Gaji Rp300 Ribu Kurang, Gaji Rp3 Juta Masih Berutang

Endah Wijayanti diperbarui 30 Sep 2021, 10:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap harinya kita berurusan dengan uang. Menghasilkan uang hingga mengatur uang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Bahkan masing-masing dari kita punya cara tersendiri dalam memaknai uang. Dalam tulisan kali ini, Sahabat Fimela berbagi sudut pandang tentang uang yang diikutsertakan dalam Aku dan Uang: Berbagi Kisah tentang Suka Duka Mengatur Keuangan. Selengkapnya, yuk langsung simak di sini.

***

Oleh: Albiwi

Teringat masa awal menikah, suami hanya bekerja sebagai seorang guru honorer di salah satu Madrasah Ibtidaiyah swasta atau setara dengan Sekolah Dasar di salah satu kecamatan di kota Nganjuk yang juga disebut sebagai kota angin. 

Bisa dibayangkan berapa besar gaji seorang guru honorer. Jika dihitung-hitung, honor yang diterima suami saya saat itu sekitar tiga ratus ribu rupiah perbulan. Itupun tidak dibayarkan di awal bulan, melainkan setelah terkumpul dua sampai tiga bulan. Jika dikalkulasi, uang sembilan ratus ribu rupiah tentu tak akan cukup untuk biaya hidup sehari-hari selama tiga bulan.

Bersyukurnya, saat itu kami masih tinggal satu atap dengan orang tua saya, sehingga ada orang yang menyokong perekonomian kami. Meski sesekali kami berhutang, namun sebagian kebutuhan hidup kami, khususnya yang berhubungan dengan bahan pangan dan sembako, dibantu oleh orang tua saya. 

Saat itu saya berpikir, betapa kurang beruntungnya kami. Harus hidup layaknya benalu pada orang tua. Pun kegiatan gali lobang tutup lobang seperti menjadi rutinitas tri semester suami. Apalagi saat itu saya sama sekali tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Sempat Masih Bergantung pada Orangtua

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Narong+Yuenyongkanokkul

Masih terpatri dalam ingatan, saat saya mengandung anak pertama dan tiba waktunya untuk melahirkan. Walaupun suami baru saja mendapatkan gaji setelah tiga bulan, namun biaya persalinan juga tak sedikit. Jika dihitung dengan nalar, tentu uang kami saat itu masih kurang untuk menutup biaya lahiran, meski hanya di sebuah klinik persalinan di desa. 

Akhirnya dengan memberanikan diri, suami dan saya meminjam uang pada orang tua saya untuk berjaga-jaga jika uang kami tidak mencukupi. Dan betapa baiknya ayah dan ibu saya, mereka dengan ikhlas membantu kami, menenangkan perasaan dan pikiran kami agar berkonsentrasi hanya kepada persalinan saja. 

Dan betapa hati kami tak lepas dari rasa syukur kepada Tuhan, setelah persalinan yang berjalan dengan lancar dan aman, biaya untuk persalinan pun tak jauh dari jumlah gaji suami saya. Meski kami harus berhutang, tapi itu tidaklah banyak. Itupun diikhlaskan dan tak dianggap utang oleh orang tua saya.

Setelah kelahiran anak pertama, suami saya diangkat sebagai pegawai negeri sipil, yang kini bisa disebut juga sebagai aparatur sipil negara. Mungkin itu yang disebut sebagai rejeki anak.

Tentunya gaji suami tidak lagi tiga ratus ribu rupiah perbulan. Yaitu berkisar tiga juta rupiah, ditambah juga gaji tunjangan sertifikasi guru yang berjumlah hampir sama. Bisa dibayangkan, berkali-kali lipat dari gaji awal sebagai guru honorer. 

Saya juga mulai mengikuti jejak orang tua saya untuk mengatur dan mengolah lahan pertanian. Meski tak terlalu luas, namun hasil panen dari lahan yang saya garap cukup untuk membantu suami memenuhi kebutuhan hidup. Setidaknya kami tak perlu membeli beras dan hanya perlu memanggil penggiling padi keliling untuk menggiling gabah hasil panenan untuk dijadikan sebagai beras. Sebagai catatan, saya selalu menimbun gabah secukupnya, setidaknya sampai tiba masa panenan berikutnya. Selebihnya, gabah yang saya panen dijual untuk menutupi biaya bercocok tanam.

Sedikit merepotkan, tapi kami tak perlu kehilangan banyak uang untuk membeli beras di toko, apalagi beras kami tentunya sangat alami dan sehat.

 

3 dari 3 halaman

Mensyukuri Setiap Rezeki

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/maroke

Yang membuat bahagia, orang tua saya tak perlu lagi menyokong perekonomian kami, khususnya untuk kehidupan sehari-hari.

Jika dilihat dari jumlah gaji suami, pun sedikit bantuan dari usaha pertanian saya, tentunya kami tak perlu lagi memiliki rasa kekhawatiran akan kekurangan rejeki.

Nyatanya, seiring bertambahnya rejeki yang diberikan Tuhan pada kami, bertambah pula kebutuhan dan keperluan kami. Jika dulu anak kami hanya satu orang, kini kami memiliki tiga orang anak yang semuanya masih mengenyam pendidikan. Biaya sekolah dan keperluan sekolah harus dikalikan tiga, belum uang saku dan kebutuhan tersier anak-anak yang dikalikan tiga juga. 

Jika dulu kami belum terlalu tertarik berinvestasi untuk masa depan, kini kami berusaha keras membeli sebidang tanah dengan cara meminjam uang di koperasi simpan pinjam pada instansi suami. Setiap bulannya, gaji suami saya akan dipotong beberapa persen untuk membayar utang.

Nyatanya, setiap akhir bulan, kami tetap harus menghemat uang agar cukup sampai tiba tanggal satu. Tak jarang, suami meminjam uang pada rekan kerja, dan akan dikembalikan saat tanggal muda. Kegiatan gali lobang tutup lobang tidak benar-benar berhenti meski penghasilan suami di atas rata-rata.

Jika dulu kami hanya sanggup membeli tahu dan tempe sebagai lauk, kini tahu dan tempe tetap ada meski ada tambahan telur ayam di meja makan.

Namun apa pun nasib kami, kami tak lepas dari rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan rejeki yang dilimpahkan kepada keluarga kami. 

Gaji tiga ratus ribu rupiah kurang, gaji tiga juta pun masih berutang.

Tapi tak masalah. Seperti kata suami yang selalu dia tekankan pada saya, "setiap orang memiliki rejekinya masing-masing. Ada rejeki suami, ada rejeki istri, juga ada rejeki anak-anak. Meski itu tak harus berupa harta benda, bisa jadi berupa kesehatan dan anak-anak yang berbakti pada orangtuanya. Maka sewajarnya jika kita tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pemberi Rezeki."

#ElevateWomen