Famestory Ezra Mandira, Proses Pendewasaan Diri dan Babak Baru dalam Hidup

Syifa Ismalia diperbarui 21 Sep 2021, 18:26 WIB

Fimela.com, Jakarta Pandemi COVID-19 yang tak kunjung berakhir telah memaksa banyak orang untuk berjuang dan menerima kondisi dunia yang baru. Hal tersebut juga dialami musisi Ezra Mandira Sugandi, gitaris band HIVI! yang mengaku menghadapi banyak tantangan besar di masa pandemi, termasuk berjuang untuk lulus S2 bersamaan dengan menjalani peran barunya sebagai seorang ayah.

Ya, selama masa pandemi Ezra begitu sibuk merampungkan pendidikan S2 di Teknik Industri Universitas Indonesia. Keharusannya menghabiskan banyak waktu di rumah, ditambah tekanan menyelesaikan tesis telah membuat Ezra sempat kesulitan. Meski begitu ia telah berhasil keluar dari tekanan dan kesibukan yang menjemukan.

Bicara soal menjaga kewarasan di masa pandemi, diakui Ezra, dirinya tak selalu memaksakan diri menyelesaikan berbagai tugas dan pekerjaan secara bersamaan. Ezra menyebut, selalu memberi ruang untuk diri sendiri melakukan hal yang menyenangkan adalah cara terbaik dalam menjaga kewarasan di masa pandemi.

"Masa pandemi sangat memukul dan tesis juga membuat terasa dipukul lagi. Di masa seperti ini, saya cenderung merasa jenuh, bosan, tapi saya punya cara untuk mengatasinya dengan melakukan kegiatan lain, yang bisa mengusir kejenuhan itu," kata Ezra Mandira dalam wawancara eksklusif secara virtual dengan FIMELA, pada 25 Agustus 2021.

What's On Fimela
Ezra Mandira baru saja menapaki fase baru dalam hidup, dengan menjadi seorang ayah. (Foto: Adrian Putra, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

"Dengar lagu, main game, nonton video, film, atau melakukan yang lain yang kita anggap bisa me-refresh dan menjaga kewarasan. Tetapi harus ingat untuk tetap melakukan tanggung jawab. Kayak deadline minggu depan harus ngerjain sedikit-dikit. Kalau bosan ya kerjain lagi nanti. Jangan pas deadline baru mau ngerjain semua, nanti yang ada makin nggak waras kalau gitu," tuturnya.

Bebarengan dengan perjuangannya menyelesaikan pendidikan di jenjang S2, Ezra pun menapaki fase baru dalam hidup sebagai seorang ayah. Seperti yang diketahui, Ezra menikah dengan Anjana Demira setahun yang lalu dan baru saja dikaruniai seorang anak yang diberi nama Aksara Eisa Madera.

Bagi Ezra peran barunya sebagai seorang ayah adalah hal lain yang patut disyukuri saat ini. Sama halnya dengan jenjang pendidikan akademis yang diperjuangkan, menjadi ayah menurutnya adalah proses pembelajaran lain yang harus dijalani.

"Menyenangkan jadi ayah, ini hal baru yang nggak bisa dipelajari secara teori dari kampus, itu nggak ada. Kita harus lakukan yang terbaik, riset dan sebagainya, tapi nggak ada kuliahnya. Kesannya, challenge akan selalu ada di setiap fase kehidupan," tambahnya.

"Menurutku ini fase yang semua orang akan melalui juga. Dan aku melihat ini sebagai proses pendewasaan seiring berjalannya waktu, ketika S1 seperti apa, ketika lulus belajar lagi S2 seperti apa, ketika di selang S2 juga aku memutuskan menikah. Itu juga merupakan pendewasaan," aku Ezra.

Kepada FIMELA, Ezra Mandira juga banyak bercerita soal kehidupannya selama masa pademi, serta berbagai tantangan hidup dari berbagai fase kehidupan yang ia lewati, termasuk penggarapan tesis, dorongan melanjutkan pendidikan S2 hingga keinginan untuk menjadi seorang akademisi tanpa meninggalkan kariernya sebagai musisi. Berikut ini petikan wawancara lengkapnya. 

2 dari 4 halaman

Haus akan Ilmu Pengetahuan

Ezra Mandira (Foto: Adrian Putra, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diakui Ezra Mandira tak lain karena dorongan diri sendiri untuk mendapatkan pengalaman baru yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Beberapa tahun pasca sukses mendapat gelar sarjana, Ezra merasa masih haus akan ilmu pengetahuan sehingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Ingin membuka wawasan dan ketertarikan besarnya di industri musik diakuinya menjadi alasan membahas konseptual bisnis model di industri musik. Ssaat ini Ezra pun menjadi satu-satunya mahasiswa Teknik Industri Universitas Indonesia yang mengangkat masalah tersebut ke dalam sebuah penelitian.

Dorongan apa yang membuat Anda memutuskan melangkah ke jenjang S2?

Motivasi menjalankan S2 dari aku sendiri. Aku memang pada dasarnya melihat ini bisa menjadi satu opportunity untuk belajar lebih jauh lagi, dengan lingkungan belajar yang beda. Beda dengan kerja, kalau di kampus ada pandangan baru soal gimana melihat suatu masalah. Aku dapat insight dari situ. Aku jadikan motivasi diri sendiri, kalau belajar, nggak cuma cari gelar, tapi ada ilmu pengetahuan lebih banyak dan lebih dalam. Jadi bukan dari orang tua motivasinya, tapi diri aku sendiri.

Kenapa Anda mengambil kuliah di jurusan Teknik Industri?

Banyak banget yang nanya ambil itu, mungkin jawaban paling tepat dari aku, paling pas, enaknya tinggal lanjutin saja. S1 sudah pernah, S2 oke deh tinggal lanjutkan, pembahasan S2 lebih ke bisnis juga. Istilahnya aku ambil magister bisnis dengan ilmu pengetahuan teknik.

Perbedaan apa yang dirasakan selama menjalani pendidikan S1 dan S2?

Sangat berbeda, kalau ditanya kesulitan apa di S2 dengan S1 karena, S1 itu package-nya di desain banyak, memenuhi kompetensi sarjana. S2 kan lanjutan, SKS nggak banyak kayak S1. Ketika dilihat dari mata kuliah dan waktu nggak kayak S1, di S2 ini memiliki banyak waktu senggang. Tinggal diatur saja waktu kuliah dan melakukan pekerjaan jadi musisi di Hivi. Jadi sebenarnya hampir sama kayak S1. Waktu S1 bagi kerjaan dan ngampus, begitu juga S2 ini. Cuma karena waktu lebih banyak senggang jadi ngatur lebih mudah, cuma challenge-nya lebih terasa.

Menjalani perkuliahan di masa pandemi, kendala apa saja yang Anda alami?

Sebenarnya aku melalui di dua masa, masa sebelum pandemi dan saat pandemi. Perbedaannya pada dasarnya jadi nggak bisa diskusi langsung ketemu sama dosen, itu berpengaruh sekali. Dari segi tanya jawab, penggalian ilmunya pun pastinya jadi berbeda. Sekarang juga harus online, pastinya kan kita harus proaktif dari diri sendiri, lebih ke diri sendiri dulu, kalau benar-benar nggak tau baru tanya (ke dosen).

Secara proses perkuliahan alhamdulillah sudah selesai sebelum pandemi. Jadi sisanya adalah bimbingan dan diskusi sama teman dan dosen di masa pandemi ini. Kendalanya adalah situasi dan kondisinya tidak memungkinkan untuk ketemu dan bisa diskusi langsung.

Kemudian bagaimana dengan proses penyusunan tesis?

Kebetulan kan aku S1 teknik industri juga di salah satu perguruan tinggi swasta dan di situ aku belajar bahwa teknik industri itu tidak belajar tentang pabrik dan segala macam yang sama industrial environment. Bahwa industri itu ada macam-macam, industri film, industri musik, industri yang lainnya pun termasuk. Nah dari S1 ini pun aku kebetulan dulu ambil skripsinya tentang musik juga. Jadi implementasi system engineering dalam industri musik, itu (skripsi) S1.

Selang tiga tahun aku berupaya mengambil S2 teknik industri lagi, karena aku pikir aku ingin mendalami ini, tapi dikaitkan dengan industri yang aku jalani sekarang, industri musik. Pas awal-awal kuliah S2 ya aku coba ambil kelas-kelas yang rasanya aku butuh untuk penyusunan tesis S2 ku. Jadi kalau dibilang dari awal kuliah S2, iya dari awal kuliah S2 memang udah kepikiran untuk ambil judulnya tentang musik. Tapi kalau 'seperti apa' itu baru waktu pas mulai nyusun. Aku diskusi sama dosen.

Ezra Mandira telah dinyatakan lulus S2 dari Teknik Industri Universitas Indonesia. (Foto: Adrian Putra, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Kendala penyusunan dan pengumpulan data untuk tesisnya seperti apa?

Alhamdulillah di kampusku ada perpustakaan online. Jadi bisa cari di situ. Untuk cari jurnal dan segala macam, kebetulan dengan tema yang aku ambil pun ini bukan suatu tema yang akan banyak ditemukan di perpustakaan di kampus. Jadi aku banyak ambil referensi dari luar negeri juga, jadi secara pengambilan datanya pun secara online.

Aku memang mencari jurnal internasional dan itu aku coba terapkan di Indonesia dan aku lihat kira-kira perbedaannya apa sih. Memang ketika melihat jurnal-jurnal di sini pun belum ada yang mengacu terlalu dalam ke situ, jadi aku coba cari referensi dari lua. Kalau dari perpustakaan kampus itu ada juga beberapa tapi lebih general. Paling kalau pengambilan data tambahannya berdasarkan diskusi sama narasumber-narasumber.

Berapa lama Anda menyelesaikan tesisnya?

Kalau tesis berapa lama ngerjainnya itu dari 2018 akhir sudah mulai, tapi putus-putus. Kalau dihitung-hitung dua tahunan. Tapi penyusunan baru dirampungkan selama fokus sebulan, juni dikerjakan, juli sidang, kemudian dinyatakan lulus setelah sidang, setelah itu revisi. Kalau penulisan, presentasi sampai sidang butuh waktu 1 tahun.

Kendala besar apa yang dialami selama meyusun tesis di masa pandemi ini?

Kendala waktu, karena harus ada report, aku ngerjain di last minute. Ini sebenarnya nggak baik, tapi aku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan, risikonya seperti ini kalau ditunda-tunda. Sudah melewati fase ini, ya harus diselesaikan. Kendalanya yah manajemen waktunya di waktu yang benar-benar singkat, aku harus padatin waktu, kapan ngerjain ini dan kerjaan lain.

Bagi Anda, seberapa penting gelar pendidikan bagi seorang entertainer?

Bisa jadi subjektif sekali, menurutku belajar adalah penting, mau itu di perguruan tinggi atau tidak. Tapi belajar di perguruan tinggi jadi bonus. Pendidikan yang berbeda akan memberikan benefit yang beda pula. Ada manfaat juga (kuliah), belajar bagaimana kita bersosialisasi dengan dosen, ketemu orang baru, adaptasi dengan orang baru, challenge-nya beda-beda.

Kampus itu memberikan kita simulasi akan dunia pekerjaan. Aku bisa mendapatkan ilmu yang dibutuhkan di kampus, itu yang aku rasa mungkin perbedaan belajar di perguruan tinggi atau nggak. Kalau perlu atau nggaknya ya balik lagi ke diri masing-masing sih. (Aku) nggak berhak menentukan harus perguruan tinggi. Bukan hal yang mutlak, tapi kalau bisa dilakukan, kenapa nggak? Karena di sini ladang pelajaran yang baru dan bisa belajar hal baru lagi.

3 dari 4 halaman

Kontribusi dan Kehidupan Baru

Ezra Mandira telah dinyatakan lulus S2 dari Teknik Industri Universitas Indonesia. (Foto: Adrian Putra, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Setelah menyandang gelar magister, Ezra Mandira tetap ingin tetap berada di dunia entertainment yang telah membesarkan namanya. Ia juga berharap hal-hal yang telah dipelajari di bangku kuliah, bisa memberikan dampak baik untuk industri musik ke depannya. Meski begitu Ezra Mandira juga juga menyimpan keinginan lain untuk menjadi seorang akademisi, yang sesuai dengan bidang yang telah dipelajari sebelumnya. 

Akan menjadi apa seorang Ezra Mandira setelah lulus dan meraih gelar magister?

Sebenarnya bukan mau jadi apa, aku akan terus di industri (musik) ini. Semoga bisa tetap menghibur dengan proyek yang aku jalankan. Di balik itu, mau kasih kontribusi ke musik, dari apapun, ngajar juga bisa. Jadi apa pun yang bisa aku lakukan dari ilmu yang aku dapatkan dari kampus, harapannya bisa memberikan kontribusi baik untuk industri musik ya.

Selama menjalani proses perkuliahan, seperti apa dukungan dari member HiVi lainnya?

Ketika aku ambil S2, teman-teman Hivi support secara positif, mereka tidak mematahkan kan semangat, karena dengan belajar di kampus kami bisa dapat insight dan bisa diaplikasikan untuk kami ke depan. Manfaatnya juga nggak cuma untuk diri sendiri, tapi juga teman dan lingkungan terdekat bisa dapat manfaatnya yang tak terbatas. Kalau bisa kontribusi di musik Indonesia. Harapanku gitu dan teman-teman Hivi supportif, mendukung, karena S2 pengaturan jadwal nggak sulit. Nggak kayak Senin sampai Jumat kuliah, jadi santai kok.

(Foto: Adrian Putra, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Dampak dan perubahan nyata apa yang Anda rasakan di industri musik?

Dampak pandemi ke industri musik akan banyak adaptasi yang harus dilakukan agar tetap bisa berjalan. Aku lihat di sekeliling, ada teman di organisasi industri musik dan dapat informasi kalau kondisinya sudah membaik, walaupun masih banyak challenge.

Kalau mau industri musik kita maju, nggak cuma pemerintah yang gerak, semua harus gerak, musisi, supporting, creative semua bahu membahu, semua gerak lagi, survive di masa ini. Kita juga nggak tahu pandemi kapan selesai.

Bicara soal peran baru Anda sebagai Ayah, kesan apa yang dirasakan saat ini?

Menurutku ini fase yang semua orang akan melalui juga, dan aku melihat ini sebagai proses pendewasaan diri seiring proses ketika S1 seperti apa, ketika lulus kemudian belajar lagi S2, ketika di selang S2 juga aku memutuskan menikah. Itu pendewasaan. Chapter baru juga akan ada terus, tinggal bagaimana melewati dengan baik.

Tentunya menyenangkan jadi ayah, ini hal baru yang aku mau belajar secara teori dari kampus itu nggak ada. Kita harus lakukan yang terbaik, riset dan sebagainya, tapi nggak ada kuliahnya. Kesannya, challenge akan selalu ada di setiap fase kehidupan.

Terakhir, pesan untuk teman-teman di luar sana yang masih berjuang untuk lulus di tengah pandemi ...

Yang mau lulus, apapun yang sedang dilakukan, tetap semangat, ingat tujuan awalnya seperti apa. Tetap menjaga kewarasan diri dengan diselingi kegiatan yang bersifat refreshing, tetap menjaga kewarasan hati dan jiwa dan tetap melakukan hal yang harus dilakukan.

Pastinya di pandemi banyak hal yang harus kita beradaptasi. Challenge-nya banyak sekali. Kita menerjang badai yang sangat besar tapi kapal kita beda-beda ada yang kecil, besar, misal kapal besar pas ada badai besar, goncangannya nggak berasa, kalau yang kecil akan sangat terasa dampaknya. Gimana caranya dengan kapasitas kapal yang kita punya bisa berjuang melalui badai bersama dan bisa lolos sama-sama. Saling bantu juga.

 
4 dari 4 halaman

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini