Fimela.com, Jakarta Julie harus menunggu selama hampir 45 tahun untuk mendengar kata yang mengubah segalanya. Bukan "Aku mencintaimu," tapi "Kamu autis."
Dokter menilai Julie melalui layar laptop dan bertanya, "Bagaimana perasaanmu?" Pertanyaan yang berputar-putar di kepala Julie.
Julie mengusap rambutnya yang mulai beruban. "Aku tidak tahu. Terkejut, tapi juga tidak terkejut," katanya.
Diagnosis autisme tersebut sudah lama datang, Julie sudah menduganya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meminta rujukan hampir 2 tahun yang lalu.
Panel dokter yang menilai Julie adalah ahli di bidangnya, yaitu gangguan spektrum autisme. Mendengar kata gangguan saja membuat Julie merinding.
Dokter bertanya apakah ia merasa prosesnya membuatnya stres dan ia mengangguk. Tiga jam observasi, tes standar, riwayat pribadi, dan medis yang melelahkan, setelah itu, Julie berbaring di tempat tidurnya karena entah bagaimana ia merasa kelelahan karena harus duduk berbicara dengan orang asing.
Ia sendiri merasa lucu dengan rasa lelah yang dialaminya. Yang Julie lakukan hanya membuat daftar langkah-langkah menyikat gigi, menggambarkan apa yang terjadi dalam buku bergambar, dan mengarang cerita menggunakan benda-benda rumah tangga secara acak.
Julie tahu bahwa autisme adalah spektrum, bukan stereotip. Ia tahu ini setelah membesarkan seorang putra dalam spektrum selama 12 tahun terakhir.
What's On Fimela
powered by
Anak laki-laki Julie juga menderita autisme
Julie selalu menyukai musik dan buku dan ia membaca secara obsesif, tapi itu sebagian besar untuk melarikan diri dari kehidupan rumah tangganya. Saat Julie berusia 9 tahun, ia mendapatkan ayah tiri dan saudara tiri yang tidak pernah diinginkannya.
Oleh karena itu, Julie melarikan diri dengan membaca buku, ia suka berada di dalam kepala orang lain, dengan pikiran dan perasaan mereka yang terpetakan dengan sangat jelas, sehingga ia tidak perlu menebaknya. Ia suka memakai eyeliner hitam dan mengisi buku catatan dengan menulis puisi yang mengerikan.
Saat Julie memberitahu anaknya tentang diagnosis tersebut, anaknya menggelengkan kepalanya, karena merasa sang ibu tidak mengalami hal yang sama dengan dirinya. Milik Julie adalah jenis yang berbeda, tidak ada yang bisa membandingkan anak laki-laki berusia 12 tahun dengan seorang perempuan berusia 44 tahun.
Namun, Julie merasa yakin bahwa autisme mereka akan berpotongan di suatu tempat. Pertama, mereka memiliki hipersensitivitas yang sama terhadap sentuhan, suara, dan bau.
Lalu, keduanya mudah meledak. Anak laki-laki Julie cenderung akan meledak-ledak, sedangkan Julie sendiri akan berpura-pura.
Berpura-pura inilah yang menjadi masalah. Rasio anak perempuan autis terhadap anak laki-laki telah lama ditempatkan pada angka 1 banding 4.
Namun, di tahun 2017, sebuah meta analisis dari penelitian sebelumnya menemukan bahwa rasio tersebut sebenarnya lebih dekat ke 1 anak perempuan untuk setiap 3 anak laki-laki, yang menunjukkan bias gender yang signifikan. Faktanya, anak perempuan telah lama lolos karenna penelitian autisme secara historis diarahkan pada anak laki-laki.
Autisme terlihat sangat berbeda pada perempuan, karena mereka terkenal pandai menyembunyikan kebiasaan saat putus asa dan menyesuaikan diri. Contohnya, Julie tidak suka kontak mata lebih dari rekan laki-laki autisnya, namun ia telah melatih dirinya untuk melakukan hal tersebut dengan sangat menyakinkan, sehingga kebanyakan orang tidak akan menyadarinya.
Julie merasa lebih berdaya setelah akhirnya ia mengetahui dirinya autis
Saat ia berusia 18 tahun, Julie mencukur rambutnya hanya karena rambutnya membuatnya kesal. Di berbagai titik dalam hidupnya, Julie telah diberi resep antidepresan.
Selama 40 tahun, Julie tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang salah dalam dirinya, namun ia berjuang untuk menentukan apa itu. Ia autis.
Julie sering merasa kesepian dan ditolak, tanpa tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Pertemuan sosial selalu berakhir sebelum waktunya, karena Julie sering merasa kewalahan.
Gadis autis tumbuh menjadi perempuan autis. Jika tidak mau menyebutnya autisme, maka sebutlah depresi dan kecemasan atau penyakit mental lainnya.
Jika bisa mengenali autisme pada anak perempuan dan memberi mereka dukungan dan perasaan positif sejak dini, mungkin masalah kesehatan mental seperti ini bisa dihindari. Julie berharap hal-hal berbeda untuk generasi perempuan berikutnya.
Ia harap mereka tidak tumbuh dengan perasaan tersesat dan sendirian, terus menerus bertanya-tanya apa yang salah dengan mereka dan mengapa mereka tidak pantas berada di dunia ini. Julie senang mendapatkan diagnosisnya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Ia masih orang yang sama. Pada akhirnya autismenya, seperti anaknya, hanya sebuah label. Tapi label berfungsi sebagai penyembuh pada luka, kebingungan, dan rasa terisolasi yang telah lama dirasakannya.
Walaupun Julie masih mencoba untuk tidak memikirkan masa lalunya, ia berusaha melihat kembali gadis di dalam diri perempuannya. Sekarang setelah topengnya terlepas, ia bisa melihatnya dengan jelas.
Ia memahaminya lebih baik daripada yang ia lakukan selama 40 tahun pertama hidupnya. Julie bersumpah untuk memperlakukannya dengan lebih hati-hati dan penuh kasih untuk 40 tahun berikutnya.
#Elevate Women