Selembar Foto dari Masa Lalu Mengingatkanku Bahagianya jadi Cucu Pertama di Keluarga

Endah Wijayanti diperbarui 18 Agu 2021, 17:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh: Rezha Rizqy Novitasary

Saya menatap album foto keluarga yang tersimpan rapi di almari. Sejak dulu, keluarga kami telaten mengambil gambar pada momen-momen penting, mencetaknya, kemudian menyimpannya di dalam album foto. Kala itu, era digital dan alat-alat elektronik belum menguasai jagad. Album foto itu adalah harta karun terbesar yang dimiliki oleh keluarga kami.

Mata saya memerah. Buliran air mata menetes dari sudut-sudutnya. Sesekali saya terisak. Beberapa hari menjelang Ramadan tahun ini, nenek meninggalkan kami untuk selamanya. Menyusul kakek yang telah lebih dulu berpulang dua puluh tahun silam. Jemari saya membolak-balik album foto. Mencari satu foto yang ingin saya cetak besar.

Tak berapa lama, foto favorit saya itu ketemu. Gambar itu diambil tiga puluh tahun silam. Waktu itu tahun 1991, enam bulan setelah saya lahir. Kakek dan nenek duduk di atas kursi kayu dengan anyaman rotan. Kursi itu masih bertahan hingga kini, hanya saja anyaman rotannya yang telah rusak diganti dengan busa yang tebal. Senyum tipis merekah dari bibirnya. Tampak seorang balita duduk di pangkuan nenek. Balita itu adalah saya. Cucu pertama mereka.

Menjadi seorang cucu yang tinggal serumah dengan kakek neneknya sejak saya lahir, hingga mereka berpulang, adalah kenangan terbaik yang pernah saya miliki. Saya mengenang sosok kakek yang pulang kerja sambil menenteng mainan piring dari kertas.

2 dari 3 halaman

Hari-Hari yang Dihabiskan dengan Kakek dan Nenek

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/tongpatong

Hari sebelumnya, saya menerbangkan piring-piring plastik ibu sambil berakting sebagai seorang samurai. Tentu saja ibu mengomeli saya habis-habisan. Saya menangis dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Meskipun dalam hati, saya akan diam-diam melakukannya lagi saat ibu tidak ada.

Ternyata kakek melihat hal itu. Keesokan harinya, sepulang kerja beliau menenteng piring-piringan tipis dari karton sebagai mainan untuk saya. Hati saya girang bukan kepalang. Saya tak perlu lagi menerbangkan piring-piring ibu. Kini saya sudah mendapat gantinya.

Lain waktu, kakek juga membawakan mainan-mainan sederhana. Salah satunya adalah mainan burung-burungan yang menyandarkan paruhnya pada suatu penyangga sedemikian rupa sehingga ia bisa berputar dengan lucunya. Saya mengingat dengan baik momen itu. Seusai memarkir sepeda jengki miliknya, beliau menghampiri saya sembari menyerahkan mainan tersebut.

Kakek juga gemar berolahraga seperti skipping, bulu tangkis, dan tarik tambang. Suatu kali beliau pulang kerja sambil membawa hadiah bola pingpong buat saya. Kakek bilang itu hadiah yang beliau peroleh saat memenangkan pertandingan bulu tangkis di kantornya. Kelak, dari kakeklah saya juga gemar berolahraga.

Kakek mengantarkan saya untuk mendaftar di madrasah diniyah yang masuk pukul 15.00 sore. Di sana saya belajar ilmu agama dan mengeja huruf hijaiyah. Saat hari hujan, kakek sendirilah yang akan menjemput saya sambil berjalan kaki. Beliau menggunakan sepatu boot dan jas hujan kelelawar sambil membawa payung. Guru-guru ngaji saya beserta kawan-kawan selalu kompak berteriak memanggil nama saya saat beliau datang. Mereka telah hafal dengan sosok beliau.  

Lain waktu, ibu pernah memarahi saya. Sebagaimana orang tua zaman dulu ketika mendidik anak, saya juga kebagian sedikit dari gamparan atau cubitan dari tangannya. Tiba-tiba Kakek datang dan memarahi ibu saya. Kakek tidak memarahi ibu saya lantaran memukul saya. Menurut kakek, boleh memukul, mencubit, atau menjewer, tapi jangan sampai memukul kepala.

Setiap pagi, saat ibu masih sibuk menyiapkan seragam dan perlengkapan sekolah kami, nenek sibuk di dapur untuk kami. Beliau menggoreng tempe dan menyajikannya sebagai lauk nasi yang masih mengepul. Kala itu, menu seperti itu sudah amat istimewa bagi kami. Beliaulah yang memastikan perut cucu-cucunya sudah terisi sebelum berangkat ke sekolah. Berkat beliau, kami semua punya kebiasaan sarapan tiap pagi sebelum mulai beraktivitas. Bahwa apa pun menunya itu tidaklah penting. Karena yang paling penting adalah status perut kita.

Setiap habis sholat maghrib dan shubuh, saya selalu mendengar suara kakek yang mengaji di ruang sholat.

Kakek mengaji cukup lama, beliau tampak sangat menikmati. Pembatas Al Quran milik kakek cepat sekali berpindah. Dalam waktu satu bulan, pembatas itu telah kembali ke tempat asalnya. Suara kakek yang mengaji dengan keras sehabis maghrib dan shubuh membuat saya ingin seperti beliau.

Saya ingin juga duduk berlama-lama menghadap kiblat sambil menekuri ayat-ayat dalam kitab suci itu. Maka, saya semakin rajin berangkat sholat maghrib di mushola dan antre belajar ngaji pada guru-guru di sana. Saat saya menyelesaikan iqra dan beranjak ke juz 30, saya pulang dengan senyum yang tersungging di bibir. Saya memberitahukan kabar gembira itu dengan hati yang riang.

Saat ibu berkomentar baru juga tamat iqra kenapa sudah sebahagia itu saya mendadak lemas. Namun, kakek datang dan membela cucunya. Bahwa hari ini akan jadi awal yang baik untuk cucunya. Hati saya kembali berbunga.

Dulu, keluarga kami amat sederhana. Kesempatan kami untuk mengonsumsi ayam adalah saat ada hajatan. Saat kakek atau ayah pulang dari kondangan dan menenteng berkat di tangannya, sepotong ayam yang ada di sana adalah jatah saya, cucu mereka.

Kesempatan lain adalah saat ada salah satu ayam kami sakit, hingga kakek memutuskan untuk menyembelihnya. Momen menunggu ayam digoreng itu selalu saya tunggu-tunggu. Kakek akan bertanya kepada saya, mau bagian yang mana dari ayam tersebut. Saya berteriak lantang memilih paha ayam dan ampela. Kedua bagian itu adalah favorit saya. Kalau sudah begitu, baik kakek maupun nenek akan mengamankan bagian favorit cucunya bahkan dari tangan anak-anaknya sendiri (paman dan bibi saya)

Kebiasaan itu dibawa nenek hingga akhir hayatnya. Nenek tetap menyisihkan lauk terenak untuk saya atau adik-adik saya. Saat beliau pulang dari acara yasinan, snack yang beliau peroleh diberikan kepada saya. Sementara snack yang dibawa ibu untuk adik saya.

Pernah suatu kali bibi saya mengantarkan lauk ayam panggang yang menurut saya sangat enak. Nenek juga amat menyukainya. Tapi, saya lihat ia hanya makan sedikit dan menyimpan sisanya yang lebih besar di lemari dekat dapur.

Saya mengira, nenek akan melanjutkannya esok. Ternyata, saat cucu nenek yang lain datang berkunjung, nenek menyodorkannya lauk itu kepadanya. Lewat kebiasaannya itulah, kami meneladani sikap nenek yang gemar berbagi sekalipun hal itu adalah yang paling beliau inginkan. 

3 dari 3 halaman

Kakek dan Nenek yang Sangat Kucintai

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Alessandro+Biascioli

Nenek sangat menyayangi kami. Belian selalu mendoakan kami agar sukses. Sebagai seorang nenek yang lahir sekitar 1940-an, beliau sama sekali tidak memiliki pemikiran patriarki. Hal inilah yang juga dianut oleh kakek dan nenek buyut saya. Mereka selalu menyemangati saya untuk rajin belajar, jadi juara kelas, hingga sekolah tinggi supaya berhasil di kemudian hari. Mereka tak membatasi pendidikan bagi cucunya meskipun saya adalah seorang perempuan. Bahkan, dalam candaannya mereka selalu menyebut saya sebagai calon juru tulis kantor bank, profesi yang cukup membanggakan di kala itu, tahun 1990-an.

Hingga akhir hayatnya, saya masih mendengar doa yang nenek lantunkan saat bersimpuh di atas sajadahnya. Nenek berdoa dalam suara samar yang masih bisa didengar orang yang berada di sebelahnya. Dalam doa panjangnya itu, terdengar nama saya, nama adik-adik dan sepupu saya. Beliau tak pernah lupa menyebut belasan nama cucunya dan enam anaknya dalam doanya.

Ah, saya selalu malu mengingat hal ini. Beliau yang semasa hidupnya selalu menyebut nama anak cucunya dalam doa. Sungguh, inilah yang membuat saya malu jika tak sempat mendoakan beliau. Maka, saya akan berjanji untuk selalu berkirim doa dan membacakan surat yasin untuk beliau di setiap malam Jumat. 

Tinggal serumah dengan kakek dan nenek sejak saya lahir hingga beliau berdua berpulang, mengajarkan saya akan satu hal. Bahwa keluarga inti yang saya miliki bukan hanya ayah dan ibu saja. Kakek dan nenek adalah juga orang tua saya. Kehadiran mereka melengkapi, bukan justru menganggu. Mereka adalah tempat berlari saat saya lelah. Tempat saya bercerita saat saya tahu ibu sedang tak bisa mendengar cerita saya. Tempat saya mengadu sehabis bertengkar dengan kawan-kawan saya.

Dari mereka juga saya belajar. Ada mata air kasih sayang dalam sanubari seorang nenek dan kakek untuk cucu-cucunya. Kasih sayang yang bahkan mungkin lebih panjang dari dari jalan. Karena cucu-cucunya adalah anak dari anaknya. Mereka bukan ibu, tapi mereka adalah ibu dari ibu kita. Dan kita adalah anak dari anak-anaknya.

Sungguh, saya bangga, dalam hidup saya ini, Tuhan menganugerahkan kasih sayang kakek nenek hingga akhir hayatnya. Kasih sayang yang mungkin tidak bisa dirasakan oleh sebagian besar orang. Terima kasih eyang buyut, nenek, dan kakek. Al Fatihah.

#ElevateWomen