Grup Alumni adalah Tempat Menjalin Hubungan Baik, bukan Ajang Perdebatan

Endah Wijayanti diperbarui 21 Agu 2021, 10:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya cerita atau pengalaman tentang rasa rindu kepada kampung halaman, berbagai macam makanan khas daerahmu yang menggugah selera, hingga objek wisata yang bagai surga dunia? Atau punya cara tersendiri dalam memaknai cinta Indonesia? Pada bulan Agustus kali ini, kamu bisa membagikan semuanya dalam Lomba Share Your Stories bulan Agustus dengan tema Cinta Indonesia seperti tulisan yang dikirim oleh Sahabat Fimela ini.

***

Oleh: Ika Susanti

Pagi itu tanggal 17 Agustus 2021, di grup-grup obrolan online saya telah ramai ucapan syukur dan selamat atas Kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Banyak harapan dan doa yang diungkapkan untuk masa depan yang lebih baik dari tagline “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh".  

Harapan terbesar dari para penghuni grup adalah pandemi Covid-19 akan segera berakhir, dan kehidupan dapat kembali berjalan normal. Sehingga perekonomian Indonesia akan kembali bangkit, diikuti dengan perbaikan bidang-bidang lain di kehidupan masyarakat.

Tiba-tiba ada komentar nyeleneh dari salah satu penghuni grup alumni SMP kelas saya yang membuat saya terheran-heran. "Berbahagialah bagi yang merasa merdeka."  Lho, apakah dia merasa tidak merdeka? Mengapa dia merasa tidak merdeka?

Rupanya bukan saya saja yang heran dengan kalimat itu, teman-teman saya di grup juga ikut merasa heran.  Saat ditanya apa maksud pernyataannya, jawabannya tidak jelas, dan malah melebar kemana-mana menimbulkan polemik di dalam grup. Caranya memaknai kemerdekaan menurut saya tidak adil karena dikaitkan dengan pandangan politisnya yang tendesius.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Perbedaan Pandangan

Ilustrasi./Credit: pexels.com/AndreaPiacquadio

Teman saya yang nyeleneh ini memang sejak awal bersikap anti kelompok tertentu. Jejak digitalnya di media sosial cukup keras dalam menyampaikan pandangan-pandangan politisnya. Beberapa kali di grup sempat terlontar sikap kritisnya, yang bagi saya dan teman-teman sebenarnya cukup mengganggu. 

Saya dan teman-teman sudah sering mengingatkan, mulai dengan cara halus hingga dengan cara terang-terangan. Bukan perbedaan pandangan yang kami permasalahkan, tapi lebih pada bagaimana sikapnya yang egois itu mengancam persatuan dan kesatuan dalam grup kami. Dan benar saja, beberapa teman kami memutuskan pamit, keluar dari grup karena sudah merasa tidak nyaman di dalamnya.

Kejadian itu membuat saya dan teman-teman merasa sedih dan prihatin. Mengumpulkan alumni-alumni SMP kelas kami yang sudah menyebar kemana-mana setelah berpisah bertahun-tahun tidaklah mudah. Upaya saya dan teman-teman membangun persatuan dan kesatuan di grup ini dengan susah payah menjadi sia-sia. Padahal kami berasal dari kelas yang sama, sekolah yang sama, suku yang sama, mayoritas agama yang sama. Hanya karena satu orang dengan pandangan politik yang berbeda, hanya karena satu orang yang merasa tidak merdeka, dengan mudahnya membuat grup kami terpecah belah. 

Kami sungguh merasa malu memaknai kemerdekaan ini. Bagaimana kami bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, bila menjaga hubungan pertemanan dalam grup kecil saja kami tidak bisa? Apa yang dipesankan Bung Karno berpuluh tahun yang lalu, patut menjadi renungan "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Tapi itulah kenyataaannya. Perbedaan pandangan saat ini begitu mudahnya menimbulkan rasa permusuhan. Dan yang membuat kondisi makin sulit, perpecahan justru terjadi di antara teman-teman kita sendiri.

Apakah perbedaan pandangan juga menyebabkan seseorang merasa tidak merdeka? Pastinya ada sesuatu yang membuat teman saya ini sangat kecewa, sehingga merasa tidak merdeka di negeri sendiri.

Kekecewaannya itu terlihat jelas di cuitan-cuitan media sosialnya. Bagaimana seseorang yang dulu saya kenal sebagai pribadi yang santun, berubah menjadi sosok yang keras dengan kritik-kritiknya. Sayangnya kritik yang disampaikannya itu lebih bersifat menjatuhkan daripada membangun. Caranya mengungkapkan pendapat sungguh jauh dari kesantunan. Dan itulah yang banyak terjadi sekarang ini. Kemerdekaan berpendapat yang kebablasan, dan menjadi sangat tidak bertanggungjawab. Perbedaan pandangan ternyata juga menyebabkan hilangnya rasa saling menghormati dan menghargai antar bangsa sendiri.

3 dari 3 halaman

Memaknai Kemerdekaan

Ilustrasi. Sumber foto: unsplash.com/Andrej Lisakov.

Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan hampir seluruh sendi kehidupan kita, di bidang kesehatan, sosial hingga ekonomi. Persatuan dan kesatuan diperlukan bangsa ini untuk tangguh dan bertumbuh. Perbedaan pandangan mestinya tidak menimbulkan permusuhan. Perbedaan pandangan mestinya juga tidak menghilangkan rasa saling menghormati dan menghargai.

Bung Hatta berpuluh tahun lalupun sudah mengingatkan, "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar dari seuntaian pulau di peta."

Dalam sejarah perjuangan tokoh proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta pun tidak selalu sepaham, mereka juga bisa berbeda pandangan. Tapi mereka berdua adalah “Dwitunggal”, mereka berjuang bersama untuk satu visi, yaitu kemerdekaan Indonesia. Mereka secara personal tidak bermusuhan satu sama lain, mereka tetap saling menghormati dan menghargai perbedaan pandangan masing-masing. Bahkan Bung Hatta dalam banyak sumber mengatakan, “Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya."

Yang dikatakan Bung Hatta tentang jatuhnya negara ini bukan suatu hal yang mustahil terjadi, bila kita tidak peduli dengan persatuan dan kesatuan di negeri ini. Paling tidak kita dapat mengimplementasikannya dari lingkup yang paling kecil. Walaupun kenyataannya, mempertahankan persatuan dan menyelesaikan perselisihan diantara teman-teman kita sendiri tidaklah mudah.

Saya merasakan sulitnya memediasi teman-teman yang keluar dari grup, dan sampai saat ini belum berhasil. Saya sangat memaklumi, jika mereka mencari kenyamanan dalam hubungan pertemanan. Bagi mereka, grup alumni adalah tempat untuk menjalin tali silaturahmi. Bukan tempat untuk ajang perdebatan dan perselisihan karena perbedaan pandangan.  Dan saya tidak bisa memaksa mereka untuk bergabung kembali, kecuali dengan kesadaran mereka sendiri.

Berbahagialah bagi kita yang merasa merdeka. Karena pada dasarnya, kemerdekaan hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang bersyukur. Jika kita mau bersyukur hidup di tanah air yang tentram dan damai, maka tidak akan sulit bagi kita untuk memaknai kemerdekaan ini. Kemerdekaan yang bertanggung jawab, tanpa permusuhan, saling menghormati dan menghargai. NKRI harga mati menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia yang kita cintai.

 

#ElevateWomen