengan psikolog. 

“Sebagai orangtua, arahkan anak untuk memblok pelaku dan melaporkannya. Alihkan anak dari media sosial melalui kegiatan lain seperti hobi, berlibur, maupun hal-hal kreatif lainnya,” tutupnya. 

Penulis: Chrisstella Efivania

#ElevateWomen