Fimela.com, Jakarta Hubungan satu pihak, yang juga dikenal sebagai 'hubungan parasosial', berkembang di seluruh dunia termasuk di Asia Tenggara di tengah masa pandemi dan penguncian sosial COVID-19 yang terus berlanjut.
Sebuah studi global terhadap lebih dari 15.000 orang di 25 negara dari Kaspersky menemukan bahwa hampir setengah (47%) pengguna media sosial percaya bahwa influencer yang mereka ikuti telah memberi mereka 'pelarian dari kenyataan'.
Jumlahnya relatif lebih tinggi untuk Asia Tenggara, dimana wilayah ini menjadi yang pertama kali dilanda pandemi di luar Cina pada tahun 2020. Seperti, lebih dari tiga dari lima (61%) responden Asia Tenggara mengakui bahwa influencer membantu mereka melupakan dan melarikan diri dari kenyataan.
Secara global, setidaknya lebih dari satu dari lima (21%) percaya bahwa mereka 'bisa berteman' dengan influencer yang mereka ikuti, dengan data Asia Tenggara dua digit lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 31%. Selain itu, 22% responden global juga mengaku telah mengirim pesan pribadi ke influencer.
Terlepas dari sebagian besar fenomena virtual dari hubungan ini, lebih dari sepertiga (34%) pengguna media sosial bahkan telah bertemu dengan beberapa influencer yang mereka ikuti dalam kehidupan nyata, dan persentase tinggi sebesar 56% di wilayah Asia Tenggara.
Selama masa penguncian sosial di dunia berturut-turut, banyak yang menghabiskan waktu lama di rumah dan beralih ke teman virtual untuk menggantikan kehidupan sosial yang hilang. Jenis hubungan sepihak ini memiliki daya tarik yang kuat terhadap banyak orang.
Lebih dari tujuh dari 10 (77%) di sini mengatakan bahwa mereka banyak mendapatkan hal baru dari influencer yang mereka ikuti di media sosial dari berbagai bidang seperti kesehatan, hobi, gaya, dan berita.
Lebih dari satu dari dua (55%) juga mengungkapkan bahwa mengikuti orang terkenal secara online telah memberikan mereka sebuah hubungan yang tidak pernah didapatkan sebelumnya dengan orang lain.Hampir setengah (44%) mengatakan mereka 'bergantung' pada konten influencer dan hampir dua dari 10 (17%) bahkan mengatakan mereka merasa hampa jika tidak memiliki keterlibatan dengan influencer.
Berinterkasi dengan berbagai cara
Sementara hubungan parasosial ini memang ada, pengguna media sosial di Asia Tenggara juga melakukan tindakan untuk dapat berhubungan dengan influencer yang mereka ikuti. Banyak yang mencari kontak langsung dengan cara mengomentari posting influencer (46%) atau memberikan reaksi terhadap posting atau cerita mereka (39%).
Layaknya penggemar terhadap idola, pengguna media sosial di sini juga berinteraksi dengan influencer dalam berbagai cara seperti menghadiri acara yang mereka selenggarakan (19%), mengirim fan-art (16%), mengirim pesan secara pribadi (15%), berhubungan melalui pesan pribadi (15%), email (15%) dan bahkan menelepon influencer atau agensi mereka secara langsung (12%).
Di sini menjadi jelas bahwa media sosial merupakan bagian penting bagi banyak orang selama pandemi, dengan hampir enam dari 10 (59%) secara global mengatakan media sosial telah menyediakan koneksi penting bagi mereka selama pandemi. Angka ini tertinggi di kalangan kelompok muda berusia 18-34 tahun (71%), yang cukup mengandalkan media sosial untuk konektivitas.
Orang-orang di Vietnam (94%) dan Afrika Selatan (79%) adalah yang paling mungkin menganggap media sosial merupakan koneksi penting bagi mereka, meskipun sepertiga orang di seluruh dunia (33%) mengatakan mereka menjadi kurang toleran terhadap orang-orang di media sosial selama pandemi.
“Meskipun lebih dari setengah (56%) orang telah aktif di media sosial selama lebih dari satu dekade, banyak dari kita masih mencari tahu bagaimana untuk menyeimbangkan hal positif dari media sosial dengan yang negatif,” kata David Emm, peneliti keamanan utama di Kaspersky
“Sekarang, kita telah memasuki era baru di mana hubungan virtual sebuah hal yang umum. Hubungan parasosial ini sering kali dapat menyebabkan terlalu banyak berbagi atau oversharing di media sosial, karena orang-orang ingin terus mengembangkan hubungan ini. Namun, di sisi lain ini juga dapat menyebabkan sejumlah besar konsekuensi negatif dan tak terduga – upaya peretasan dan phishing, doxing dan intimidasi, merugikan reputasi online, dan lain lain.” Tambahnya.
“Dapat dimengerti dengan adanya masa lockdown yang kita semua alami selama setahun terakhir dapat membuat orang-orang akan tertarik pada hubungan online dan parasosial untuk mencegah kesepian dan kebosanan, tetapi sangat penting juga bagi semua untuk menyadari konsekuensi dari berbagi secara online dan dapat mengambil pendekatan yang lebih seimbang,” tutup Emm.