Fimela.com, Jakarta Kanker paru saat ini adalah penyakit yang paling berbahaya di Indonesia karena faktanya kematian akibat kanker paru juga meningkat selama pandemi. Selama 2 tahun terakhir ini, kasus kematian yang disebabkan kanker paru diindikasikan setara dengan 4 orang meninggal setiap jamnya.
Kondisi ini diperburuk lagi selama masa pandemi yang masih belum mereda, karena prioritas pemerintah saat ini adalah untuk menanggulangi kasus COVID-19 untuk mengurangi jumlah kasus per harinya. Padahal, bahaya dari kanker paru ini sendiri jika tidak ditangani akan jauh lebih buruk daripada kondisi sebelum pandemi.
Pemerintah harus menjadikan penanganan kanker paru ini menjadi prioritas nasional, karena orang-orang penderita kanker paru jauh lebih berisiko terhadap kematian, terutama karena berisiko pula terpapar COVID-19 dan mendapatkan gejala berat karena virus COVID-19 akan memperburuk kondisi paru-paru dari si penderita kanker paru.
“Di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, orang-orang pejuang kanker jadi tak bisa seleluasa dulu untuk datang ke rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, karena semua rumah sakit didominasi oleh pasien COVID-19. Mereka akan berisiko terpapar jika datang ke rumah sakit. Maka dari itu, kontrol dan penyembuhan dari para pasien kanker paru ini rentan terhambat,” papar dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K), dalam webinar #LungTalk, pada Minggu (22/8).
Maka dari itu, dalam memeringati Hari Kanker Paru Sedunia, webinar yang mengundang para dokter dan penyintas kanker paru ini mendiskusikan secara menyeluruh mengenai situasi kanker paru dan rekomendasi untuk menuju penanganan kanker paru yang lebih baik, terutama bagi masyarakat dan para pejuang kanker di Indonesia. Berikut ulasan informasi selengkapnya.
What's On Fimela
powered by
Masyarakat kurang sadar akan kanker paru
Dokter Erlang Samoedro menjelaskan kondisi di Indonesia saat ini, khususnya untuk penyakit kanker paru sendiri sangat memprihatinkan karena masyarakat Indonesia masih kurang sadar akan penyakit kanker paru ini.
Padahal faktanya, Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki perokok terbesar di dunia, setelah Cina dan India. Hal inilah yang meningkatkan risiko setiap orang bisa terkena kanker paru, bukan hanya pada perokok aktif, tetapi juga bisa menyerang perokok pasif.
“Lebih dari 87% penyebab kanker paru di Indonesia adalah rokok, bisa karena penderitanya adalah perokok aktif, tapi kemungkinan juga bisa jadi perokok pasif. Maka dari itu, perlu adanya penekanan dan pengendalian rokok, sehingga kasus kanker paru di Indonesia bisa diminimalisir,” ujar dr. Erlang.
Selain itu, banyak sekali kasus kanker paru yang terlambat ditangani, karena kebanyakan pasien kanker paru baru datang ke dokter setelah ada di stadium 4 bahkan stadium akhir.
”Kanker paru ini sangat tinggi kematiannya karena lebih dari 80% pasien baru datang ke rumah sakit untuk ditangani ketika stadium akhir. Bahkan, banyak juga dari pasien yang tidak sadar bahwa dirinya terkena kanker paru. Ini terjadi karena tidak ada screening sejak awal, dan masih kurang sadarnya masyarakat terhadap bahaya dari penyakit ini,” tambahnya.
Kebanyakan orang Indonesia tidak sadar akan kanker paru karena tidak adanya gejala-gejala, sehingga belum bisa dideteksi. Hal ini juga berpengaruh pada fasilitas kesehatan yang bisa menyediakan alat deteksi dini kanker yang hanya terdapat pada rumah sakit di perkotaan saja.
Terkendala pandemi
Selain karena terbatasnya fasilitas kesehatan untuk para penderita kanker, deteksi dini dan penanganan dari kanker paru ini juga terkendala selama situasi pandemi.
Para penderita kanker paru jadi tak bisa kontrol bersama dokter seperti biasanya, karena kondisi rumah sakit sedang didominasi oleh para pasien COVID-19. Jika para pasien kanker paru tersebut harus kontrol ke rumah sakit, mereka akan sangat rentan terkena COVID-19, karena kondisi parunya yang sudah lemah.
“Di keadaan seperti sekarang, para dokter juga sebenarnya khawatir terhadap kondisi para pasien kanker paru. Di satu sisi mereka harus tetap kontrol rutin untuk memantau kesehatannya, tapi di sisi lain mereka sangat rentan akan COVID-19 ini. Jika mereka terpapar corona, mereka akan jauh lebih berisiko karena sudah punya penyakit komorbid, sehingga kapasitas parunya sudah terbatas dan semakin buruk,” ujar dr. Sita Laksmi, yang merupakan Dokter Spesialis Paru Konsultan Onkologi dalam webinar tersebut.
Belum lagi diperparah dengan kondisi PPKM dan fasilitas untuk penanganan kanker yang hanya ada di kota-kota besar seperti Jakarta, namun akses untuk masuk Jakarta sangat dibatasi. Maka mereka kesulitan untuk bisa menjangkau pengobatan kanker itu sendiri.
Maka dari itu, beberapa rumah sakit sekarang sudah menyediakan layanan telekonsultasi, agar para pasien kanker bisa tetap dipantau kesehatannya. “Walaupun telekonsultasi ini bisa membantu secara sederhana untuk pengontrolan, namun kekurangan dari layanan ini adalah biaya untuk konsultasi dan penebusan obatnya belum ter-cover oleh BPJS atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” tambah dr. Sita.
Pengobatan sangat mahal
Sebetulnya, obat untuk kanker paru sudah dicover oleh JKN dan layanan kesehatannya bisa terjamin oleh BPJS Kesehatan. Namun, dari keseluruhan total biaya pengobatan, biaya yang bisa terjamin hanya sekitar 3% saja. Belum lagi, di masa pandemi seperti ini, para pasien kanker paru diberikan obat imunoterapi untuk meningkatkan respons imun terhadap antitumor (antitumor immunity).
“Agar bisa mengaktualisasikan less hospital visit selama pandemi, biasanya para pasien kanker akan diberikan pengobatan yakni imunoterapi. Karena terapi lainnya sulit untuk dilaksanakan, akibat penuhnya rumah sakit dan mereka rentan terpapar virus yang jauh lebih ganas, yakni COVID-19. Namun kendalanya, obat imunoterapi ini biayanya cukup mahal, dan tidak ter-cover BPJS,” jelas dr. Sita.
Maka dari itu perlu adanya perhatian dari pemerintah bagi para penderita kanker paru ini, yang risiko kematiannya juga jauh lebih tinggi, terutama di masa pandemi ini.
Harapan bagi pemerintah
Koordinator Cancer Information and Support Center (CISC) Megawati Tanto, yang sekaligus seorang penyintas kanker paru menjelaskan bahwa perlu adanya kesadaran bagi pemerintah untuk bisa memperhatikan para pejuang kanker karena penyakit ini termasuk penyakit kronis berisiko tinggi terhadap kematian.
“Stakeholder kesehatan sekarang hanya fokus pada penanganan COVID. Hal ini yang berdampak secara signifikan pada pasien kanker dan penyakit lainnya. Di masa pandemi seperti sekarang ini, risiko kanker paru sangat besar, para pejuang kanker harus berobat ke rumah sakit, namun masih dihantui rasa takut terhadap COVID. Maka dari itu, mereka butuh pengobatan yang bisa didapatkan dari rumah,” jelas Megawati.
Dirinya mengharapkan agar para pasien kanker ini mendapatkan pengobatan terbaik, seperti imunoterapi yang dianjurkan para dokter selama kondisi masih di tengah pandemi seperti sekarang. Namun, karena besarnya biaya, pemerintah diharapkan bisa meng-cover biaya yang dibutuhkan dalam pengobatan tersebut.
“Pengobatan inovatif seperti imunoterapi untuk masa pandemi sangat dianjurkan, tapi kendalanya ini sangat mahal. Jika pemerintah hanya meng-cover biaya pengobatan sebesar 3% lewat BPJS dan JKN, kami berharap, bisa dikasih covering biaya yang lebih besar,” tambahnya.
Dirinya memberi pesan pada para pejuang kanker paru, agar bisa tetap semangat dan lebih memikirkan kapan dirinya akan sembuh. Megawati mengatakan bahwa semangat untuk sembuh sangat berpengaruh pada mental dan kesehatan fisik dari si pejuang kanker tersebut. “Saya nggak mengeluh. Semangat itulah yang banyak membantu saya menuju kesembuhan,” tutupnya.
Penulis: Chrisstella Efivania
#ElevateWomen