Setelah Menikah, Penting untuk Bisa Hidup Mandiri tanpa Membebani Orangtua Lagi

Endah Wijayanti diperbarui 25 Sep 2021, 11:39 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap harinya kita berurusan dengan uang. Menghasilkan uang hingga mengatur uang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Bahkan masing-masing dari kita punya cara tersendiri dalam memaknai uang. Dalam tulisan kali ini, Sahabat Fimela berbagi sudut pandang tentang uang yang diikutsertakan dalam Aku dan Uang: Berbagi Kisah tentang Suka Duka Mengatur Keuangan. Selengkapnya, yuk langsung simak di sini.

***

Oleh: Meliana Aryuni

"Berbagilah dengan keluarga dan tetanggamu. Bila suatu saat mengalami kesulitan, mereka yang akan membantumu."

Sahabat, tahukah kalian bahwa meskipun tinggal jauh di perantauan, keluarga tetap memikirkan kita, terutama orang tua. Di saat keadaan sulit, orang tua menawarkan bantuan tanpa kita minta. Jadi, alangkah sedihnya bila kita tidak memiliki keluarga. Bagaimana dengan tetangga dekat? Bukankah tetangga adalah orang terdekat yang bisa dimintai pertolongan?

Memang benar bahwa tinggal di perantauan membuat kita dekat dengan tetangga. Tidak jarang kami saling memberi, bertukar makanan, dan saling mengunjungi. Namun, aku tahu bahwa tetangga di sini adalah tetangga yang baik, maka untuk urusan keuangan, aku pikir bukan pilihan yang tepat untuk berbagi dengan mereka. Aku tahu kehidupan ekonomi mereka. Mereka hanya mengandalkan kehidupan di sektor pertanian dan perkebunan. 

Seharusnya jika aku bisa membantu keuangan mereka, maka aku akan melakukannya. Namun, aku hanya bisa memberikan bantuan kecil yang aku mampu. Bagi mereka, bantuan kecil itu sangat berarti. Pun bagiku, itu adalah bentuk kasih sayang yang bisa diberikan untuk mereka.

"Kamu bisa pergi jauh, tetapi keluarga adalah tempat yang paling tepat dan dekat di hatimu untuk menceritakan permasalahanmu."

Kata-kata itu sangat kuingat sekali. Kalimat sederhana itu terucap oleh seorang teman. Aku pun ingin berbuat baik kepada semua orang, termasuk kepada tetangga dan keluargaku. Namun, untuk masalah keuangan, aku merasa sangat tidak pantas bila membagikan kesulitan keuanganku kepada mereka. Yang harus kubagikan adalah cerita yang membahagiakan, bukan kesedihan.

Di sini aku pun pernah merasakan keadaan keuangan yang paling buruk. Saat akhir bulan, aku dan suami harus mengencangkan ikat pinggang dengan sekencang-kencangnya. Kami tidak ingin keluarga tahu keadaan kami saat itu. Kami harus berusaha sendiri dan keluarga hanya tahu bahwa keadaan kami baik-baik saja. Aku bersyukur, masa sulit seperti itu kami lalui.

Seperti yang pernah aku ceritakan di kisah sebelum ini bahwa untuk mengatasi keuangan kami yang bolong-bolong itu, kami harus mencari lubang baru, yaitu berdagang. Di sini, aku bisa berbisnis anggrek spesies dan bibit tanaman. Perlahan usaha itu membuahkan hasil. Aku bersyukur kami bisa melewati masa itu. 

2 dari 2 halaman

Berupaya Lebih Mandiri secara Finansial

ilustrasi./copyright by Dragon Images (Shutterstock)

Di desa ini, kami harus membangun ekonomi dari nol. Bisnis anggrek spesies dan bibit tanaman menjadi fokus kami saat itu. Namun, pandemi membuat kami harus menghentikan bisnis ini untuk sementara waktu. Aku dan suami berusaha untuk menjalani kehidupan di desa dengan sederhana dan penuh rasa penerimaan kepada kehidupan baru ini. 

Ada satu kebiasaan yang sangat membantu pengeluaran kami di sini, yaitu bercocok tanam. Kebiasaan itu baru aku lakukan di sini. Tahukah Sahabat bahwa dengan bercocok tanam ada bagian pengeluaran yang bisa dipangkas dan dialihkan ke bagian yang lain. Kebutuhan pangan yang setiap hari harus dikeluarkan ternyata tidak sedikit loh. Dengan menanam sayuran dan cabai sendiri itu sudah sangat membantu kehidupan kami.

Kekayaan terbesar kami adalah qanaah, yaitu sikap menerima kenyataan dan menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur. Kami menikmati kehidupan ini. Namun, orang tua menganggap kehidupan ekonomi kami berada dalam keadaan yang 'tidak baik'. Dengan kalkulasi yang dilakukan orang tua terhadap keuangan kami, mereka diam-diam berinisiatif membantu kami. 

Awalnya ada rasa enggan untuk menerima tawaran kedua orang tuaku itu. Mereka sangat teliti, mereka akhirnya tahu keadaan kami dan banyak membantu saat kami mulai hidup di sini. 

Aku tidak meragukan bantuan yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Mereka akan membantu tanpa pamrih, tanpa bunga, dan bisa dibayar kapan saja bahkan dianggap lunas. Hal itulah yang menambah rasa malu aku dan suami untuk terus menerima bantuan dari orang tua.

Setelah kehidupan mulai stabil, akhirnya kami bisa melonggarkan bantuan dari kedua orang tuaku. Meskipun mereka merasa tidak direpotkan, kami berusaha untuk berdiri dengan kaki sendiri. Menurut kami, seharusnya kami yang banyak memberi kesenangan kepada mereka. Namun, kenyataannya kami selalu merepotkan mereka.

#ElevateWomen