Mulai Produksi 2022, Harga Vaksin Merah Putih Diharapkan Hanya Rp71 Ribu

Anisha Saktian Putri diperbarui 17 Sep 2021, 09:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Vaksin terus dilaksanakan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.  9 Jenis vaksin covid-19 di Indonesia telah kantongi izin BPOM.

Bahkan, vaksin merah putih garapan Pt Biotis Pharmaceutical Indonesia dan Universitas Airlangga dikatakan akan mulai diproduksi tahun depan.

Direktur Utama PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia, FX Sudirman, mengatakan harga vaksin Merah Putih tak lebih dari USD 5 atau sekitar Rp71 ribu.

"Mudah-mudahan kami bisa atau mengembangkan vaksin dan memproduksi vaksin dengan harga yang affordable, mudah-mudahan bisa kurang dari USD 5," katanya melansir liputan6.com dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (15/9/2021).

Dengan harga tersebut, ia berharap mampu menjangkau masyarakat luas dengan harga yang bisa ditanggung pemerintah. Bahkan, ia mengatakan harga tersebut akan lebih murah dari belanja vaksin pemerintah dari luar negeri.

Dengan asumsi kurs Rupiah terhadap Dolar AS sebesar Rp 14.200, berarti harga satu dosis vaksin akan berkisar Rp 71.000. Diketahui, pemerintah menganggarkan Rp 54,46 triliun untuk belanja vaksin tahun ini.

Sudirman mengatakan untuk mendapatkan harga yang murah perlu ada dukungan dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. Apalagi terkait biaya soal alat atau bahan baku yang dibutuhkan yang masih harus diperoleh dari luar negeri.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Dua hal yang dipelajari dari Farmasi Global

Vaksin /unsplash Mika

Melansir Liputan6.com, Sudirman menyampikan tentu pihaknya perlu melihat dan belajar dari industri farmasi global di luar, bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan vaksin dunia.

Dari situlah ia menemukan ada dua hal yang bisa dipelajari dari pola produksi perusahaan farmasi besar dalam memproduksi vaksin secara massal. Ia mengambil contoh dari perusahaan pembuat vaksin Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca, hingga Moderna.

Pertama perusahaan farmasi global tersebut memanfaatkan fasilitas yang ada di negaranya. Hal ini tentunya, kata Sudirman, mampu memotong waktu dalam pelaksanaan riset hingga produksi.

“Mereka kalau membuat fasilitas baru akan lama, logikanya bisa molor sampai 2-3 tahun. Itu fasilitasnya baru ada, dan baru mulai,” katanya.

Kedua adalah terkait supply chain logistik. Hal ini diakui Sudirman sebagai kelemahan di Indonesia. Jika perusahaan global tersebut mampu dengan mudah mengakses supply chain logistik terkait alat-alat yang dibutuhkan, sedangkan Indonesia masih perlu mendatangkan dari luar negeri.

“Karena bahan baku produksi vaksin ini kita perlu impor. Meski seed atau isolatnya itu berasal dari Indonesia, tapi agen media, peralatan sebagian besar kita impor dari luar,” katanya.

Dengan kemudahan akses logistik tersebut, maka industri farmasi global itu bisa secara cepat memenuhi kebutuhan vaksin di wilayahnya.

Ia mengatakan, dalam keadaan normal, pembuatan vaksin sendiri membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 5 tahun, bahkan ada yagn sampai 10 tahun.

“Bagaimana kita belajar dari AS dan China mereka dukung industri biofarmasi untuk percepat itu (riset dan izin produksi), AS itu mendukung dari proses pengembangan praklinik sampai klinik dan kepastian pembelian, sehingga produsen vaksin memiliki kepastian, ketika sudah jadi bisa dibeli pemerintah,” tuturnya.

#elevate women